Pemungut Pajak E-Commerce Perlu Pertimbangan Matang
Pemungut pajak E-Commerce perlu pertimbangan matang. Perkembangan teknologi digital berhasil menjadi salah satu agenda dari reformasi perpajakan yang sedang digalakkan oleh Kementerian Keuangan.
Mulai dari penerapan teknologi dalam pengawasan Wajib Pajak melalui Compliance & Risk Management (CRM), adopsi teknologi pada sistem pelayanan perpajakan melalui e-Faktur, e-SPT, dan e-Filing, hingga pemotongan dan/atau pemungutan pajak untuk transaksi digital atau e-commerce. Terbaru, pada pasal 32A klaster KUP UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), ditetapkan pihak lain sebagai pemungut PPN atas e-commerce.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa Menteri Keuangan dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak. Pihak lain tersebut adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi. Yang disebut terakhir adalah marketplace atau penyedia jasa penyelenggaraan e-commerce, dengan syarat tertentu berupa omzet misalnya.
Kepala Subdit Peraturan PPN Perdagangan, jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung mengatakan bahwa tarif pajak yang dipungut atas e-commerce akan lebih kecil dari tarif normal dan bersifat final.
Hal ini disebabkan karena para pelaku e-commerce kebanyakan adalah orang pribadi, sehingga akan terbebani apabila ditetapkan tarif PPN normal sebesar 11%. Apalagi barang dan/atau jasa yang biasanya diperjualbelikan di e-commerce mengandalkan harga yang relatif lebih murah daripada pada toko konvensional, sehingga akan sama saja apabila dipungut PPN dengan tarif normal.
Lebih lanjut, DJP mengincar merchant – merchant besar yang menjadi pelaku usaha dalam e-commerce yang jumlahnya relatif kecil pula. Menurut Bonarsius pula, kemungkinan 80% merchant di e-commerce adalah kelompok non-PKP, sehingga potensi pajaknya hanya ada di 20% merchant sisanya. Namun demikian, 20% merchant ini tetap harus menjalankan kewajiban perpajakannya secara penuh.
Penunjukkan pemungut pajak di sektor e-commerce ini menjadi langkah baru yang diprediksi akan cukup berdampak pada perekonomian digital di Indonesia.
Selain memberikan potensi perpajakan baru yang sebelumnya belum ada pada sektor perekonomian digital, kebijakan ini juga menghadirkan tantangan dan hambatan yang perlu dihadapi oleh para pembuat kebijakan. Tantangan tersebut salah satunya adalah ancaman berkurangnya transaksi e-commerce akibat pajak atas e-commerce.
Aktivitas ekonomi digital di Indonesia saat ini masih sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan, terutama akibat pandemi COVID-19 yang membatasi interaksi fisik masyarakat. Para pelaku usaha e-commerce pun kebanyakan merupakan para pendatang dan pembelajar yang masih berusaha beradaptasi dengan kondisi perekonomian digital saat ini. Untuk mendukung adaptasi tersebut, perlu disediakan ekosistem perekonomian digital yang kondusif, termasuk regulasi dan kebijakan yang tepat.
Diterapkannya kebijakan penunjukan pemungut PPN pada transaksi e-commerce dikhawatirkan dapat mengganggu proses adaptasi para pelaku e-commerce. Hal ini dikarenakan penyelenggara atau pemilik marketplace tidak mengetahui mana merchant yang berstatus PKP dan tidak, sehingga tidak jelas merchant mana yang bisa dikenakan PPN.
Merchant tersebut pun bisa jadi melakukan transaksi digital di beberapa platform e-commerce sekaligus demi, dan apabila dihitung secara terpisah ia belum memenuhi persyaratan omzet maupun jumlah transaksi.
Hubungan yang terbentuk antara penyelenggara marketplace dengan para merchant merupakan kemitraan, bukan hubungan kepegawaian ataupun rekanan.
Dengan adanya kewajiban memungut pajak bagi para penyelenggara marketplace, dikhawatirkan para merchant keluar dari platform dan beralih ke metode penjualan offline ataupun melalui media sosial. Hal ini tentu dapat menimbulkan kerugian bagi para penyelenggara marketplace dan para merchant lain karena dapat membuat marketplace menjadi sepi.
Untuk itu, perlu pertimbangan matang pelaksanaan penunjukan pemungut pajak e-commerce ini sesuai dengan asas – asas perpajakan. Asas certainty harus diwujudkan dengan pembuatan peraturan teknis yang lengkap dan komprehensif supaya tidak terjadi misinformasi dan misinterpretasi oleh para pelaksana di lapangan.
Asas efficiency juga harus diwujudkan supaya bagaimana kebijakan ini tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang terlibat dalam ekosistem e-commerce, sehingga aktivitas perekonomian digital dapat tetap berjalan dengan kondusif.
Comments