in ,

Menyisir dan Optimalisasi Potensi Penerimaan Pajak Daerah

Menyisir dan Optimalisasi Potensi Penerimaan Pajak Daerah
FOTO: Dok.PT Provosio Consulting/Desain: Muhammad Ikhsan Jamaludi

Menyisir dan Optimalisasi Potensi Penerimaan Pajak Daerah

Pajak.com, Jakarta – Belum lama ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengusulkan pengenaan pajak daerah kepada on-line shop (olshop) dan ojek on-line (ojol) untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Senior Manager PT Pro Visioner Konsultindo Hariyanto memiliki prespektif bahwa rencana Pemprov DKI Jakarta itu perlu dikaji secara mendalam, karena bukan merupakan objek pajak daerah. Ia pun menyarankan agar pemerintah daerah (pemda) dapat menyisir dan optimalisasi potensi penerimaan pajak daerah yang telah diatur dalam undang-undang (UU).

Definisi dan jenis pajak daerah

Hariyanto terlebih dahulu mengajak kita untuk memahami kembali definisi pajak daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Beleid ini menegaskan, pajak daerah sebagai kontribusi Wajib Pajak kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, diuraikan pembagian jenis pajak daerah meliputi, pertama, pajak provinsi terdiri atas pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok.

Kedua, jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

“Tentunya usulan Pemprov DKI Jakarta terkait dengan pengenaan pajak daerah kepada on-line shop dan ojek on-line harus dikaji dengan matang dan berhati-hati, unsur apa saja yang akan dikenakan pajak atas layanan transportasi on-line dan on-line shop tersebut. Perlu juga dikomunikasikan dengan pemerintah pusat yang juga mempunyai regulasi terkait dengan perpajakan,” ujar Hariyanto kepada Pajak.com, di Kantor PT Pro Visioner Konsultindo, Office 8, SCBD Lot Jalan Jenderal Sudirman kav 52-53 No.28, Senayan, Jakarta, (12/1).

Baca Juga  Kemenkeu dan Pemda Targetkan Rasio Pajak Daerah 3 Persen

Ia menekankan, pengkajian yang matang itu berkaitan dengan prinsip utama hukum pemajakan berkeadilan. Sebab sejatinya kebijakan pemerintah tidak boleh menimbulkan pajak berganda (double taxation).

“Artinya jangan ada pengenaan pajak atas satu jenis objek pajak dalam periode yang sama terhadap subyek pajak yang sama oleh dua juridiksi yang berbeda. Selama ini pemerintah selalu berusaha untuk menjaga kewenangan pemajakan, karena Indonesia mengenal adanya pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat dipungut oleh pemerintah pusat melalui kewenangan yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sedangkan pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah melalui satuan kerja pendapatan daerah yang dimilikinya,” tegas Hariyanto.

Menyisir dan optimalisasi potensi penerimaan pajak daerah

Dengan demikian, ia menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta maupun pemda lainnya dapat menyisir dan mengoptimalisasi potensi PAD atas objek pajak yang sudah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 maupun UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

“Salah satu caranya, sebaiknya memang pemda meningkatkan kerja sama dengan penyedia layanan on-line shop. Contohnya ketika transaksi makanan sudah mencapai omzet tertentu, pemda bisa langsung menarik pajak restoran melalui penyedia layanan tersebut. Dengan begitu, pemda bisa mengoptimalkan pajak restoran,” jelas Hariyanto.

Secara simultan, optimalisasi penerimaan pajak sejenis dapat dilakukan pemda melalui pemasangan tapping box di usaha restoran, hotel, dan hiburan. Tapping box adalah alat pemantau pajak untuk menghindari penyelewengan dengan merekam setiap transaksi yang dilakukan pada bisnis. Cara kerja tapping box, yaitu dengan melakukan perbandingan antara total transaksi tempat usaha dengan jumlah pajak daerah yang harus dibayarkan.

“Karena upaya penghindaran pajak restoran itu ada. Usaha rumahan yang tidak terdaftar atas usaha tersebut sebagai Wajib Pajak daerah, sehingga tidak diketahui oleh orang pemda. Namun atas penghasilan tersebut hanya disetorkan atas PPh (Pajak Penghasilan) UMKM (usaha mikro kecil menengah) atas orang pribadi,” ungkap Hariyanto.

Ia juga berpandangan, Pemprov DKI Jakarta bisa mengoptimalkan penerimaan daerah dari pajak kendaraan bermotor atau PBB-P2.

“Optimalisasi bisa dilakukan dengan memberikan berbagai insentif fiskal, hal ini sejatinya telah dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Contoh insentif yang diberikan, antara lain pemberian potongan 5 persen sampai dengan 20 persen dan penghapusan sanksi untuk pembayaran PBB. Maka, diharapkan insentif fiskal bisa lebih mengoptimalkan penerimaan pajak daerah dan juga meningkatkan kesadaran Wajib Pajak untuk membayar pajak,” ujar Hariyanto.

Ia menganalisis, penghindaran pajak kendaraan bermotor kerap terjadi karena masyarakat yang notabene pekerja tidak memungkinkan membayar kewajibannya di samsat. Sehingga mereka lupa membayar pajak kendaraannya. Artinya, indikator utama ketidakpatuhan Wajib Pajak adalah kompleksitas administrasi perpajakan.

“Penghindaraan pajak juga karena kendaraan yang dimiliki orang-orang perdesaan tidak terjangkau oleh operasi kepolisian, alhasil tidak memberikan sanksi kepada mereka. Sementara terkait Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, penjual tidak tahu untuk menghapus kepemilikan kendaraan yang dijual dengan menginput data NIK (Nomor Induk Kependudukan) pembeli sehingga kendaraan bermotor akan tetap atas nama penjual sampai pembeli mendaftarkan sendiri atas kendaraan tersebut,” ungkap Hariyanto.

Dengan demikian, ia optimistis, pemberian insentif perpajakan dan pemanfaatan teknologi dapat memitigasi penghindaran pajak daerah. Apalagi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menargetkan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) bisa beroperasi secara penuh di tahun 2023. Pemerintah juga tengah menyiapkan sistem interoperabilitas bagi aplikasi-aplikasi pemerintah, baik di tingkat kementerian dan lembaga (K/L) pusat maupun daerah. Kebijakan ini telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE. Beberapa inovasi digital yang telah diluncurkan antara lain Sistem Monitoring Pendapatan Daerah (SIMANDA), sistem evaluasi pajak dan retribusi daerah, e-konsultan, e-pengaduan, e-sertifikat dan e-office.

“Berbagai inovasi digital itu memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri, memudahkan untuk pembayaran pajak dan pelaporan pajaknya. Wajib pajak juga bisa konsultasi perihal perpajakannya menggunakan aplikasi e-konsultan. Dengan penggunaan sistem aplikasi digital ini, pengelolaan keuangan daerah akan lebih efisien, transparan, dan akuntabel,” ungkap Hariyanto.

Secara parsial, penting bagi pemda melakukan pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel, mulai dari aktivitas perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Keberhasilan dalam pengelolaan keuangan daerah memiliki kontribusi signifikan dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan di setiap daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang berhasil, antara lain dapat dicirikan dengan terwujudnya pengelolaan keuangan yang taat azas, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Untuk menunjang ini, kembali lagi pemda sebaiknya segera mengimplementasikan elektronifikasi transaksi,” jelas Hariyanto.

Baca Juga  Lima Elemen Manfaat UU HKPD bagi Pemda dan Masyarakat

UU HKPD 

Ia juga menilai UU HKPD turut mendorong optimalisasi penerimaan maupun rasio pajak daerah yang tergolong masih rendah, yaitu sekitar 1,3 persen. Menurut Hariyanto, UU HKPD didesain untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dengan meningkatkan pendapatan asli daerah, melaksanakan transfer ke daerah yang berkualitas dan memperluas akses pembiayaan.

“Peningkatan kapasitas fiskal daerah dapat dicapai dengan memperkuat desentralisasi fiskal agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia lebih merata. Untuk mengoptimalkan desentralisasi fiskal, UU HKPD disusun berdasarkan empat pilar, yaitu ketimpangan vertikal dan horizontal yang menurun, penguatan local taxing power, peningkatan kualitas belanja daerah, dan harmonisasi belanja pusat dan daerah. Contoh, UU HKPD memberikan kepastian alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) sehingga menjadi lebih presisi,” jelas Hariyanto.

Ia menjelaskan, dalam UU HKPD, pagu DBH ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan satu tahun sebelumnya (T-1) dengan memerhatikan kinerja daerah. Sebelumnya pada UU Nomor 33 Tahun 2004, pengalokasian didasarkan pada rencana penerimaan tahun berikutnya. Artinya, potensi penerimaan DBH di tahun 2023 akan dihitung berdasarkan realisasi pada 2022—bukan berdasarkan proyeksi 2023.

“Pengalokasian DBH pada UU HKPD juga menekankan aspek keadilan. Berbeda dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 yang hanya mengatur pembagian DBH kepada daerah penghasil dan pemerataan atau semua daerah di dalam suatu provinsi. Dalam UU HKPD, selain menerapkan prinsip by origin, artinya kabupaten/kota penghasil memperoleh persentase pembagian yang lebih besar daripada kabupaten/kota lainnya nonpenghasil, pengalokasian DBH juga memerhatikan eksternalitas atau dampak negatif,” jelas Hariyanto.

Dengan begitu, ia optimistis UU HKPD membuka potensi bertambahnya pendapatan daerah. Sebab ada kenaikan DBH untuk PBB-P2 dari 90 persen menjadi 100 persen atau sepenuhnya untuk pemda. DBH cukai hasil tembakau (CHT) juga mengalami peningkatan dari 2 persen menjadi 3 persen.

Hariyanto mencatat, beberapa perubahan pengaturan dalam UU HKPD, antara lain dilakukan penyederhanaan melalui rasionalisasi jumlah restribusi; retribusi diklasifikasikan menjadi tiga jenis; dan jumlah atas jenis objek retribusi disederhanakan dari 32 menjadi 18 jenis pelayanan.

“Tujuan rasionalisasi adalah meningkatkan efektivitas retribusi yang akan dipungut oleh pemda. Kemudian, mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik menjadi kewajiban pemda. Dan akhirnya mampu mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing rendah dan penciptaan lapangan kerja yang luas,” jelasnya.

Hariyanto juga mengapresiasi insentif fiskal yang diberikan pemerintah pusat sebagai rewards bagi daerah yang mempunyai kinerja terbaik dalam tata kelola keuangan daerah, pelayanan dasar publik, pelayanan umum pemerintahan yang dialokasikan berdasarkan indikator kesejahteraan masyarakat, kinerja utama dan kategori kinerja lainnya.

“Dengan adanya insentif fiskal ini, dapat lebih memotivasi dan memacu daerah untuk semakin meningkatkan kinerja dan kualitas pengelolaan keuangan daerah, kesehatan fiskal APBD serta pelayanan dasar publik,” kata Hariyanto.

Rendahnya rasio pajak daerah yang berkisar 1,3 persen juga perlu diiringi dengan langkah-langkah strategis dengan lebih mengoptimalkan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah, seperti yang ditempuh oleh pemerintah pusat. Beberapa langkah strategis bisa ditempuh, pertama, melakukan pendataan ulang Wajib Pajak daerah sehingga bisa menambah dan meningkatkan pendapatan daerah.

Kedua, menjalin kerja sama dengan pemerintah pusat, perguruan tinggi serta pihak swasta, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), asosiasi pengusaha, konsultan pajak dalam pengelolaan maupun pemungutan pajak.

Ketiga, Melakukan pembenahan manajemen pengelolaan pajak daerah. Keempat, memperluas tax-base pajak daerah. Kelima, menyelenggarakan sistem komputerisasi administrasi pajak daerah dan penerimaan pajak daerah,” pungkas Hariyanto.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *