in ,

Startup Lakukan PHK Massal, Gejala Bubble Burst?

Gelembung pasar ekuitas dan ekonomi dapat menyebabkan sumber daya berubah ke area yang pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Sehingga pada akhir gelembung, sumber daya dipindahkan lagi yang menyebabkan harga berkurang.

Kerusakan akibat bubble burst akan tergantung kepada sektor ekonomi yang terlibat dan tingkat partisipasi. Sepanjang sejarahnya, ada beberapa peristiwa yang diduga menjadi penyebab bubble burst. Misalnya, bubble burst pertama dikaitkan dengan kemerosotan jual-beli tulip di Belanda selama tahun 1634-1637 yang disebut Tulip Mania.

Pada saat itu, tingginya permintaan bunga tulip menyebabkan petani bereksperimen dengan spesies dan warna. Hal ini membuat tulip menjadi objek spekulasi. Tulip menjadi komoditas sangat berharga, sehingga orang benar-benar menggadaikan rumah mereka untuk membeli umbi bunga tulip, dengan harapan bunga-bunga itu dapat dijual kembali dengan harga lebih tinggi.

Baca Juga  Implementasikan Prinsip ESG, AIA Luncurkan ePolicy

Namun, kepercayaan konsumen terkikis tiba-tiba. Saking banyaknya pedagang membuat tulip tidak berharga dan pasarnya pun rontok. Banyak yang menganggap fenomena ini menyebabkan penurunan ekonomi selama satu tahun di seluruh Belanda. Pada kasus lain, bubble burst pernah menyerang industri internet pada 1990-an.

Kejadian luar biasa ini dikenal juga dengan istilah dotcom bubble. Istilah ini juga bisa diartikan sebagai gelembung spekulasi yang muncul pada rentang 1998–2000. Pertumbuhan internet yang begitu pesat membuat banyak bursa saham di negara-negara industri naik tajam dari segi ekuitas. Kala itu, industri berbasis internet sekaligus bidang-bidang yang berkaitan juga mengalami pertumbuhan secepat kilat.

Namun, fenomena ini tidak serta-merta berbanding lurus dengan kesuksesan perusahaan-perusahaan rintisan digital. Karena terlalu bersemangat menggelontorkan dana besar secara serampangan, akibatnya perusahaan-perusahaan digital itu punya nilai pasar jauh di atas nilai mereka yang sesungguhnya. Akhirnya, banyak perusahaan yang sebelumnya sukses dengan cepat, kemudian hilang begitu saja.

Baca Juga  BPK Minta Pemerintah Terus Tingkatkan Kualitas APBN

Menyoroti peristiwa yang tengah viral di kalangan warganet ini, Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia Rudiantara mengatakan hal itu bukan menggambarkan kondisi bubble burst melainkan riak atau letupan kegagalan startup digital. Menurutnya, adalah sesuatu yang wajar apabila ada letupan-letupan di industri rintisan.

Sebagaimana bisnis pada umumnya, tidak semua perusahaan startup bisa sukses. Ia menyebut, ada sekitar 10 persen startup digital yang tidak bisa melewati tahun pertama, sedangkan 90 persen lainnya tidak bisa melewati 5 tahun selanjutnya.

Angka 10 persen yang berhasil melewati 5 tahun itu, sudah dianggap cukup bagus, karena jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 5-6 tahun yang lalu, yang angkanya mentok di 5 persen. Itu pun belum menjamin rintisan bisa melewati 5 tahun pertamanya bisa sukses.

Baca Juga  Menlu Retno: Indonesia Diplomasi Redakan Ketegangan Iran dan Israel

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *