in ,

Siap Adopsi Pilar 2, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Pilar 2 Dampaknya bagi Indonesia?
Foto: Dok.PT Pro Visioner Konsultindo/Desain: Muhammad Ikhsan Jamaludin

Siap Adopsi Pilar 2, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengadopsi pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) yang tertuang dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) pada tahun 2025. Dengan demikian, Senior Manager Divisi Transfer Pricing PT Pro Visioner Konsultindo Ramos Pardamean Purba mengingatkan bahwa cara memajaki perusahaan besar di seluruh dunia akan berubah. Seperti apa perubahannya? Kepada Pajak.com, Ramos akan mengajak kita mengenal lebih dekat dengan Pilar 2 dan dampaknya bagi Indonesia.

Secara filosofis, Ramos menyimpulkan bahwa Pilar 2 yang diinisiasi oleh negara-negara anggota Inclusive Framework OECD bertujuan untuk memastikan perusahaan membayar pajak dengan tepat. Tujuan ini sangat penting bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia.

“Pilar 2 bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan besar, terutama yang beroperasi di banyak negara, membayar pajak dengan adil. Ini penting, karena terkadang perusahaan-perusahaan ini membayar pajak yang sangat sedikit dengan menggunakan cara legal untuk memindahkan keuntungan mereka ke negara dengan pajak rendah,” jelasnya kepada Pajak.com, di Kantor PT Pro Visioner Konsultindo, Office 8, SCBD Lot Jalan Jenderal Sudirman kav 52-53 No.28, Senayan, Jakarta, (4/12).

Empat bagian utama Pilar 2

Lebih lanjut, Ramos memerinci empat bagian utama Pilar 2. Pertama, Income Inclusion Rule (IIR), yaitu skema yang mengatur apabila cabang perusahaan di negara lain membayar pajak sangat rendah, maka perusahaan induk di negara asal mungkin harus membayar pajak tambahan.

Baca Juga  Wajib Pajak Tak Perlu Khawatir ‘Surat Cinta’ dari DJP Enggak Bakal Nyasar Lewat “Core Tax”

“Misalnya, jika cabang di Indonesia hanya membayar pajak 10 persen, perusahaan induk di negara lain mungkin harus membayar tambahan 5 persen untuk mencapai tingkat minimum global sebesar 15 persen,” ujarnya.

Kedua, Undertaxed Payments Rule (UTPR). Ramos menjelaskan, aturan ini melihat pembayaran antara perusahaan dalam kelompok yang sama. Jika pembayaran ini dikenai pajak terlalu sedikit, maka aturan ini dapat menyesuaikan pajak agar lebih adil.

“Bayangkan sebuah perusahaan Indonesia mengirim uang ke sister company dan membayar pajak terlalu sedikit. Aturan ini dapat mengoreksinya,” tambahnya.

Ketiga, Subject to Tax Rule (STTR). Ramos menuturkan, aturan ini memungkinkan negara seperti Indonesia untuk memajaki pembayaran tertentu, diantaranya bunga atau biaya untuk menggunakan paten—bila mereka tidak dikenai pajak yang cukup dari negara lain.

“Misalnya, Indonesia dapat memajaki uang yang dibayarkan untuk menggunakan hak kekayaan intelektual atau bunga dari sebuah pinjaman jika pajak yang dibayar di negara lain terlalu rendah,” ujarnya.

Keempat, Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT). Ramos mengatakan, aturan ini adalah cara bagi negara untuk memastikan perusahaan membayar setidaknya pajak minimum di negaranya sendiri.

“Indonesia dapat menggunakan ini untuk memastikan perusahaan besar membayar setidaknya pajak minimum global,” tambahnya.

Lantas, aturan mana yang didahulukan? Menurut analisis Ramos, pada umumnya Indonesia mungkin terlebih dahulu fokus pada QDMTT untuk memastikan perusahaan membayar cukup pajak di Indonesia.

“Misalnya, jika sebuah perusahaan multinasional di Indonesia membayar pajak kurang dari 15 persen, QDMTT dapat diterapkan untuk menaikkan total pajak yang dibayarkan menjadi setidaknya 15 persen. Setelah itu, IIR akan diterapkan pada perusahaan induk di luar negeri, untuk memastikan bahwa pendapatan global grup tersebut dikenai pajak minimum. Misalkan, jika total pajak yang dibayar oleh seluruh grup di berbagai negara kurang dari 15 persen, perusahaan induk harus membayar pajak tambahan,” kata Ramos memberi ilustrasi.

Baca Juga  Respons PPN 12 Persen, DPR Dorong Pemerintah Perluas Barang dan Jasa Bebas PPN

Kemudian, UTPR dan STTR akan melihat pembayaran tertentu. Dengan demikian, UTPR bisa menyesuaikan pajak untuk pembayaran antar perusahaan grup yang dikenai pajak rendah, sedangkan STTR berfokus pada pembayaran lintas batas tertentu yang dikenai pajak rendah di negara penerima.

“Jika Indonesia mengirimkan royalti ke negara dengan tarif pajak rendah, STTR memungkinkan Indonesia untuk memungut pajak tambahan atas pembayaran tersebut,” imbuh Ramos.

Bagaimana kesiapan Indonesia mengadopsi Pilar 2?

Ramos menilai, Indonesia telah menunjukkan dukungannya terhadap perubahan pajak global melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

“Dalam Pasal 53 dan 54 PP Nomor 55 Tahun 202, Indonesia meletakkan dasar untuk memajaki perusahaan multinasional, terutama berfokus pada keuntungan ekonomi digital dan memastikan perusahaan-perusahaan ini membayar pajak minimum sesuai dengan standar global. Dengan adanya dasar ini, maka kita akan menunggu peraturan-peraturan turunan yang akan menjadi panduan dalam pelaksanaan Pilar 2 ini,” ungkapnya.

Apa dampak Pilar 2 ke Indonesia?

Seperti diketahui, tarif utama Pajak Penghasilan (PPh) badan di Indonesia adalah 22 persen. Artinya, tarif ini sudah lebih tinggi dari minimum global sebesar 15 persen.

Baca Juga  Menkeu Sri Mulyani Dorong Pemetaan Aktivitas Ekonomi Bawah Tanah

“Tarif pajak aktual yang dibayar perusahaan setelah menerapkan semua insentif atau Composite Effective Average Tax Rate (CEATR) 18,9 persen dan Composite Effective Marginal Tax Rate (CEMTR) 19,4 persen. Indonesia cukup baik dalam menyeimbangkan dengan standar global. Namun, Indonesia mungkin perlu memikirkan kembali insentif pajak terkait, terutama bila Indonesia ingin menarik bisnis, maka Indonesia perlu juga menyeimbangkan insentif tersebut dengan aturan pajak global baru,” jelas Ramos. Sebab apabila insentif ini membuat pajak terlalu rendah, aturan baru memberikan arti bahwa perusahaan harus membayar tambahan pajak.

Potensi pengurangan penerimaan pajak

Ramos juga menyoroti dampak potensi pengurangan penerimaan pajak akibat dari penerapan Pilar 2. Ia menganalisis beberapa faktor perlu diperhatikan, termasuk aturan pengecualian de minimis, GloBE safe harbour rule, dan Substance-Based Income Exclusion yang masuk dalam insentif pajak terkait.

“Namun, secara umum Pilar 2 adalah langkah besar untuk memastikan perusahaan membayar bagian pajak yang adil, tidak peduli di mana mereka beroperasi. Bagi Indonesia, ini adalah kesempatan untuk menyelaraskan aturan pajaknya dengan standar global, yang secara bersamaan tetap menjadi tempat yang menarik bagi bisnis untuk beroperasi. Semuanya tentang menemukan keseimbangan yang tepat antara memenuhi standar global dan menjaga daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi,” pungkas Ramos.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *