Mengulik Perbedaan PBB-P2 dan PBB-P3
Pajak.com, Jakarta – Indonesia memiliki dua sistem pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dikelola pemerintah daerah (pemda), serta PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (PBB-P3) yang dihimpun oleh pemerintah pusat atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Secara lebih rinci, apa perbedaan PBB-P2 dan PBB-P3? Pajak.com akan mengulasnya secara lengkap berdasarkan aturan terbaru, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HKPD).
PBB adalah pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang muncul karena adanya kepemilikan hak, penguasaan, atau perolehan manfaat atas suatu bumi atau bangunan. Sebelum terbagi menjadi PBB-P2 dan PBB-P3, pemungutan PBB menjadi wewenang pemerintah pusat. Namun, setelah UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) disahkan pada 2019, pengelolaan PBB terbagi menjadi dua.
Berdasarkan Pasal 1 poin 37 UU PDRD, PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Objek pajak dari PBB-P2 sesuai dengan namanya, yaitu bumi dan bangunan yang ada di wilayah perkotaan dan perdesaan, seperti apartemen, rumah susun, hotel, pabrik, tanah kosong, dan sawah.
Berdasarkan UU HKPD, tarif maksimal yang ditetapkan untuk PBB-P2 adalah 0,3 persen dan tarifnya bervariasi tergantung kebijakan pemerintah daerah (pemda) setempat. Pada saat perhitungan PBB-P2 tidak terdapat Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang merupakan suatu persentase tertentu dari nilai jual objek pajak (NJOP).
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) untuk PBB-P2 ditetapkan paling rendah Rp 10 juta bagi setiap Wajib Pajak. Sementara, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.03/20211, NJOPTKP adalah batas nilai jual objek pajak yang tidak kena pajak. Artinya, untuk mengetahui berapa besar PBB terlebih dahulu harus dikurangkan dengan NJOPTKP terlebih dahulu.
Sesuai namanya, objek pajak PBB-P3 adalah perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lainnya. Mengacu Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2015, PBB sektor lainnya mencakup perikanan tangkap, budidaya ikan, jaringan pipa, kabel telekomunikasi, kabel listrik dan jalan tol.
Menurut Pasal 1 Peraturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2002, objek PBB-P3 sebesar 40 persen dari NJOP. Untuk sektor lainnya, sebesar 40 persen dari NJOP, apabila NJOP-nya mencapai Rp 1 miliar atau lebih. Sementara itu, untuk sektor dengan NJOP dibawah Rp 1 miliar, NJKP ditetapkan 20 persen.
Berdasarkan UU HKPD, PBB-P3 mempunyai tarif tunggal 0,5 persen. Untuk PBB-P3, NJOPTKP dikenakan sebesar Rp 12 juta. Sedangkan dalam perhitungan dasar PBB-P3 terdapat NJKP. NJKP untuk PBB-P3 ditentukan serendah-rendahnya 20 persen dan setinggi-tingginya 100 persen dari NJOP.
Comments