in ,

Ini Upaya Alternatif Wajib Pajak Saat Memperoleh Hasil Pemeriksaan

Alternatif Wajib Pajak Saat Memperoleh Hasil Pemeriksaan
FOTO: Tiga Dimensi

Ini Upaya Alternatif Wajib Pajak Saat Memperoleh Hasil Pemeriksaan 

Pajak.com, Jakarta – Peraturan perundang-undangan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan atas hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selain menempuh jalur hukum keberatan, Tax Litigation & Dispute Director TaxPrime Mandra Komara mengungkapkan bahwa Wajib Pajak mempunyai alternatif lain saat memperoleh hasil pemeriksaan atau Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Ia menekankan upaya hukum dalam penyelesaian sengketa perpajakan perlu dipahami secara substantif dan ekstensif yang dimulai dari kegiatan pemeriksaan pajak. Merujuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2021, pemeriksaan pajak merupakan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

“Penyebab dari sengketa pajak dikarenakan Wajib Pajak tidak setuju atas hasil pemeriksaan yang ditetapkan oleh DJP. Kalau Wajib Pajak tidak setuju atas hasil koreksi DJP dalam pemeriksaan pajak, maka Wajib Pajak bisa menempuh upaya hukum, yaitu  pengajuan keberatan. Namun, ada proses lain selain pengajuan keberatan, yaitu permohonan pengurangan atau pembatalan SKP (Surat Ketetapan Pajak) yang tidak benar,” jelas Mandra kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Graha TTH, Jakarta Selatan, (19/2).

Baca Juga  Ketentuan Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25

Mandra mengungkapkan, setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan Wajib Pajak saat memilih jalur pengurangan atau pembatalan SKP yang diatur dalam Pasal 36 UU KUP.

Pertama, proses permohonan Pasal 36 UU KUP dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar atau bahkan membatalkan seluruh jumlah pajak yang harus dibayar.

“Apabila Wajib Pajak menempuh jalur keberatan, bisa saja hasilnya justru menambah jumlah pajak yang harus dibayarkan,” tambah Mandra.

Kedua, pertimbangan menempuh jalur pengurangan atau pembatalan SKP adalah kemungkinan jangka waktu penyelesaiannya yang lebih efisien, apabila dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa pajak melalui jalur upaya hukum keberatan.

“Kendati begitu, ini yang perlu diketahui Wajib Pajak. Ketika Wajib Pajak menempuh permohonan pengurangan/pembatalan SKP yang tidak benar, tidak menghentikan upaya penagihan dari DJP. Berbeda ketika Wajib Pajak mengajukan keberatan, Wajib Pajak hanya wajib melunasi jumlah yang disetujui saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Kalau memang Wajib Pajak punya cashflow yang tidak cukup bagus, mungkin proses keberatan lebih bagus untuk ditempuh daripada proses pengurangan atau pembatalan SKP,” ungkap Mandra.

Ketiga, ada risiko sanksi apabila Wajib Pajak tidak melunasi seluruh pajak yang terutang, yaitu dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30 persen dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Selanjutnya, dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60 persen dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Baca Juga  AKP2I Sampaikan Aspirasi Perumusan Perubahan Izin Konsultan Pajak

“Mungkin itulah beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan Wajib Pajak dalam memilih jalur mana yang akan ditempuh, apakah Pasal 36 UU KUP berupa pengurangan/pembatalan SKP yang tidak benar atau keberatan (Pasal 25 UU KUP),” jelas Mandra.

Kemudian, apabila pengurangan atau pembatalan SKP ditolak, maka selanjutnya Wajib Pajak bisa mengajukan upaya hukum berupa gugatan ke Pengadilan Pajak. Apabila gugatan ditolak oleh Pengadilan Pajak, Wajib Pajak bisa melanjutkan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung (MA).

“Sebaliknya, kalau DJP tidak setuju dengan keputusan Pengadilan Pajak karena misalnya Wajib Pajak menang, DJP bisa mengajukan upaya peninjauan kembali ke MA. Wajib Pajak juga berhak menunjuk kuasa hukum untuk mendampingi Wajib Pajak dalam proses Peninjauan Kembali yang dilakukan DJP ,” tegas Mandra.

Permohonan pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar harus memenuhi hal-hal yang diatur dalam PMK Nomor 8/PMK.03/2013 sebagai berikut:

  • Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar hanya dapat diajukan dalam hal atas surat ketetapan pajak tersebut:
  • Tidak diajukan keberatan;
  • Diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
  • Tidak diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
  • Diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
  • Tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi;
  • Diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
  • Diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi , tetapi permohonan tersebut ditolak.
  • Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tidak dapat diajukan dalam hal surat ketetapan pajak tersebut diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.
  • Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  • 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak;
  • Permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  • Mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan;
  • Permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
  • Surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.
Baca Juga  Airlangga: Pemerintah Lanjutkan Pembahasan Kenaikan PPN 12 Persen

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *