in ,

Richard Burton: Makna Hukum Pembetulan SPT dan Dalil Pembuktian Pungutan Pajak 

Makna Hukum Pembetulan SPT
FOTO: Richard Burton

Richard Burton: Makna Hukum Pembetulan SPT dan Dalil Pembuktian Pungutan Pajak 

Pajak.com, Jakarta – Persoalan terkait makna hukum pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) serta dalil pembuktian dalam pungutan pajak muncul dalam persidangan banding oleh Pemohon PT Victory Apparell Semarang diwakili kuasanya Gilbert Rely, di Pengadilan Pajak. Dalam persidangan ini, ahli hukum pajak Richard Burton dihadirkan untuk menjelaskan hal tersebut.

Mengawali penjelasannya, Richard mengutip pandangan ahli hukum mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan yang menyatakan bahwa mengadili menurut hukum merupakan salah satu asas mewujudkan negara berdasarkan atas hukum. Putusan hakim harus mempunyai dasar hukum substantif dan prosedural— yang telah ada sebelum perbuatan melawan hukum atau pelanggaran hukum terjadi.

“Pandangan hukum tersebut hendak menyimpulkan dua hal penting untuk dipahami dalam makna mengadili menurut hukum, Pertama, kepentingan hukum acara di semua lembaga peradilan (termasuk peradilan pajak) yang mesti dipatuhi. Karena tanpa hukum acara, tidaklah mungkin dapat menyelesaikan materi pokok perkara pada tujuan keadilan dan kepastian hukum yang menjadi tujuan hukum. Kedua, kepentingan mengutamakan keadilan substantif lebih penting ketimbang keadilan formal belaka,” ujar Richard dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (1/2).

Baca Juga  Neraca Perdagangan Indonesia Kembali Surplus 52 Bulan Beruntun, per Agustus Capai 2,90 Miliar Dollar AS

Ia lantas menganalisis persoalan hukum terkait pembetulan SPT saat Wajib Pajak dinilai melakukan kesalahan pencatatan lalu dikenakan pajak—sekalipun telah membetulkan SPT.  Persoalan menjadi rumit ketika norma Pasal 8 ayat (1) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyebutkan frasa ‘pernyataan tertulis’ serta ayat (4) dengan frasa ‘pengungkapan dalam laporan tersendiri’, yang dinilai seakan memiliki makna hukum khusus ketimbang bentuk formulir pembetulan SPT yang sudah lazim dilakukan.

“Rumusan norma pasal tersebut seakan tidak menghendaki (menolak) jika pembetulan SPT dilakukan dengan menggunakan bentuk Formulir Pembetulan SPT. Padahal, esensi persoalan hukumnya sama, yakni negara menghendaki adanya suatu nilai atau jumlah yang benar yang harus dibayar Wajib Pajak kepada negara.  Persoalan bentuk dokumen yang dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) seakan dinilai fiskus memiliki makna hukum berbeda dibandingkan Formulir Pembetulan SPT dalam format baku yang sudah diatur,” ujar Richard.

Ia juga mengkaitkan persoalannya dengan makna self assessment. Menurut Richard, semestinya sudah sangat terang masalahnya bahwa Wajib Pajak tidak boleh diintervensi fiskus—kecuali fiskus memberikan pelayanan bagaimana Wajib Pajak menggunakan haknya tersebut. Artinya,  self-assessment hendak menegaskan bahwa fiskus bersifat pasif, yang aktif Wajib Pajak sendiri, termasuk aktif membetulkan kesalahan dengan konsekuensi hukum terkena sanksi.

Baca Juga  Cara Ajukan Restitusi Bea Masuk, Bea Keluar, Hingga Denda Kepabeanan

“Bahwa makna hukum pembetulan SPT sesungguhnya telah memenuhi unsur ‘pernyataan tertulis’ dalam Pasal 8 ayat (1) KUP dengan dua alasan hukum, yaitu isi pembetulan SPT dinyatakan Wajib Pajak sendiri yang bentuknya tertulis, tidak harus ada kata-kata dengan judul menyatakan ‘Surat Pernyataan’ karena menurut hukum sudah merupakan pernyataan diri Wajib Pajak yang bukti tanda tangan sebagai cara menyatakan sah menurut hukum,” jelas Richard,

Begitupun unsur ‘pengungkapan dengan laporan tersendiri’ dalam ayat (4) sama dengan formulir pembetulan SPT, dengan dua alasan hukum, yaitu pertama, pembetulan SPT merupakan pengungkapan kesalahan atas kemauan Wajib Pajak sendiri sesuai keadaan sebenarnya. Kedua, frasa ‘mengungkapkan laporan tersendiri’ tidak memiliki makna hukum khusus karena yang dikehendaki undang-undang adalah nilai pajak yang mencerminkan keadaan sebenarnya.

Baca Juga  Penutupan Edukasi “Core Tax” Tahap I Kanwil DJP Jaktim: Mendorong Transformasi Digital Perpajakan

“Kalau begitu, yang dikehendaki bukan kebenaran formal belaka, melainkan kebenaran material (substansial). Hukum memberi penilaian bahwa kebenaran substansial lebih memberi keadilan dan kepastian ketimbang kebenaran formal, yang dalam ragam putusan Pengadilan Pajak kerap disebut substance over form (substansi suatu kejadian mengungguli formalitas). Konsep inipun tegas disebutkan dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022,” ungkap Richard.

Selain itu, persoalan dalil pembuktian juga dijelaskan bahwa harus ada dalil hukum pembuktian—siapa mendalilkan, dia harus membuktikannya (actori in cumbit probatio).

“Ketika Wajib Pajak menyatakan sesuatu, maka Wajib Pajak yang harus membuktikannya. Sebaliknya, jika fiskus menyatakan sesuatu, maka dibuktikan fiskus sendiri. Itulah keseimbangan hukum yang dikehendaki para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang muncul,” ujar Richard.

Ia pun diakhiri dengan mengingatkan hakim supaya memutus sengketa didasarkan pada hukum, bukan didasarkan UU.

“Karena hakim bukan corong undang-undang (bouche de la loi, the mouth of laws) melainkan corong hukum, seperti dinyatakan dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” pungkas Richard.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *