in ,

MK Diminta Pisahkan DJP dari Kemenkeu

MK Diminta Pisahkan DJP dari Kemenkeu
FOTO: IST

MK Diminta Pisahkan DJP dari Kemenkeu

Pajak.com, Jakarta – Konsultan pajak bernama Sangap Tua Ritonga mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonannya, MK diminta pisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor 155/PUU-XXI/2023 ini mempersoalkan Pasal 5 dan Pasal 15 UU Kementerian Negara yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Adapun Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara menyatakan, “Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf (b), meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.”

Sementara, Pasal 15 UU Kementerian Negara berbunyi, “Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34.”

Pemohon yang diwakili oleh Pither Ponda Barany juga menyoroti bahwa slogan Kemenkeu SATU yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2022 telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab terjadi pencampuradukkan nomenklatur keuangan dengan nomenklatur pajak.

Baca Juga  Edi Slamet Irianto: Tahun 2023 Momentum Transformasi Perpajakan Indonesia

“Padahal secara konstitusi sejak amendemen ketiga UUD 1945 antara nomenklatur keuangan dan nomenklatur pajak secara nyata dan jelas telah dipisahkan dari sebelumnya hanya diatur dalam Pasal 23. Namun, pada amandemen ketiga dipisahkan menjadi Pasal 23 untuk nomenklatur keuangan dan Pasal 23A UUD 1945 untuk nomenklatur pajak,” jelas Pither di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dikutip Pajak.com, (14/12).

Pemohon menilai, pencampuradukan nomenklatur akan berimplikasi pada berbagai aspek, diantaranya organisasi, sumber daya manusia (SDM), sistem informasi teknologi , dan operasional. Menurut Pither, hal ini akan memengaruhi interaksi pemohon dalam melaksanakan pelayanan pada klien/Wajib Pajak.

“Secara nyata pencampuradukan treasury dan fungsi penerimaan negara dalam satu komando dalam nomenklatur keuangan dalam praktiknya berpotensi menimbulkan masalah public policy, khususnya pembuat kebijakan pajak yang pada ujungnya akan menjadi beban dari klien pemohon dan tentunya pemohon sendiri yang berprofesi sebagai konsultan pajak,” jelasnya.

Pither menjelaskan, fungsi treasury, pembuat kebijakan pajak, dan administrasi pajak yang menjadi satu komando tentunya akan diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. Namun dalam kenyataannya, hal tersebut akan menaikkan target pajak tanpa didasari oleh perhitungan gap potensi yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak.

“Kondisi demikian akan membuat para Wajib Pajak menjadi sasaran untuk selalu harus menambah kontribusi pajaknya, karena adanya kebutuhan APBN yang sangat meningkat. Padahal pemohon selaku profesi konsultan yang mendapat kuasa dari klien, sudah sering mengedukasi klien untuk membayar pajak secara self assesment dengan jujur dan terbuka sesuai dengan gap potensi pajak yang terbuka dan riil,” ujarnya.

Dengan demikian, pemohon mendalilkan agar ada pemisahan DJP dan Kemenkeu, sehingga terbangunnya tata kelola kelembagaan yang bersifat otonom—bisa mengurangi kewenangan Kemenkeu karena terdapat pemisahan kewenangan penerimaan negara dan perbendaharaan negara.

“Selain itu, pemisahan ini juga dapat meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan pengawasan, dan mengurangi potensi conflict of interest. Sehingga, pada petitum, kami berharap MK menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara inkonstitusional sepanjang tidak mencantumkan kata ‘pajak’ sebagai nomenklatur yang terpisah dari nomenklatur ‘keuangan’. Kemudian, dengan mendasarkan pada Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 yang tidak secara tersurat membatasi jumlah kementerian, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 15 UU a quo,” ungkap Pither.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan pemohon untuk memperbaiki permohonan dengan menguraikan kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakunya Pasal 5 dan Pasal 15 UU Kementerian Negara. Menurut Arief, sangat penting untuk menjelaskan apakah pemohon mempunyai kedudukan atau tidak.

“Untuk bisa menerangkan itu, maka Pak Sangap Tua Ritonga itu perorangan atau apa? Jadi, subjek hukum bisa mengajukan judicial review itu apa saja? Pak Sangap Tua Ritonga ini masuk subjek hukum yang mana?—perorangan, badan hukum, atau masyarakat adat. Nanti disebutkan di situ. Kemudian, ada kerugian. Bukan kerugian ekonomi tetapi kerugian hak konstitusional warga karena diberlakukan oleh Pasal 5 dan Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2008, tolong dijelaskan,” jelasnya.

Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon untuk mengecek kembali apakah perkara ini pernah diujikan ke MK atau sudah pernah diputuskan oleh MK.

“Itu harus dicek supaya tidak sampai permohonan ini dinyatakan sesuatu yang nebis in idem. Jadi, tolong diperhatikan semuanya,” tegasnya.

Ia pun mengingatkan agar pemohon penyerahan berkas perbaikan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada 27 Desember 2023 pukul 09.00 WIB. Sebab agenda sidang berikutnya adalah sidang mendengarkan perbaikan permohonan.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *