in ,

Dinda Natasha, Jaga Konsistensi dan Integritas Konsultan Pajak

Dinda Natasha
FOTO: IST

Dinda Natasha, Jaga Konsistensi dan Integritas Konsultan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Kebanggan bagi Assistant Manager International Tax and Transfer Pricing TaxPrime Dinda Natasha adalah ketika compliance Wajib Pajak semakin baik berkat edukasi maupun advice yang diberikannya bersama tim TaxPrime.

“Saya bergabung di TaxPrime sejak tahun 2016. Dalam beberapa tahun ini, banyak perubahan yang terjadi seiring dengan pertambahan jumlah Wajib Pajak yang berkonsultasi, lini service yang disediakan, hingga bertambahnya rekan kerja. Namun, core value yang sama, terus dijunjung TaxPrime. Salah satunya, mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan. Misalnya untuk peraturan mengenai transfer pricing, spesifiknya terkait pendokumentasian transaksi dengan pihak afiliasi, adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213 Tahun 2016. Sejak PMK ini diterbitkan, TaxPrime terus mendorong Wajib Pajak untuk menyiapkan Transfer Pricing Documentation-nya sesuai yang disyaratkan dalam PMK ini. Dari sini, saya melihat sendiri bahwa TaxPrime memiliki konsistensi yang tinggi.” ungkap Dinda Natasha kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime Menara Kuningan, Jakarta Selatan (7/6).

Keteguhan TaxPrime dalam mendukung peningkatan kepatuhan perpajakan, membuatnya semakin bersemangat dalam bekerja. Dinda juga merasa, TaxPrime tidak kenal lelah untuk mengedukasi Wajib Pajak.

“Isu-isu yang beredar mengenai konsultan pajak akhir-akhir ini, tidak membuat saya meragukan bagaimana TaxPrime tetap menjaga integritas dan konsistensinya,” kata Dinda.

Baca Juga  Akuntan Pajak: Arsitek Keuangan dan Penguat “Self-Assessment”

Ketertarikan Dinda pada profesinya semakin bertambah ketika ia mempelajari transfer pricing yang menuntut pemahaman multidisiplin, termasuk akuntansi, ekonomi, hingga pengetahuan mengenai industri Wajib Pajak.

“Saat kita mempelajari transfer pricing dan international tax, pengetahuan yang dibutuhkan tidak terbatas pada peraturan domestik di Indonesia, tetapi juga international guidelines, best practice negara lain, hingga perkembangan terkini mengenai konsensus global. Jadi, dinamikanya sangat menarik,” kata Dinda.

Ia juga menyoroti, Indonesia sebagai anggota Inclusive Framework, bersama dengan 130 lebih negara lain, masih mengupayakan konsensus untuk penerapan Pilar 1 (unified approach dengan penetapan nexus baru dan profit allocation rule) dan Pilar 2 (global minimum tax). Dinda turut berharap, kedua pilar ini akan memperkuat penerimaan pajak sektor digital di Indonesia.

“Setelah presidensi G20 Indonesia di tahun 2022 kemarin, Pilar 2 sepertinya nampak lebih konkret untuk diterapkan. Di lain sisi, Pilar 1 masih menghadapi banyak sekali pertanyaan perihal teknis untuk diselesaikan, utamanya terkait pembagian hak pemajakan dan kerumitan implementasinya. Untuk sekarang ini, di bawah Presidensi G20 oleh India, Indonesia masih berkomitmen untuk mendukung tercapainya konsensus atas Pilar 1 dan Pilar 2. Namun, terlepas dari apakah konsensus global akan tercapai atau tidak, Indonesia tetap akan menjadi pasar potensial e-commerce. Sehingga akan baik apabila pemerintah dapat menangkap momentum ini dengan kebijakan fiskal,” ungkap Dinda.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

Di sisi lain, ia menilai, saat ini Wajib Pajak membutuhkan edukasi mengenai kebijakan pemajakan digital. Konsultan pajak memiliki peranan untuk menjembatani Wajib Pajak dengan otoritas pajak. Terlebih karena e-commerce memiliki proses bisnis atau value chain yang unik, dibutuhkan penelaahan secara hati-hati untuk mendukung perumusan kebijakan perpajakan yang tepat.

Mengenai pengalamannya yang berkesan selama bekerja sebagai konsultan pajak, Dinda juga menceritakan, “Tanggung jawab konsultan pajak itu bagaimana menjembatani Wajib Pajak dan otoritas pajak, serta memberikan advice bagi Wajib PajakSalah satu yang paling berkesan adalah ketika kami menangani sengketa- sengketa yang nampak sulit untuk diselesaikan di keberatan, namun dengan dibangunnya komunikasi antara Wajib Pajak dan otoritas pajak, kondisi seputar sengketa menjadi jelas baik bagi otoritas dan Wajib Pajak, hingga koreksi dapat dibatalkan. Itu membuat kami berpikir, ‘ternyata effort kami untuk memberikan pemahaman dan menjembatani itu bisa memberikan kepuasan yang lebih’.”

Untuk mencapai work-life balance dalam bekerja, Dinda meyakini waktu yang digunakan saat bekerja harus bisa dibagi antara membantu Wajib Pajak, memperhatikan kebutuhan tim, belajar dan update perkembangan perpajakan. Intinya, penerapan manajemen waktu sangat diperlukan supaya pekerjaan lebih efektif dan efisien.

Baca Juga  Akuntan Pajak: Arsitek Keuangan dan Penguat “Self-Assessment”

“Kesulitan untuk membagi waktu biasanya muncul ketika banyak hal yang harus diselesaikan bersamaan dan semuanya urgent, namun kita hanya punya waktu yang terbatas. Yang biasa saya gunakan adalah matriks kuadran untuk menentukan skala prioritas—matriks yang dibagi menjadi sumbu x (menandai intensitas hal-hal urgent) dan sumbu Y (menandai intensitas hal-hal important). Dalam matriksnya, kita urutkan task berdasarkan target dan deadline. Dalam tiap project, kita juga harus selalu membuat timeline, yang mem-breakdown milestone utama seperti jatuh tempo dan target submission, hingga daily activity.” ungkap Dinda.

Dengan membuat skala prioritas, ia merasa work-life balance dapat diwujudkan dan berimplikasi pada optimalnya hasil pekerjaan.

“Saya rasa, sebelum kita bisa mencapai work-life balance, kita harus bisa mencapai balance dalam bekerja terlebih dulu,” pungkas Dinda,

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *