in ,

DJP Pastikan Pajak Natura Tak Turunkan Gaji Karyawan

Pajak Natura Tak Turunkan Gaji Karyawan
FOTO: Aprilia Hariani

DJP Pastikan Pajak Natura Tak Turunkan Gaji Karyawan

Pajak.com, Jakarta – Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama memastikan, pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan tak turunkan gaji yang diterima karyawan biasa. Ia menegaskan, pajak atas natura dan/atau kenikmatan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) 66 Tahun 2023 ini menyasar kepada para pegawai level tinggi, eksekutif, atau chief executive officer (CEO) di suatu perusahaan.

“Pengecualian sejumlah natura dari objek PPh (Pajak Penghasilan) beserta batasannya diatur dalam PMK Nomor 66 Tahun 2023. Dengan berlakunya regulasi ini, kebanyakan karyawan malah tambah makmur karena mendapat fasilitas. Yang seperti Anda (wartawan), enggak (kepotong gajinya karena pajak) kali, ya. Bagi yang level atas, kemungkinan iya berpengaruh pada take home pay atau gaji mereka. Kita ingin mendorong perusahaan memberikan banyak pemberian natura di luar gaji, bagi perusahaan boleh dibiayakan bagi karyawan yang dipajaki enggak banyak, hanya yang layer tertinggi,” jelas Hestu dalam acara Media Briefing, di Kantor Pusat DJP, dikutip Pajak.com (6/7).

Baca Juga  57 Wajib Pajak Terima Penghargaan dari Kanwil DJP Jaksus

Ia mengatakan, pada lampiran PMK Nomor 66 Tahun 2023 telah diperinci 11 jenis natura yang dikecualikan dari objek PPh beserta batasan tertentunya, antara lain makanan/minuman yang disediakan untuk seluruh karyawan di tempat kerja tanpa batasan nilai, sedangkan kupon makan bagi karyawan dinas luar (termasuk dalam bentuk reimbursement biaya makan/minum) maksimal Rp 2 juta per bulan atau senilai yang disediakan di tempat kerja (mana yang lebih tinggi); bingkisan hari raya keagamaan, meliputi Idulfitri, Natal, Nyepi, Waisak, dan Tahun Baru Imlek tanpa batasan nilai, sedangkan bingkisan selain hari raya keagamaan tersebut maksimal Rp 3 juta per tahun; fasilitas tempat tinggal komunal (asrama dan sebagainya) tanpa batasan nilai, sedangkan nonkomunal (sewa apartemen/rumah) maksimal Rp 2 juta per bulan; dan lainnya.

“Batasan natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan ditetapkan dengan prinsip kepantasan sehingga dapat dinikmati oleh kebanyakan karyawan. Misalnya, fasilitas tempat tinggal berbentuk apartemen yang dikecualikan dari objek PPh. Batasannya, fasilitas diterima atau diperoleh pegawai serta secara keseluruhan bernilai tidak lebih dari Rp 2 juta untuk tiap pegawai dalam jangka waktu 1 bulan. Apabila seorang eksekutif di perusahaan diberikan fasilitas apartemen yang disewa senilai Rp 50 juta per bulan, penghasilan natura berupa apartemen yang diterima akan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 adalah senilai Rp 48 juta. Dengan regulasi ini, maka yang Rp 48 juta harus dipotong PPh. Kemungkinan take home pay-nya turun,” jelas Hestu.

Baca Juga  DJP dan Australia Sepakat Tingkatkan Deteksi Potensi Kewajiban Pajak Kripto

Hal senada juga disampaikan oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo. Ia menegaskan, pengenaan pajak natura dan/atau kenikmatan ini lebih kepada pemberian atau fasilitas yang diberikan perusahaan kepada karyawan, bukan fokus pada jabatan.

“Kalau eksekutif itu variatif, eksekutif perusahaan besar dan kecil itu beda. Yang kita butuhkan adalah nilai dari pemberian yang dilakukan atau jenis model jenis natura yang diberikan perusahaan kepada karyawan atau pekerjanya. Logika yang kita batasi adalah nilai kepantasan yang tidak dikenakan pajak,” jelas Suryo.

Ia mengatakan, batasan nilai tersebut telah mempertimbangkan indeks harga beli/purchasing power parity (Organization for Economic Co-operation and Development/OECD), survei standar biaya hidup (Badan Pusat Statistik/BPS), standar biaya masukan (Kementerian Keuangan/Kemenkeu), sport development index (Kementerian Pemuda dan Olahraga/Kemenpora), dan benchmark beberapa negara.

Baca Juga  Syarat Mengajukan Surat Keterangan Sengketa Pajak

“Pajak natura mempertimbangkan kelayakan dengan tujuan mendorong perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan. Sebelumnya, pengeluaran ini tidak dapat diakomodasi oleh korporasi, namun sekarang dapat diakomodasi. Jadi, ini adalah cara kita meningkatkan dan mendorong korporasi untuk menjaga asetnya, menjaga pegawainya. Jadi, saya tidak akan langsung (bisa mengukur) berapa kira-kira plus-minusnya dari aturan ini. Nanti kita coba lihat di pengujung 2023,” tambah Suryo.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *