Ia menjelaskan, terdapat tiga rujukan harga CPO di Indonesia, harga referensi kementerian perdagangan, harga Rotterdam, dan harga tender Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). Gulat menilai, sebagai negara hukum dan negara terbesar penghasil CPO, maka seharusnya semua patuh kepada peraturan menteri perdagangan (permendag) sebagai harga referensi.
“Padahal harga referensi permendag (Permendag Nomor 55 Tahun 2015) tersebut sudah cukup adil, karena sudah mengakomodir 20 persen harga dari Roterdam, 20 persen harga Malaysia, dan 60 persen harga bursa Indonesia. Oleh karena itu, kami, petani sawit berharap Pak Presiden Jokowi dapat menegaskan harga patokan CPO Indonesia adalah harga (dari) kementerian perdagangan, supaya semua berbenah. Penetapan harga referensi tersebut kedepannya idealnya 1 kali per 2 minggu, bukan 1 kali sebulan,” ungkapnya.
Apkasindo juga menyayangkan Indonesia tidak dijadikan sebagai rujukan harga CPO dunia, padahal lebih dari 50 persen produksi CPO dunia itu berasal dari Indonesia.
“Harga patokan ekspor itu seharusnya tidak perlu mengacu pada harga KLCE (Kuala Lumpur Commodity Exchange) dan Rotterdam, seharusnya berpatokan kepada harga referensi kementerian perdagangan yang terbit sekali sebulan atau minimum berpatokan ke bursa Indonesia, yang menjadi price setter bagi Sawit Indonesia dan dunia harus melirik harga ini. Bukan sebaliknya,” ujar Gulat.
Comments