MK: Tak Boleh Ada Upaya Paksa dalam Pemeriksaan Bukper Perpajakan
Pajak.com, Jakarta – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Enny Nurbaningsih membacakan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). MK memutuskan bahwa tak boleh ada upaya paksa dalam pemeriksaan bukti permulaan (bukper) tindak pidana perpajakan.
Keputusan tersebut dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan Nomor 83/PUU-XXI/2023 yang diajukan Surianingsih dan PT Putra Indah Jaya ini digelar MK, di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, Jakarta.
Sekilas mengulas, pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengelola data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sedangkan bukper merupakan keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Dengan demikian, pemeriksaan bukper adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukper tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Enny menuturkan, norma Pasal 43A dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP mengatur pemeriksaan bukper sebelum penyidikan yang dinyatakan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Untuk itu, semestinya tidak mengatur hal-hal yang terkait dengan tindakan upaya paksa (pro justitia).
“Hal tersebut dapat berpotensi melanggar esensi dari penyelidikan itu sendiri dalam memeriksa bukper. Terlebih, terhadap tindakan dalam proses penyelidikan tidak dapat menjadi objek gugatan praperadilan, karena pada dasarnya tindakan yang dilakukan belum masuk pada upaya paksa. PMK pun tidak dapat mengatur ketentuan yang substansinya memberikan wewenang dalam penyelidikan yang mengandung sifat pemaksaan atau upaya paksa,” jelasnya, dikutip Pajak.com, (16/2).
Ia menegaskan, apabila terdapat tindakan upaya paksa dalam tahap pemeriksaan bukper sebelum penyidikan, maka lembaga praperadilan dapat melakukan pengujian yang sah. Namun terhadap permohonan agar MK menegaskan menjadi objek praperadilan, tidak dapat dilakukan. Sebab objek praperadilan telah diatur secara rigid dalam ketentuan norma Pasal 77 KUHAP sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014.
“Jika MK mengakomodir keinginan para Pemohon tersebut, akan mempersempit hakikat objek praperadilan. Dalil para Pemohon yang mempersoalkan tidak adanya kepastian hukum karena pemeriksaan bukper tidak menjadi objek praperadilan,” ungkap Enny.
Pada kesempatan yang sama, Ketua MK Suhartoyo pun membacakan amar Putusan Nomor 83/PUU-XXI/2023.
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” tegas Suhartoyo.
Dalam amar putusan tersebut, MK menyatakan frasa pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan dalam Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat—apabila tidak dimaknai sebagai tindakan upaya paksa.
“Maka, norma Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP menjadi ‘Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sepanjang tidak terdapat tindakan upaya paksa’,” jelas Suhartoyo.
MK juga menyatakan bahwa Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Namun, sepanjang tidak dimaknai sebagai pelanggaran hak asasi Wajib Pajak.
“Selengkapnya norma Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP menjadi ‘tata cara pemeriksaan bukper tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan PMK sepanjang tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan upaya paksa dan melanggar hak asasi Wajib Pajak,” ungkap Suhartoyo.
Comments