in ,

Pahami Kewenangan Penyidik Pajak

Kewenangan Penyidik Pajak
FOTO: IST

Pahami Kewenangan Penyidik Pajak

Pajak.com, Jakarta – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 menegaskan, penyidik pajak dapat meminta bantuan aparat penegak hukum, seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atau Kejaksaan. Bantuan itu dapat berupa pemeriksaan laboratorium forensik, pemeriksaan identifikasi, pemeriksaan psikologi, penangkapan, penahanan, dan sebagainya. Lantas, apa saja kewenangan penyidik pajak? Pajak.com akan mengulasnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Apa itu kegiatan penyidikan pajak? 

Sebelumnya, mari mengenal terlebih dahulu mengenai definisi kegiatan penyidikan pajak yang berlaku di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), penyidikan pajak atau penyidikan tindak pidana bidang perpajakan merupakan suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh penyidik untuk dapat mencari dan mengumpulkan bukti permulaan yang kuat. Kegiatan penyidikan pajak juga sesuai dengan ketentuan UU Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Namun, kegiatan penyidikan pajak merupakan proses penegakan hukum terakhir yang dilakukan DJP, setelah sebelumnya melakukan kegiatan pemeriksaan. Sebab bila Wajib Pajak dinilai pemeriksa melakukan kesalahan, Wajib Pajak dapat memperbaiki atau membetulkan pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) tahunan.

Baca Juga  Cara Ajukan Permohonan Pembetulan Surat Ketetapan/Keputusan Pajak
Apa saja kewenangan penyidik pajak? 

Dalam Pasal 44 ayat (2) UU KUP dan PP Nomor 50 Tahun 2022 kewenangan penyidik pajak, yaitu:

– Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan menjadi lebih lengkap dan jelas.
– Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan
– Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
– Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
– Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti.
– Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
– Memberi perintah untuk berhenti atau melarang seseorang meninggalkan ruangan/tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan dokumen yang dibawa.
– Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
– Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
– Melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat.
– Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menghentikan penyidikan.

Baca Juga  Mengenal “Treaty Shopping”, Dampak, dan Langkah Pencegahannya
Bagaimana mekanisme penghentian proses penyidikan pajak? 

Sesuai UU KUP Pasal 44 A, penyidikan dapat dihentikan prosesnya apabila tidak ditemukan cukup bukti atau peristiwa yang menjamin hal termasuk ke dalam tindak pidana di bidang perpajakan, atau tersangkanya sudah dinyatakan meninggal dunia.

Ditulis oleh

Baca Juga  Cara Menyampaikan Perubahan Data Perusahaan ke Kantor Pajak

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *