BPK: 3 Rekomendasi untuk DJP Tagih Piutang Pajak Rp 7,2 T
Pajak.com, Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, terdapat piutang pajak macet sebesar Rp 7,2 triliun dan piutang pajak kedaluwarsa senilai Rp 808,1 miliar yang belum dilakukan penagihan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Untuk itu, BPK memberikan 3 rekomendasi untuk DJP mengatasi permasalahan piutang macet tersebut.
Temuan BPK itu telah dirilis dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Pusat 2022 (LHP SPI dan Kepatuhan 2022).
Secara rinci, berdasarkan LHP SPI dan Kepatuhan 2022, piutang macet senilai Rp 7,2 triliun berasal dari 351 ketetapan sejumlah Rp 1,39 triliun; 86 ketetapan sebesar Rp 39,58 miliar baru diterbitkan surat teguran; serta 863 ketetapan senilai telah diterbitkan surat paksa. BPK menemukan, piutang ini belum dilakukan penyitaan atas aset Wajib Pajak.
Sementara, piutang pajak kedaluwarsa sebesar Rp 808,1 miliar berasal dari 293 ketetapan; senilai Rp 355,31 miliar belum ditagih; 97 ketetapan sebesar Rp 452,86 miliar yang sudah diterbitkan surat paksa, tetapi belum dilakukan penyitaan aset Wajib Pajak.
“Dua permasalahan tersebut disebabkan DJP belum melakukan tindakan penagihan pajak secara optimal. DJP belum melakukan penagihan lantaran Wajib Pajak telah dinyatakan pailit, tidak ditemukan objek sita atau Wajib Pajak tidak mempunyai aset sita. Kemudian, Wajib Pajak juga tidak ditemukan keberadaannya, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sedang menunggu pemblokiran dari bank, dan Wajib Pajak memiliki komitmen untuk melunasi pokok utang pajak dalam waktu dekat. ” jelas BPK dalam LHP SPI dan Kepatuhan 2022, dikutip Pajak.com (10/7).
Oleh sebab itu, BPK merekomendasikan menteri keuangan memerintahkan dirjen pajak untuk menjalankan tiga rekomendasi. Pertama, kepala KPP melakukan inventarisasi atas piutang macet yang belum kedaluwarsa penagihan sebesar Rp 7,2 triliun. KPP diharapkan dapat melakukan tindakan penagihan aktif sesuai ketentuan yang berlaku.
Kedua, kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJP melakukan pengawasan dan pengendalian atas kegiatan penagihan pajak yang dilakukan KPP.
Ketiga, menginstruksikan direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP untuk mengembangkan SIDJP (Sistem Informasi DJP) yang dapat membantu proses optimalisasi penagihan piutang pajak.
Selain itu, BPK juga menilai, laporan belanja perpajakan yang diinisiasi oleh pemerintah masih belum memiliki keterkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menurut BPK, laporan belanja perpajakan yang diterbitkan pemerintah masih berupa data historis. Tidak ada proyeksi belanja perpajakan untuk tahun-tahun selanjutnya.
Selain itu, BPK menilai, pemerintah perlu menetapkan target jumlah dan batasan (ceiling) belanja perpajakan dalam dokumen anggaran. Menurut BPK, hal ini diperlukan sebagai upaya untuk melakukan pengendalian.
“Tanpa ceiling, kinerja belanja perpajakan belum dapat dinilai dalam ukuran kuantitatif layaknya program-program yang masuk dalam postur belanja APBN. Setelah dilakukan pengendalian, setiap insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah juga perlu dievaluasi. Pengendalian dan evaluasi penting dilakukan karena tujuan dari belanja perpajakan tidak hanya menyajikan estimasi nilai pajak yang tidak terpungut, tetapi juga menilai dampak yang ditimbulkan dan kebijakan yang tepat untuk mengatasi dampak tersebut,” tulis BPK.
Comments