in ,

Simak! Prosedur Penerbitan STP PBB Sesuai PMK Terbaru

Prosedur Penerbitan STP PBB
FOTO: IST

Simak! Prosedur Penerbitan STP PBB Sesuai PMK Terbaru

Pajak.comJakarta – Pajak bumi dan bangunan (PBB) merupakan sumber pendapatan negara yang penting untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, tidak semua Wajib Pajak taat membayar PBB sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk mengatasi hal ini, otoritas pajak memiliki metode untuk menagih PBB yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah jatuh tempo, yaitu dengan menerbitkan surat tagihan pajak (STP) PBB. Pajak.com akan membahas lebih lanjut tentang apa itu STP PBB serta bagaimana prosedur penerbitan STP PBB  sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru.

Apa itu STP PBB?

STP PBB adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menagih PBB yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah jatuh tempo pembayaran. Ada beberapa alasan yang mendasari perilaku Wajib Pajak yang lalai atas pembayaran PBB tepat waktu, seperti kurangnya kesadaran, keterbatasan informasi, atau kesulitan administrasi.

Pemerintah pun telah memerinci prosedur penerbitan STP PBB melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 80 Tahun 2023 (PMK 80/2023), yang mulai berlaku sejak 24 Agustus 2023.

“Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan diterbitkan dalam hal terdapat Pajak Bumi dan Bangunan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran,” demikian penggalan Pasal 28 PMK 80/2023.

Baca Juga  Kriteria Pemotong Pajak yang Wajib Lapor SPT Masa PPh 23/26 dalam Bentuk Dokumen Elektronik 

STP PBB terbagi dalam dua jenis, yaitu STP yang hanya memuat pokok PBB ditambah denda administratif, dan STP yang hanya memuat denda administratif. STP yang hanya memuat pokok PBB ditambah denda administratif diterbitkan jika jatuh tempo pembayaran PBB dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP) PBB terlampaui.

SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh pemerintah daerah untuk memberitahukan besarnya PBB yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setiap tahun. Sementara SKP adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk menetapkan kembali besarnya PBB yang harus dibayar oleh Wajib Pajak jika terdapat perubahan data atau informasi yang berpengaruh terhadap besarnya PBB.

Perlu diingat, STP yang hanya memuat denda administratif diterbitkan dalam beberapa kondisi, seperti Wajib Pajak melunasi pokok PBB setelah jatuh tempo SPPT atau SKP PBB tetapi DJP belum menerbitkan STP PBB, atau Wajib Pajak belum melunasi pokok PBB dalam STP PBB setelah melampaui jangka waktu 24 bulan.

Denda administratif tersebut dihitung melalui beberapa metode. Pertama, sejak berakhirnya jatuh tempo SPPT atau SKP PBB sampai dengan tanggal pembayaran atas pokok PBB yang masih harus dibayar, apabila belum diterbitkan STP PBB.

Baca Juga  Airlangga Tawarkan Peluang KEK ke Investor Singapura

Kedua, sejak berakhirnya jatuh tempo STP PBB sampai dengan tanggal pembayaran atas pokok PBB yang masih harus dibayar. Ketiga, sejak berakhirnya jatuh tempo STP PBB sampai dengan tanggal penerbitan STP PBB.

Bagaimana proses penerbitan STP PBB?

PMK 80/2023 menyatakan bahwa proses penerbitan STP PBB dimulai dengan penelitian terhadap data dan informasi yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Adapun penelitian dilakukan oleh petugas pajak yang berwenang untuk menentukan apakah ada ketidaksesuaian antara kewajiban perpajakan Wajib Pajak dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jika ada ketidaksesuaian, maka petugas pajak akan membuat nota penghitungan yang berisi perhitungan pokok PBB dan denda administratif yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Artinya, STP PBB diterbitkan berdasarkan nota penghitungan yang dibuat berdasarkan laporan hasil penelitian. Laporan hasil penelitian merupakan dokumen yang berisi hasil penelitian terhadap data dan informasi yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

STP PBB disampaikan/diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau pejabat di lingkungan DJP kepada Wajib Pajak. STP PBB harus memuat identitas Wajib Pajak, nomor pokok Wajib Pajak (NPWP), nomor objek pajak (NOP), tahun pajak, jenis dan besarnya pokok PBB dan denda administratif, jatuh tempo pembayaran, tempat pembayaran, tanda tangan dan nama pejabat yang menerbitkan, serta cap dinas.

Baca Juga  Akuntan Pajak: Arsitek Keuangan dan Penguat “Self-Assessment”

STP PBB dapat disampaikan kepada Wajib Pajak baik secara langsung, melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, maupun secara elektronik—apabila sistem sudah tersedia. Sebagai tambahan informasi, STP PBB diterbitkan paling lama lima tahun setelah saat berakhirnya Tahun Pajak.

Di sisi lain, Wajib Pajak yang menerima STP PBB harus segera melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam surat tersebut. Pembayaran dapat dilakukan melalui bank persepsi, kantor pos, atau tempat lain yang ditunjuk oleh pemerintah.

Wajib Pajak harus menunjukkan bukti pembayaran kepada petugas pajak yang menerbitkan STP PBB. Jika Wajib Pajak tidak melakukan pembayaran dalam jangka waktu yang ditentukan dalam STP PBB, maka DJP dapat melakukan penagihan seketika dan sekaligus.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *