in ,

Tiga Ancaman Global Bagi Perekonomian Indonesia

Tiga Ancaman Global Bagi Perekonomian
FOTO: IST

Tiga Ancaman Global Bagi Perekonomian Indonesia

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, perekonomian Indonesia maupun global terus membaik seiring meredanya pandemi COVID-19. Pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II-2022 tercatat sebesar 5,44 persen. Di sisi lain, ada tiga ancaman global bagi perekonomian nasional yang terus diwaspadai pemerintah.

“Memang ada pergeseran risiko dari pandemi COVID-19 menjadi ketidakpastian global. Ini disebut risiko perekonomian bergeser dari yang tadinya mengancam paling utama adalah pandemi, sekarang bergeser menjadi risiko finansial lewat penyesuaian kebijakan dan lonjakan inflasi dunia yang tinggi,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) Edisi Agustus 2022, yang dilakukan secara virtual (11/8).

Ia pun mengelaborasi ancaman itu. Pertama, lonjakan inflasi global yang disebabkan oleh kondisi geopolitik yang eskalatif. Selain ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina, terdapat ancaman baru akibat memanasnya hubungan Tiongkok dan Taiwan usai kunjungan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi.

“Kondisi akan menimbulkan tambahan risiko pada disrupsi rantai pasok. Di saat negara-negara mulai pulih dan mengalami peningkatan permintaan, suplai tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Sehingga, inflasi global dikhawatirkan melonjak. Kalau dilihat negara-negara lain sudah mengalami inflasi yang tinggi. Seperti kita lihat, inflasi di Eropa dan Amerika Serikat, bahkan menyentuh level tertinggi dalam 40 tahun terakhir,” ungkap Sri Mulyani.

Baca Juga  KADIN Optimistis Hasil Putusan MK Beri Kepastian bagi Dunia Usaha

Dengan inflasi yang tinggi dan banyaknya risiko, maka negara-negara di dunia berpotensi mengalami pelemahan kondisi ekonomi. Kondisi inilah yang disebut dengan stagflasi.

“Jadi, inflasi yang tinggi, pengetatan suku bunga, akan memperlemah kondisi ekonomi dunia. Ini adalah kombinasi yang rumit dan bahaya bagi para pembuat kebijakan dan bagi perekonomian,” tandas Sri Mulyani

Kedua, adanya pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga kebijakan bank-bank sentral di negara maju. Hal ini juga masih berhubungan dengan inflasi yang meningkat, sehingga ada respons kebijakan moneter lewat pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga.

“Pengetatan likuiditas negara maju akan membawa dampak rambatan terhadap pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam hal ini, volatilitas pasar keuangan menjadi naik dan terjadi hengkangnya arus modal asing dari pasar negara berkembang dan tekanan nilai tukar,” jelas Sri Mulyani.

Baca Juga  Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi Digital di ASEAN Diproyeksi 2 Triliun Dollar AS

Ketiga, potensi krisis utang global. Ia menjelaskan, sehubungan dengan keluarnya arus modal asing dari pasar keuangan negara-negara berkembang, maka akan menimbulkan tekanan pada nilai tukar juga. Kondisi inilah yang menjadi hal yang perlu diwaspadai bagi negara-negara dengan tingkat utang di atas 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan yang mendekati 100 persen terhadap PDB.

“Negara-negara itu akan menanggung lonjakan biaya utang. Bahkan, bila kita melihat data dari IMF, ada 60 negara yang terancam mengalami default atau gagal bayar utang gara-gara risiko biaya utang dan risiko refinancing yang naik tajam,” ujar Direktur Pelaksana Bank Dunia 2010-2016 ini.

Sri Mulyani pun menyebutkan, jumlah utang yang ditarik pemerintah di tahun 2022 lebih kecil, yaitu Rp 1.195 triliun. Indonesia tidak menambah utang baru yang awalnya diprediksi sebesar Rp 221 triliun. Kondisi ini karena kinerja pendapatan negara yang kian positif hingga semester I-2022. Dengan tidak adanya penambahan utang, pemerintah memproyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 mencapai 3,92 persen dari PDB atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan asumsi awal, yaitu 4,85 persen terhadap PDB.

Baca Juga  BI: Kinerja Kegiatan Dunia Usaha Meningkat Kuartal I-2024

“Untuk pembiayaan tahun lalu mencapai Rp 487,4 triliun. Sementara pada tahun ini, pemerintah baru menerbitkan utang Rp 223,9 triliun atau turun 54 persen khususnya untuk SBN (Surat Berharga Negara). Sedangkan pinjaman turun Rp 169,7 triliun, karena APBN makin diupayakan pulih,” ujar Sri Mulyani.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *