in ,

Aspek Perpajakan Usaha Kelapa Sawit

Aspek Perpajakan Usaha Kelapa Sawit
FOTO: IST

Aspek Perpajakan Usaha Kelapa Sawit

Industri kelapa sawit semakin terlihat perannya dalam perekonomian, baik perekonomian domestik maupun global. Ia merupakan minyak yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi secara global karena merupakan minyak yang terkenal murah, relatif mudah diproduksi, dan relatif stabil. Ia juga menjadi salah satu komoditas perkebunan yang perannya sangat penting karena kemampuannya menghasilkan minyak nabati yang dibutuhkan oleh industri. Produk olahannya pun bermacam-macam selain dari bahan baku biodiesel, mulai dari makanan, kosmetik, hingga produk kesehatan.

Menurut data BPS per 2022 lalu, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai sekitar 15 juta hektare dengan perkebunan kelapa sawit terbesar berada di Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur. Dari jumlah itu pun, menurut Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada tahun 2022, masih ada sekitar 9 juta hektar lahan sawit yang belum dipajaki. Bagaimana aspek perpajakan dari usaha kelapa sawit?

Sebelumnya kita perlu mengetahui bahwa hasil akhir produksi dari industri kelapa sawit adalah berupa crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah. Untuk memproduksi CPO, bahan baku utamanya adalah tandan buah segar (TBS) yang merupakan hasil dari perkebunan kelapa sawit. Terkait hal ini, pelaku usaha kelapa sawit yang melakukan penyerahan TBS terdiri dari dua jenis, yakni:

– Perusahaan kelapa sawit terintegrasi, yakni memiliki perkebunan kelapa sawit sekaligus pabrik kelapa sawit untuk mengolah TBS menjadi CPO;

– Perusahaan kelapa sawit tidak terintegrasi, yang hanya memiliki perkebunan kelapa sawit saja tanpa memiliki pabrik kelapa sawit. Sehingga, perusahaan melakukan titip olah hasil TBS ke pelaku industri pengolahan kelapa sawit untuk kemudian menjual CPO hasil olahan atau produk turunan lainnya.

Baca Juga  Pemerintah Inggris Pangkas Pajak Asuransi untuk Kelas Pekerja

Lalu sebenarnya bagaimana aspek perpajakan dari usaha kelapa sawit?

1. Pendaftaran

Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP harus oleh pengusaha kelapa sawit baik orang pribadi maupun badan. Pendaftaran dapat dilakukan secara langsung dengan mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau secara daring melalui laman ereg.pajak.go.id.

Mulai 1 Januari 2024, NPWP akan menggunakan format baru, yakni menggunakan NIK untuk orang pribadi dan 16 digit angka untuk NPWP badan.

Kemudian terdapat kewajiban mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila Pengusaha Kelapa Sawit telah memiliki omzet melebihi Rp4,8 Miliar dalam setahun. Hal ini dikarenakan kelapa sawit adalah merupakan barang kena pajak (BKP), sehingga pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan memenuhi batasan omzet maka ia memiliki kewajiban mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP.

2. Pemotongan/Pemungutan

– Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21

Pengusaha Kelapa Sawit yang telah ditunjuk sebagai pemotong diwajibkan untuk memotong PPh pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkannya sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, dan/atau jasa kepada Wajib Pajak orang pribadi yang meliputi pegawai tetap, pegawai tidak tetap, ataupun bukan pegawai. Misalnya atas pembayaran penghasilan kepada Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan jasa pembibitan, jasa penanaman, jasa konsultasi, dan jasa perorangan lainnya.

– PPh pasal 22

Pengusaha kelapa sawit/pabrik kelapa sawit yang tidak memiliki perkebunan kelapa sawit alias hanya melakukan pembelian TBS dari pedagang pengumpul kelapa sawit dan kemudian mengolah kelapa sawit tersebut menjadi CPO diharuskan untuk memungut PPh pasal 22. Objek PPh pasal 22 tersebut adalah pembelian bahan untuk keperluan industri perkebunan berupa TBS dari pedagang pengumpul. Adapun tarifnya adalah 0,25% dari harga pembelian TBS tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Baca Juga  Prosedur Pengajuan Restitusi Pajak oleh Pihak Pembayar

– PPh pasal 23

Pengusaha Kelapa Sawit yang telah ditunjuk sebagai pemotong diwajibkan untuk memotong PPh pasal 23 atas penghasilan yang dibayarkannya terkait dengan penggunaan jasa dan sewa alat yang diberikan oleh Wajib Pajak badan. Adapun jasa tersebut diantaranya adalah jasa perencanaan, jasa manajemen/konsultasi, jasa penilaian, dan sebagainya. Tarif PPh 23 atas jasa dan sewa ini adalah 2% dari dasar pengenaan pajak (DPP).

– PPh pasal 4 ayat (2)

Pengusaha Kelapa Sawit yang telah ditunjuk sebagai pemotong diwajibkan untuk melakukan pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa tertentu dan sumber tertentu yang bersifat final. Objeknya diantaranya adalah sewa tanah dan/atau bangunan, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, penghasilan dari pelaksanaan kontruksi, perencanaan/pengawasan konstruksi, dan sebagainya.

– PPN

Pengusaha Kelapa Sawit yang telah dikukuhkan sebagai PKP diwajibkan untuk melakukan pemungutan PPN. Untuk pemungutan PPN atas TBS diatur pada PMK nomor 64 tahun 2022 tentang penyerahan barang hasil pertanian tertentu. Untuk penyerahan TBS ini menggunakan tarif 10% dari tarif PPN yang berlaku. Sehingga untuk saat ini tarif yang digunakan adalah 1,1% dari harga jual TBS.

3. Pembayaran

– PPh pasal 4 ayat (2) PP nomor 23 tahun 2018

Pengusaha Kelapa Sawit yang memiliki omzet dibawah Rp4,8 Miliar dapat menggunakan fasilitas sesuai dengan PP nomor 23 tahun 2018 yakni PPh dengan tarif 0,5%. Sesuai dengan PP tersebut, Pengusaha Kelapa Sawit dapat menggunakan fasilitas ini dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi subyektifnya, yakni antara 3, 4, dan 7 tahun. PPh 0,5% ini harus dibayarkan perbulannya sesuai dengan penghasilan bruto per bulan.

Baca Juga  Menjernihkan Polemik Pajak THR

– PPh pasal 25 dan/atau 29

PPh pasal 25 dan/atau 29 wajib dibayarkan oleh Pengusaha Kelapa Sawit apabila Ia tidak/sudah tidak lagi menggunakan fasilitas sesuai PP nomor 23 tahun 2018. PPh pasal 25 merupakan angsuran perbulan dalam tahun pajak berjalan yang dihitung dari penghasilan teratur pada tahun pajak sebelumnya, sedangkan PPh pasal 29 adalah PPh kurang bayar atau sisa PPh terutang dalam tahun berjalan setelah dikurangi dengan kredit pajak.

– Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB perkebunan juga dapat dikenakan pada bumi dan/atau bangunan di kawasan perkebunan yang dimiliki oleh Pengusaha Kelapa Sawit. Tarifnya adalah 0,5% yang dikalikan dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yakni 40% atau 20% dikalikan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dikurangi dengan NJOP tidak kena pajak.

4. Pelaporan

Pengusaha Kelapa Sawit yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak maka diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan PPh Badan ataupun Orang Pribadi. Pengusaha Kelapa Sawit yang telah ditunjuk sebagai pemotong/pemungut PPh, maka wajib untuk menyetorkan dan melaporkan SPT Masa PPh. Dan untuk Pengusaha Kelapa Sawit yang telah dikukuhkan sebagai PKP, maka wajib untuk menerbitkan faktur pajak dan memungut PPN atas penyerahan BKP, serta melaporkan SPT Masa PPN.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *