Pajak UMKM 2023: Definisi dan Tarif
Pajak.com, Jakarta – Pajak adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara yang memiliki penghasilan. Namun, tidak semua warga negara memiliki kewajiban pajak yang sama, karena ada beberapa kriteria yang membedakan besaran dan jenis pajak yang harus dibayarkan. Salah satu jenis usaha yang mendapat perlakuan khusus dalam hal perpajakan adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pajak.com akan membahas tentang definisi dan tarif pajak UMKM 2023, serta dampaknya bagi pelaku usaha dan perekonomian nasional.
Seperti diketahui, UMKM adalah usaha ekonomi produktif yang dimiliki oleh perorangan atau badan usaha yang memenuhi kriteria berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.
Kriteria yang dimaksud meliputi:
1. Usaha mikro, merupakan usaha ekonomi produktif yang dimiliki perorangan maupun badan usaha sesuai dengan kriteria usaha mikro. Usaha yang termasuk kriteria usaha mikro memiliki kekayaan bersih mencapai Rp 50 juta, tidak termasuk bangunan dan tanah tempat usaha. Sementara hasil penjualan (omzet) usaha mikro setiap tahunnnya tidak melebihi Rp 300 juta.
2. Usaha kecil, adalah usaha ekonomi produktif yang independen atau berdiri sendiri baik yang dimiliki perorangan atau kelompok dan bukan sebagai badan usaha cabang dari perusahaan utama. Usaha kecil dapat dikuasai dan dimiliki serta menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah.
Usaha yang masuk kriteria usaha kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih Rp 50 juta dengan kebutuhan maksimal mencapai Rp 500 juta. Omzet per tahun berkisar antara Rp 300 juta hingga Rp 2,5 miliar.
3. Usaha menengah, ialah usaha dalam ekonomi produktif dan bukan merupakan cabang atau anak usaha dari perusahaan pusat, serta menjadi bagian secara langsung maupun tak langsung terhadap usaha kecil atau usaha besar. Usaha menengah kerap disebut sebagai bisnis besar dengan kriteria omzet per tahun mencapai Rp 2,5 miliar hingga Rp 50 miliar.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2018 (PP 23/2018), pemerintah secara jelas menyatakan bahwa UMKM merupakan Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi; atau Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas (tidak termasuk bagi badan dengan Bentuk Usaha Tetap); dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar per tahun.
Sementara yang tidak termasuk Wajib Pajak UMKM yakni Wajib Pajak yang memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E UU PPh; atau Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus, menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Untuk Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu atau UMKM, dan PPh yang bersifat final. Artinya, penghasilan yang diterima atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu, dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. Selain pada UMKM, pajak ini juga berlaku untuk berbagai macam usaha, seperti yang ada di Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Sejatinya, UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian nasional, karena mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menggerakkan roda perekonomian. Oleh karena itu, pemerintah memberikan fasilitas perpajakan bagi pelaku UMKM agar mereka dapat berkembang dan berdaya saing.
Sejak tahun 2013, pemerintah sudah memberikan tarif PPh final yang cukup ringan melalui PP 46 tahun 2013, yakni sebesar 1 persen dari omzet. Tarif ini hanya berlaku bagi Wajib Pajak pribadi atau badan yang memiliki omzet kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun.
Selanjutnya, pemerintah kembali memberikan keringanan kepada UMKM dengan pengurangan tarif PPh final menjadi sebesar 0,5 persen dari omzet. Tarif ini juga berlaku bagi Wajib Pajak pribadi atau badan yang memiliki omzet dari Rp 0 hingga Rp 4,8 miliar per tahun, alias tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun. Ketetapan itu diatur melalui PP 23/2018.
Hanya saja, pemerintah menambahkan jangka waktu tertentu untuk tarif PPh yang bersifat final ini. Yaitu:
a. Paling lama tujuh Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. Paling lama empat Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
c. Paling lama tiga Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Pada tahun 2023, pemerintah kembali menunjukkan rasa keberpihakan terhadap UMKM. Melalui UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah menetapkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi UMKM tidak dikenai PPh atas omzet hingga Rp 500 juta per tahun.
Dengan demikian, bagi UMKM dengan penghasilan kotor belum melebihi Rp 500 juta dalam setahun, maka tidak dikenakan PPh. Sementara bagi UMKM yang sudah melebihi omzet Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun, diwajibkan untuk membayar PPh final sebesar 0,5 persen. Dalam aturan ini, bisa diasumsikan pemerintah tidak lagi menargetkan pajak untuk usaha mikro, tetapi bagi usaha kecil dan menengah.
Selain PPh final, UMKM juga dapat diwajibkan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Adapun PPN bagi UMKM termasuk sebagai skema pengenaan khusus lantaran pengenaan tarifnya lebih rendah ketimbang tarif PPN normal. Kementerian Keuangan menyatakan tarif PPN final bagi UMKM nantinya berkisar 1 persen hingga 3 persen dari peredaran usaha.
Comments