in ,

Risiko dan Mitigasi Kesalahan Pelaporan SPT Tahunan

Risiko dan Mitigasi Kesalahan Pelaporan SPT
FOTO: Tiga Dimensi

Risiko dan Mitigasi Kesalahan Pelaporan SPT Tahunan

Pajak.com, Jakarta – Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bukan hanya sekadar dilaporkan sebelum batas waktu yang ditetapkan undang-undang. Pelaporan SPT Tahunan juga harus dilaporkan secara benar, jelas, dan lengkap. Bila tidak, Wajib Pajak akan memiliki beragam risiko yang justru menyusahkan di masa depan. Apa saja risiko itu? Dan, bagaimana cara memitigasinya? Tax Compliance and Audit Senior Manager TaxPrime Awalludin Anthon Budiyono akan memaparkannya berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/ 2014 tentang Surat Pemberitahuan, dikatakan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT Tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Wajib Pajak badan yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dollar AS, wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak badan beserta lampirannya dalam bahasa Indonesia kecuali lampiran berupa laporan keuangan, dan menggunakan satuan mata uang dollar AS.

Kepatuhan formal dan material

Sebelum memahami risiko dan mitigasi kesalahan pelaporan SPT Tahunan, agaknya Wajib Pajak perlu mengenal dua jenis kepatuhan pajak, yaitu kepatuhan formal dan material.

Baca Juga  SPT Tahunan Badan: Ketentuan, Jenis Pajak, dan Tahapan Pengisian

Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang- undang perpajakan. Contohnya, melaporkan SPT Tahunan sebelum batas waktu 31 Maret untuk Wajib Pajak orang pribadi dan 30 April bagi Wajib Pajak badan.

Sementara, kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak secara substantif atau hakikat telah memenuhi semua ketentuan material perpajakan. Awal, sapaan hangat Awalludin, memberi contoh, pelaporan keuangan untuk SPT Tahunan PPh Badan yang berisi kondisi sesungguhnya, baik penghasilan, biaya, keuntungan, maupun perhitungan pajaknya.

Risiko dan mitigasi

Awal menyampaikan, apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Tahunan secara benar, lengkap, dan jelas, maka akan ada risikonya. 

Pertama, SPT Tahunan yang dilaporkan melewati batas waktu akan dikenakan sanksi administrasi denda. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), denda Rp 100 ribu untuk Wajib Pajak orang pribadi yang terlambat melaporkan SPT Tahunan sesudah 31 Maret dan denda Rp 1 juta bagi Wajib Pajak badan yang melaporkan SPT Tahunan lewat dari 30 April.

Sanksi administrasi berupa denda ini akan ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga, bila SPT Tahunan yang dilaporkan terlambat tersebut juga terlambat dalam melakukan pembayaran PPh Pasal 29.

Baca Juga  Langgar Pajak, Rekanan Smelter Nikel Dikirim ke Kejati Sultra

Besarnya sanksi administrasi berupa denda ini mengikuti tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia lalu ditambah 5 persen dan dibagi 12 bulan. Ketentuan ini berubah dari sebelumnya sebesar 2 persen per bulan. Ketetapan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Adapun tarif bunga sanksi perpajakan yang berlaku 1 – 31 Maret 2023 ditetapkan terendah 0,56 persen hingga tertinggi 2,22 persen berdasarkan Ketetapan Menteri Keuangan Nomor 11/KMK.10/2023.

“Jadi, cara memitigasi risiko sanksi administrasi berupa denda dan bunga, secara formal kita harus lapor SPT Tahunan dan membayar PPh Pasal 29 tepat waktu,” ujar Awal.

Kedua, pelaporan SPT Tahunan yang kurang tepat, lengkap, dan jelas akan memiliki risiko pemeriksaan. Awal mengingatkan, DJP berhak memeriksa kepatuhan material SPT Tahunan selama jangka waktu 5 tahun. Artinya, bila SPT Tahunan tidak dilaporkan dengan benar, apabila kemudian Wajib Pajak diperiksa, terdapat resiko besar, yang akan menganggu Wajib Pajak, baik orang pribadi atau badan.

“Kadang, perusahaan penginnya keuntungan besar, tapi lapor pajaknya kecil. Akhirnya, biaya di-mark up. Ini sudah tidak benar secara material. Misalnya, penghasilan perusahaan Rp 100 juta, biaya sebenarnya Rp 10 juta, tapi kemudian di mark up menjadi Rp 50 juta. Mungkin secara material, saat ini bukan risiko, bahkan Wajib Pajak menikmati pembayaran pajak yang kecil. Tapi, ini akan menjadi risiko yang sangat besar di masa yang akan datang, ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sebaiknya kita comply, laporkan saja apa adanya.” ujar Awal.

Baca Juga  KP2KP Ranai: Setiap Transaksi di Proyek Swakelola Dipungut PPN

Ketiga, risiko pidana. Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d UU KUP berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dikenakan sanksi pidana. Sanksinya adalah pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun. Sedangkan dendanya paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Untuk itu, Awal menekankan, Wajib Pajak dapat memitigasi risiko ini dengan mengisi SPT Tahunan secara benar, lengkap dan jelas, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pendapatan negara maupun Wajib Pajak.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *