in ,

Macam Objek Pajak Penghasilan Profesi Dokter

Objek Pajak Penghasilan Profesi Dokter
FOTO: IST

Macam Objek Pajak Penghasilan Profesi Dokter

Pajak.com, Jakarta – Dokter merupakan salah satu profesi yang mulia, terutama di saat pandemi COVID-19. Di sisi lain, dokter sebagai tenaga medis juga tak lepas dari hak dan kewajiban sebagai Wajib Pajak yang mesti dipenuhi.

Namun, tahukah Anda kalau aspek perpajakan bagi setiap dokter bisa berbeda? Ya, itu lantaran objek penghasilan yang dikenakan untuk setiap dokter bisa berbeda. Lalu apa sajakah objek pajak penghasilan pada profesi dokter dan bagaimana skema pajaknya? Yuk, kita kenali aneka macam objek pajak penghasilan bagi profesi dokter.

Definisi dokter

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya. Sementara mengacu pada Wikipedia Bahasa Indonesia, dokter—berasal dari bahasa latin yang berarti “guru”—dimaknai sebagai seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang yang sakit.

Namun, tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter, karenanya menjadi dokter diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus agar mendapatkan gelar dalam bidang kedokteran.

Objek pajak

Sebagaimana kita tahu, sebagai warga Indonesia yang telah memiliki penghasilan di atas nominal penghasilan tidak kena pajak Rp 54 juta per tahun, maka diwajibkan untuk membayar pajak penghasilan (PPh). Nah, untuk mengetahui berapa PPh yang dibayarkan, seorang dokter mesti mengetahui objek-objek pajak yang dikenakan terhadapnya.

A. Dokter sebagai pegawai tetap

Jika seorang dokter bekerja di sebuah rumah sakit sebagai pegawai tetap, maka penghasilannya telah tertuang dalam perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis; baik untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja.

Ada pula dokter yang memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur sebagai anggota dewan komisaris, anggota dewan pengawas, atau direksi yang terus-menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung di sebuah rumah sakit atau klinik.

Dengan begitu, pengenaan pajaknya akan berdasarkan penghasilan neto yang tertera dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang diberikan oleh pemberi kerja. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dilakukan oleh Pemberi Kerja dihitung sebagai berikut:

DPP = PKP = Penghasilan Neto-PTKP penghasilan neto = penghasilan bruto-biaya jabatan-THT/JHT. Besarnya biaya jabatan adalah 5 persen dari penghasilan bruto; maksimal Rp 6 juta setahun.

Baca Juga  Tahapan Pengajuan Permohonan Penetapan Keasalan Barang Sebelum Impor
B. Penghasilan praktik

Selain bekerja sebagai pegawai tetap di sebuah rumah sakit, seorang dokter juga dimungkinkan untuk memberikan jasanya di sektor kesehatan sebagai dokter tetap, dokter tamu, dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagai tempat praktiknya, praktik sendiri (membuka klinik pribadi) dengan biaya sendiri, atau pekerjaan bebas lainnya selain dari praktik dokter di rumah sakit/klinik seperti menjadi pembicara maupun narasumber di seminar dan sejenisnya.

Untuk itu, aspek perpajakannya bisa dipilih melalui dua skema, yakni dokter yang menyelenggarakan pembukuan atau dokter yang menggunakan norma.

– Menyelenggarakan pembukuan
Perhitungan penghasilan neto = penghasilan bruto – biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. 

Adapun penghasilan bruto adalah seluruh penghasilan yang diterima dokter sehubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagai dokter. Sementara biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M) berupa biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang tidak dikenai PPh Final.

Misalnya, biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha seperti biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, dan lain-lain.

Ada juga kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam kegiatan. Selanjutnya, usaha yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat diakui sebagai biaya yang mengurangi penghasilan bruto.

Tak cuma itu, atas kerugian pada suatu tahun pajak dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun.

– Menyelenggarakan norma
Perhitungan penghasilan neto = penghasilan bruto x norma

Dokter yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp 4 ,8 miliar boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.

Besaran persentase norma penghitungan penghasilan neto untuk WP dokter yakni sebesar 50 persen untuk 10 ibu kota provinsi meliputi Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak); serta ibu kota propinsi dan daerah lainnya.

Untuk dokter yang menyelenggarakan norma harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan—sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) UU PPh.

Pemberitahuan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto yang disampaikan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan dianggap disetujui, kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PER-17/PJ/2015).

Baca Juga  Jelang Lebaran, DJP Imbau Wajib Pajak Tidak Berikan Parsel
C. Penghasilan dari luar profesi

Bagi dokter yang juga membuka usaha di luar profesinya, maka ia juga wajib untuk menghitung, membayar, serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunannya. Penghasilan di luar profesi bisa didapat melalui bisnis yang sehubungan dengan kesehatan seperti apotek; dan bisnis lainnya seperti distributor alat kesehatan, kafe dan lain sebagainya.

Apabila bisnis yang digeluti memiliki omzet tidak lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun, maka ia berhak membayar PPh yang bersifat final dengan tarif 1 persen. Namun, sejak 1 Juli 2018, tarif PPh Final menjadi 0,5 persen. Apabila omzet telah berada di atas Rp 4,8 miliar, maka penghasilan yang diterima atau diperoleh pada tahun-tahun pajak berikutnya akan dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang PPh.

D. Penghasilan yang dikenakan PPh Final 

Penghasilan yang diterima telah dikenakan PPh yang bersifat final apabila meliputi bunga tabungan atau deposito, penjualan saham di bursa efek, dividen, sewa tanah dan/atau bangunan, penghasilan yang diterima atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, serta PPh Final atas hadiah undian.

Atas penghasilan yang diterima oleh dokter dan telah dikenakan dan dipotong PPh yang bersifat final, maka PPh Final atas hadiah undian tidak perlu lagi diperhitungkan dalam penghitungan PPh terutang dalam perhitungan PPh yang harus dibayar dalam SPT.

E. Penghasilan dalam negeri lainnya yang bersifat tidak final 

Seorang dokter dimungkinkan menerima penghasilan dalam negeri lainnya seperti bunga, royalti, sewa, atau pun keuntungan dari penjualan dan/atau pengalihan harta lainnya (capital gain), sewa harta selain tanah dan/atau bangunan, maupun hadiah atau imbalan lain yang diterima dari produsen obat-obatan dan alat kesehatan atas promosi yang dilakukan.

Atas penghasilan dalam negeri lainnya yang bersifat tidak final yang diterima oleh dokter ini, digunakan sebagai penambah penghasilan dalam penghitungan PPh terutang sesuai tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Nomor 36 Tahun 2008.

Baca Juga  Sri Mulyani: Penerimaan Pajak Hingga 15 Maret 2024 Terkontraksi Penurunan Harga Komoditas
F. Penghasilan dari luar negeri

Penghasilan yang diterima berasal dari luar negeri atas penghasilan dari usaha dan/atau usaha lainnya atau dividen yang dibayarkan atau diperoleh dari luar negeri, tidak termasuk kerugian yang diderita di luar negeri. Misalnya honor sebagai dokter di luar negeri, dividen dari luar negeri, royalti, bunga, dan lain lain.

Atas penghasilan diterima oleh dokter dalam objek ini maka digunakan sebagai penambah penghasilan dalam penghitungan PPh terutang sesuai tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Nomor 36 tahun 2008. PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang di Indonesia atau sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) KMK-164/KMK.03/2002.

Untuk diingat, jumlah kredit pajak paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu.

Besarnya PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan adalah yang lebih kecil antara PPh yang dipotong/dibayarkan di luar negeri, atau batas maksimum kredit pajak luar negeri (KPLN). Sementara batas maksimum KPLN = (penghasilan di luar negeri : penghasilan kena pajak) x PPh terutang.

G. Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak 

Selain itu, dokter juga bisa saja memiliki penghasilan yang diterima tetapi tidak termasuk objek pajak seperti hibah, bantuan, sumbangan yang dikecualikan sebagai objek pajak), serta bagian laba yang diterima anggota persekutuan komanditer yang tidak terbagi atas saham merupakan bukan objek PPh.

Atas penghasilan yang diterima oleh dokter dan bukan merupakan objek pajak, tentunya tidak digunakan sebagai penambah penghasilan dalam penghitungan PPh terutang sesuai tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Nomor 36 tahun 2008.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *