in ,

Usul Pembentukan Lembaga Keberatan Pajak Independen

Lembaga Keberatan Pajak Independen
FOTO : IST

Usul Pembentukan Lembaga Keberatan Pajak Independen

Pajak.com, Jakarta – Selama ini, proses keberatan yang dijalani Wajib Pajak dinilai belum mencerminkan independensi seutuhnya, salah satunya disebabkan karena lembaga keberatan pajak masih berada di bawah struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Untuk itu, Perkumpulan Pengacara dan Praktisi Hukum Pajak Indonesia (P3HPI) mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga keberatan pajak independen, alias tak lagi berada di dalam DJP.

Ketua Umum P3HPI Jhon Eddy mengungkapkan, keberatan merupakan proses yang dapat dihadapi pelaku usaha atau Wajib Pajak dalam menghadapi pemeriksaan atau sengketa pajak. Namun, pada praktiknya banyak pengajuan keberatan yang tidak dikabulkan oleh DJP, sehingga Wajib Pajak harus mengajukan banding apabila ingin melanjutkan proses keberatan.

“Hal ini kemudian menjadi momok bagi Wajib Pajak. Karena, prinsip pelaku usaha mereka tidak mau adanya beban tambahan untuk melakukan upaya hukum seperti keberatan, banding, sampai PK (Peninjauan Kembali). Selain menyita waktu juga memakan biaya, karena kadang-kadang melibatkan pengacara pajak,” kata Jhon dalam webinar bertajuk Focus Group Discussion: Independensi dan Keterbukaan Dalam Keberatan Pajak, dikutip Pajak.com, Jumat (16/12).

Di sisi lain, lanjut Jhon, adanya dasar hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyebutkan bahwa keberatan mutlak hanya diajukan kepada DJP. Padahal, yang dihadapi Wajib Pajak dalam menangani sengketa pajak adalah DJP. Ia pun mengusulkan agar pemerintah dapat menata ulang organisasi keberatan pajak agar tercipta independensi.

Baca Juga  Mengenal “Treaty Shopping”, Dampak, dan Langkah Pencegahannya

Adapun lembaga keberatan pajak independen yang dimaksud Jhon memiliki komposisi dari berbagai pemangku kepentingan meliputi DJP, akademisi, praktisi seperti pengacara atau konsultan pajak, dan asosiasi pelaku usaha seperti KADIN atau Apindo.

“Jadi kami P3HPI mencoba melaksanakan FGD ini untuk menampung ide, pandangan, dan pendapat dari narasumber untuk melihat apakah keberatan bisa diberikan independensi dalam bentuk lembaga keberatan,” imbuhnya.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) Gunadi mengemukakan, proses penanganan sengketa pajak di Indonesia masih bersifat peradilan semu atau quasi-judicial, di mana DJP bertindak sebagai pengadil sekaligus menjadi pihak yang terlibat dalam proses keberatan pajak.

Selama lembaga keberatan pajak masih menjadi bagian DJP, Gunadi meyakini telaah keberatan pajak rentan intervensi eksekutif.

“Karena sebagai peradilan semu atau quasi-judicial, keberatan itu masih di Ditjen Pajak. Maka menjadi bagian Ditjen Pajak, yang bersangkutan dan telaah keberatan masih rentan intervensi eksekutif, maka independensi masih harus diusahakan,” paparnya.

Meski demikian, ia berharap kondisi tersebut tidak memengaruhi keputusan yang harus dibuat terhadap nasib keberatan Wajib Pajak.

“Walaupun tidak murni, suasana kebatinan peradilan semu diharapkan akan memberikan keputusan yang seadil-adilnya berdasarkan hukumnya,” imbuhnya.

Baca Juga  DPR Apresiasi Kanwil DJP Riau atas Penerimaan Pajak Rp 23,16 T

Gunadi menuturkan, agar keputusan keberatan dapat sebagaimana mestinya, DJP dapat merujuk pada empat prinsip hukum yang berlaku. Pertama, erga omnes yang berarti putusan pengadilan yang punya kekuatan hukum tetap berlaku untuk semua kasus atau masalah yang sama, bukan kasus yang bersangkutan. Menurutnya, hal ini bisa dirujuk oleh pemeriksa pajak dan penelaah keberatan.

Kedua, prinsip similia-similibus yang berarti semua kasus-kasus yang sama harus dapat perlakuan yang sama.

“Jadi kalau sudah ada kasus-kasus yang sudah diputus oleh pengadilan pajak atau diputus oleh keberatan dan dikabulkan, maka yang lain juga harus dikabulkan. Karena ini prinsip dalam undang-undang. Kalau tidak dikabulkan, artinya fiskus melanggar undang-undang itu,” ucap Guru Besar Tetap Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi UI ini.

Ketiga, prinsip yurisprudensi seperti termaktub dalam pasal 17 UU No. 14 Tahun 2000. Prinsip ini bermakna putusan-putusan pengadilan yang sudah berketetapan hukum tetap (inkracht) harus menjadi rujukan dalam pemeriksaan.

“Jadi koreksi-koreksi tidak boleh keluar dari situ. Telaah keberatan juga harus melakukan yurisprudensi, kalau tidak maka dianggap sebagai perlakuan yang sewenang-wenang,” katanya.

Keempat, tafsir dan aplikasi aturan pajak dan P3B harus berdasarkan iktikad baik. Semisal, jika ada keragu-raguan terhadap suatu sengketa pajak, maka pemerintah harus pro kepada Wajib Pajak—bukan kepada fiskus.

Baca Juga  DJP dan Singapura Bertukar Pengalaman Pengelolaan “Contact Center” Layanan Perpajakan 

Gunadi pun mengusulkan dua alternatif untuk menata ulang proses keberatan pajak Wajib Pajak. Ia pun merujuk kepada Thailand di mana lembaga keberatan pajak tidak berada di dalam instansi otoritas perpajakan, tetapi di bawah Kementerian Keuangan.

Alternatif kedua yakni menerapkan alternative dispute resolution dengan membentuk lembaga pertimbangan atau arbitrase yang melibatkan fiskus, konsultan pajak, dan akademisi. Kata Gunadi, lembaga telaah independen (independent review) di Australia ini cukup banyak dipercaya untuk mengatasi sengketa perpajakan.

“Jadi mereka ada semacam internal atau eksternal review oleh pihak ketiga untuk menyelesaikan keberatan. Sebelum sidang di pengadilan juga diadakan pertemuan rekonsiliasi atau mediasi, sehingga tidak langsung masuk ke persidangan. Sehingga di Australia PK hampir enggak ada, karena proses keberatan selesai di luar pengadilan,” pungkasnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *