in ,

ACEXI Tingkatkan Kapabilitas Ahli Emisi untuk Dorong “Impact” Berkelanjutan

ACEXI Tingkatkan Kapabilitas Ahli Emisi
FOTO: Aldino Kurniawan dan Tiga Dimensi

ACEXI Tingkatkan Kapabilitas Ahli Emisi untuk Dorong “Impact” Berkelanjutan

Pajak.com, Jakarta – Pengelolaan penerapan Environmental, Social, dan Governance (ESG) diproyeksi mencapai sebesar 70 miliar dollar AS dengan lebih dari 40 ribu proyek. Untuk itu, Wakil Ketua Dewan Pembina Asosiasi Ahli Emisi Karbon Indonesia atau Association of Carbon Emission Experts Indonesia (ACEXI) Muhamad Fajar Putranto memastikan, ACEXI hadir tingkatkan kapabilitas ahli emisi demi mendorong proyek ESG yang mampu memberi impact berkelanjutanbaik kepada stakeholder, shareholder, maupun publik. Sebab Fajar mengingatkan bahwa menerapkan prinsip ESG bukan sekadar carbon credit atau tax carbon, melainkan juga memberi impact yang lebih luas.

“Peran kita sebagai profesional bagaimana membantu perusahaan, baik yang mulitinasional atau lokal dengan tidak hanya membuat sustainability report atau ESG report. Karena sebenarnya kepentingan bisnis adalah bagaimana bisnis itu sustain, yaitu dengan cara dia harus menjaga etika bisnis—bagaimana dia take care kepada baik pegawai atau eksternal, baik dari segi finansial maupun memberikan impact. Jadi, kita, para profesional perlu meningkatkan dan meluruskan pola fikir, bahwa perusahaan tidak hanya fokus carbon credit atau carbon tax, kita harus mendorong bagaimana dia melihat lebih luas lagi impact dari yang dilakukan perusahaan. Kita bisa membantu perusahaan untuk membuat sustainability report yang lebih baik,” jelasnya dalam sesi diskusi acara Grand Launching dan Pelantikan Pengurus ACEXI, di Hotel Mercure Batavia, Jakarta, (13/12).

Fajar optimistis penyelenggaraan proyek ESG di tanah air akan jauh lebih mudah karena Indonesia dianugerahi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan budaya gotong royong. Hanya saja dibutuhkan penguatan peran profesional untuk memberikan kontribusinya dalam mengelola dan memberi makna.

“Bagaimana kita di Indonesia mampu melakukan utiliasi dalam menurunkan emisi karbon dan menyikapi masalah-masalah ESG, bukan hanya soal carbon credit, tapi kembali lagi—bagaimana menyelenggarakan proyek ESG yang memberikan impact yang lebih luas, baik untuk menjaga kelestarian alam maupun meningkatkan sumber daya manusianya,” ujarnya.

Perspektif senada juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal ACEXI Brian Pramudita. Ia menilai, saat ini sustainability report yang dibuat oleh perusahaan masih masuk dalam kategori standar minimal.

Baca Juga  Perkuat Kolaborasi Ahli Emisi Karbon, ACEXI Lantik Pengurus dan Teken MoU dengan BKI - BSN

“Kita enggak bisa bilang perusahan tidak memenuhi standar, tapi untuk menggugurkan kewajiban saja. Misalnya, dalam Global Reporting Initiative/GRI-16 (mengenai keuangan berkelanjutan) bicara tentang untuk menyusun aspek emisi perbankan, maka dia bicara tentang scope satu dan dua, scope tiga sebagian—menjelaskan proses internal. Padahal sebenarnya esensi menjadikan NZE (net zero emissions), bukan cuma bicara dirinya. Isinya (scope tiga dalam GRI-16) mereka mendorong pihak lain bersama untuk mengurangi emisi,” jelas Brian.

Sementara itu, Ketua Umum ACEXI Lastyo Kuntoaji Lukito menggarisbawahi bahwa program dan kegiatan yang dijalankan ACEXI harus diawali dengan niat tulus untuk menjaga kelangsungan bumi, sehingga dapat dinikmati oleh anak cucu di kemudian hari.

“Kita harus memastikan bahwa kita adalah profesional yang bisa bersaing secara global, sehingga menciptakan proses yang lebih baik dalam konteks pengelolaan emisi karbon. Kita melatih anggota untuk berkembang dan berkontribusi memberikan makna. Tugas kita menginvestarisasi terkait energi, karbon, dan ESG, misalnya bagaimana dari aspek menyesuaikan standardisasinya, akuntansinya, dan perpajakannya,” ungkap Lastyo.

Secara simutan, ACEXI terus memperkuat kemitraan dengan pemerintah dalam hal memberikan input terkait strategi atau kebjakan emisi karbon, baik melalui white papper, policy papper, maupun penyelenggaraan seminar.

“Kita menyadari, kebijakan pemerintah tidak akan terimplementasi kalau semua berjalan sendiri-sendiri. Private dan public sector harus banyak berkolaborasi. Karena carbon management itu tidak hanya satu ahli yang dapat mengelolanya, banyak aspek. Jangan lupa, carbon management itu mengenai proses,” ungkap Lastyo.

Untuk itu, Ketua Dewan Pengawas ACEXI Poempida Hidayatulloh menekankan, Indonesia membutuhkan banyak ahli emisi karbon yang kapabel dan berintegritas untuk memverfikasi, memvalidasi, menyesuaikan dengan standar, hingga membuat pelaporan terkait proses carbon management itu.

“Saya sepakat, kita niatkan untuk tulus dalam konteks menjaga bumi dan harus mengerjakannya secara bersama-bersama. Sebagai contoh, kemarin di Bali, kita MoU meresmikan SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk CCS (Carbon Capture Storage) dengan potensi sekitar 703 giga ton. Potensi dan peluang ini perlu ditangkap oleh para ahli dari Indonesia, bukan melulu pihak asing. Contoh lain, mengenai NBS (Nature-Based Solutions), hutan kita ada 30 juta. Maka, kita harus menangkap peluang terkait pemberian sertifikasinya. Ada juga proses dekorbonisasi yang harus memiliki NRV (Net Realizable Value), misalnya kita bisa memanfaatkan blockchain dan software untuk mengakamodasi itu,” ungkap Poempida.

Ia memastikan, ACEXI berupaya meningkatkan kapabilitas para emisi karbon untuk menangkap beragam peluang itu yang dimulai dengan membangun kode etik. Dengan begitu, ACEXI mampu melahirkan ahli emisi karbon yang kapabel, berintegritas, profesional, produktif, mandiri, sejahtera, dan adil guna membangun daya saing dalam dunia usaha, sehingga dapat meningkatkan perekonomian nasional serta kesejahteraan masyarakat.

Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001–2004 Rokhmin Dahuri
mengapresiasi lahirnya ACEXI sebagai perkumpulan para ahli. Namun, perlu digarisbawahi bahwa karbon merupakan bidang baru yang perlu terus ditingkatkan pengetahuannya.

“Kita harus bahagia dan bersyukur karena menjadi bagian dari ACEXI yang didirikan teman-teman muda semua. Indonesia merupakan big player (carbon sink), karena hutan kita luas, bicara mangrove (13 juta hektare) kita nomor satu terbesar di dunia, terumbu karang kita terbesar kedua di dunia. Dari segi blue carbon kita juga terbesar, punya potensi yang besar. Dari segi emisi karbon kita harusnya juga sangat potensial, bukan dari industri dan transportasi tapi dari kelautan dan kehutanan,” ungkap Rokhmin.

Ia mengingatkan, Indonesia adalah negara yang paling terdampak perubahan iklim global. Sebab Indonesia berada di daerah tropis—apabila terjadi sedikit peningkatan suhu, maka aspek biologi akan hancur. Pasalnya, organisme di daerah tropis terhadap perubahan suhu sangat kecil.

“Naik 3 derajat saja (organisme di Indonesia) sudah terdampak semua. Kemudian, 70 persen pesisir Indonesia landai sehingga akan terdampak sekali apabila terjadi perubahan iklim. Untuk itu, kita tergabung dalam ACEXI. Menurut saya, kita di wadah yang tepat. Indonesia dan dunia membutuhkan ahli semacam kita. ACEXI bukan sekadar memberikan manfaat untuk individu, tapi juga memberi benefit bagi negara dan dunia,” pungkas Rokhmin.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *