in ,

Penyebab dan Prosedur Pemeriksaan Pajak

Prosedur Pemeriksaan Pajak
FOTO: Tiga Dimensi 

Penyebab dan Prosedur Pemeriksaan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Belakangan ini beredar asumsi bahwa pemeriksaan pajak terjadi karena adanya unsur-unsur subjektif tertentu. Menurut Tax Compliance and Audit Assistant Manager TaxPrime Ridho Atma Mulia, pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah berfondasi pada analisis penyebab, prosedur, dan mekanisme pemeriksaan pajak yang telah diatur dalam perundang-undangan.

Apa itu pemeriksaan Pajak

Sebelumnya, Ridho menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana mengalami beberapa kali perubahan hingga terakhir diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2021 yang merupakan aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), pemeriksaan pajak merupakan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

“Secara umum tujuan dari DJP adalah untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Karena sebelumnya Wajib Pajak telah diberikan kepercayaan untuk menghitung dan menyetor pajaknya, lalu melaporkannya dalam SPT (Surat Pemberitahuan) tahunan /masa— prinsip self-assessment. Pemeriksa Pajak itu sendiri adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil) di lingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) yang biasanya terdiri dari tiga orang, supervisor, ketua tim, dan anggota tim atau bisa lebih,” jelas Ridho kepada Pajak.com, di Ruang Rapat Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta (9/10).

Penyebab Wajib Pajak diperiksa

Ia mengungkapkan, DJP telah memberikan kisi-kisi penyebab Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan. Mengacu Bagian Keempat Pasal 105 PMK Nomor 184/PMK.03/2015 ini diubah dengan PMK Nomor 18/PMK.03/2021, penyebab Wajib Pajak yang diperiksa, yaitu pertama, Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan (restitusi) pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP.

“Pemeriksaan pajak yang umum ditemukan biasanya dikarenakan adanya permohonan restitusi yang disampaikan oleh Wajib Pajak, baik untuk jenis pajak berupa PPN maupun PPh badan. Sekali lagi, Indonesia menganut prinsip self-assessment, Wajib Pajak bertanggung jawab atas kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagai suatu bentuk pengawasan kepatuhan Wajib Pajak, DJP perlu melakukan tindakan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang mana salah satunya adalah kepada Wajib Pajak yang mengajukan restitusi,” jelas Ridho.

Baca Juga  DPR Apresiasi Kanwil DJP Riau atas Penerimaan Pajak Rp 23,16 T

Kedua, Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar selain Pasal 17B UU KUP. Ketiga, Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

“Untuk itu, memungkinkan Wajib Pajak bisa dilakukan pemeriksaan pajak setiap tahun apabila Wajib Pajak tersebut SPT-nya lebih bayar,” kata Ridho.

Keempat, terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.

“Data konkret adalah data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak yang berupa hasil klarifikasi atau konfirmasi seperti dari faktur pajak, bukti pemotongan atau pemungutan PPh, data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (3) UU KUP dan setelah ditegur secara tertulis SPT tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, dan/atau bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak,” urai Ridho.

Kelima, Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi. Keenam, Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Ketujuh, Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap.

Kedelapan, Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko. Kesembilan, Wajib Pajak menyampaikan SPT yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.

 Kesepuluh, Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dan/atau ekspor barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dan telah diberikan pengembalian pajak masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Prosedur pemeriksaan pajak

Menurutnya, sebelum melakukan pemeriksaan, DJP melalui unit vertikalnya (Kantor Pelayanan Pajak/KPP) bisa terlebih dahulu mengirimkan Surat Permintaan Penjelasan atas data dan/atau Keterangan (SP2DK) kepada Wajib Pajak. Merujuk Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-39/PJ/2015, SP2DK adalah surat yang diterbitkan oleh KPP untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak apabila ditemukan dugaan bahwa Wajib Pajak tersebut belum memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ridho berpandangan, SP2DK ini merupakan itikad baik DJP untuk mengonfirmasi setiap data dan/atau informasi yang dihimpun dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP).

Baca Juga  SPT Lebih Bayar Langsung Diperiksa? Ini Penjelasan DJP

“Pemicu pemeriksaan bisa dari SP2DK, misalnya, DJP (atau KPP) mempertanyakan kepada Wajib Pajak bahwa ada pajak yang kurang atau tidak dibayarkan. Kemudian, Wajib Pajak diberi waktu untuk menanggapi SP2DK. Namun, bila jawaban dirasa kurang dapat menjelaskan secara detail (menurut KPP) atau belum menemukan kesepahaman antara KPP dan Wajib Pajak, maka KPP bisa mengajukan usulan pemeriksaan sebagai tahapan lebih lanjut dari SP2DK. Namun, tidak semua pemeriksaan pajak dilakukan terlebih dahulu SP2DK. KPP bisa saja secara langsung mengirimkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan,” ungkap Ridho.

Secara lebih komprensif, ia pun memerinci, prosedur pemeriksaan pajak yang perlu Wajib Pajak pahami termaktub dalam PMK Nomor 18 Tahun 2021, meliputi pertama, Wajib Pajak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan diperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). 

“Apabila Wajib Pajak mendapatkan SP2, jangan menolak, karena memang tidak bisa untuk mengabaikannya. Justru Wajib Pajak diharapkan kooperatif menghadapi setiap tahap pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP. Wajib Pajak juga mempunyai hak untuk didampingi oleh kuasa, dalam hal ini konsultan pajak untuk mendiskusikan, menyiapkan strategi, menyelesaikan sengketa pajak sesuai dengan peraturan,” ujar Ridho.

Kedua, Wajib Pajak menerima Surat Panggilan Dalam Rangka Pertemuan dan Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen. Ketiga, Wajib Pajak memenuhi panggilan tersebut dan pada saat pertemuan, Pemeriksa menjelaskan latar belakang pemeriksaan.

“Perlu dipahami di sini KPP harus memanggil Wajib Pajak orang pribadi atau badan untuk diberikan penjelasan mengapa dilakukan pemeriksaan pajak,” jelas ridho.

Keempat, proses pemeriksaan berlangsung. Ia menjelaskan, jangka waktu pemeriksaan tergantung dengan kompleksitas kasusnya.

“Kita harus mengetahui bahwa tipe pemeriksaan pajak itu ada dua, pemeriksaan kantor atau lapangan. Pemeriksaan kantor atau pemeriksaan yang dilakukan di DJP/KPP, jangka waktunya selama 4 bulan sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan. Sementara pemeriksaan lapangan atau pemeriksaan pajak yang dilakukan di tempat usaha/kegiatan/kedudukan Wajib Pajak, prosesnya 6 bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak. Lama pemeriksaan pajak tersebut itu namanya jangka waktu pengujian,” jelas Ridho.

Baca Juga  Mengenal “Treaty Shopping”, Dampak, dan Langkah Pencegahannya

Kemudian, terdapat pula jangka waktu Pembahasan Akhir Pemeriksaan yang berlangsung sekitar 2 bulan dari saat Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) diterbitkan.

“Mengutip Pasal 1 Ayat 15 PMK Nomor 184 Tahun 2015, SPHP itu surat yang berisi mengenai hasil temuan-temuan pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang, dan perhitungan sementara dari sanksi administrasi. Kemudian, nanti daftar temuan hasil pemeriksaan dilampirkan pada saat melakukan penyampaian SPHP,” jelas Ridho.

Kelima, KPP menerbitkan SPHP dan Wajib Pajak menyampaikan tanggapan atas SPHP tersebut. Keenam, Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak melakukan Pembahasan Akhir dan Dokumen, seperti Risalah Pembahasan dan Ikhtisar Hasil Pembahasan Akhir.

Ketujuh, KPP akan menebitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak (SKP) Nihil, atau Surat Tagihan Pajak (STP).

“Dengan mekanisme yang jelas diatur dalam UU, PMK, SE, diharapkan Wajib Pajak lebih memerhatikan risiko-risiko yang terjadi sebelum dilakukan pemeriksaan pajak. Terpenting, tidak ada yang perlu ditakutkan dari pemeriksaan, karena DJP memeriksa kewajiban kita. Justru saat dilakukan pemeriksaan, kita banyak mendapatkan pengetahuan juga dari Pemeriksa. Misalnya, kita ada kesalahan dari penyajian data atau transaksi yang dilakukan, maka ke depannya, kesalahan tersebut bisa diperbaiki. Pemeriksaan pajak akhirnya bisa menjadi sarana edukasi kepada Wajib Pajak,” pungkas Ridho.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *