in ,

Lima Skema “Tax Planning” yang Lazim Dilakukan Wajib Pajak

Lima Skema “Tax Planning” yang Lazim Dilakukan Wajib Pajak
FOTO: Tiga Dimensi

Lima Skema “Tax Planning” yang Lazim Dilakukan Wajib Pajak

Pajak.com, Jakarta – Pada beberapa kesempatan, dirjen pajak mengungkapkan bahwa pajak natura dan/atau kenikmatan diberlakukan juga untuk memitigasi potensi tax planning. Sebab fasilitas natura dan/atau kenikmatan berpotensi membuat Wajib Pajak tidak membayar Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi sekaligus menjadi beban biaya bagi perusahaan. Di sisi lain, Tax Compliance & Audit Supervisor TaxPrime Gupto Andreantoro menggarisbawahi, tax planning adalah kegiatan legal untuk menghemat pembayaran pajak dengan tetap mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia pun mengikhtisarkan lima skema tax planning yang lazim dilakukan oleh Wajib Pajak.

Tax planning sebaiknya dilakukan secara sah dengan memanfaatkan strategi yang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, tanpa mengandalkan celah-celah hukum. Tax planning dapat dianggap sebagai tindakan yang ilegal jika dalam pelaksanaannya dengan sengaja melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku. Namun, dalam melakukan tax planning, dibutuhkan pemahaman mengenai aspek-aspek peraturan perundang-undangan perpajakan, standar akuntansi, proses bisnis perusahaan, ketentuan perundang-undangan mengenai kontrak ataupun bisnis yang dijalankan, hukum perpajakan, manajemen, teknologi, dan juga dokumen pendukung,” jelas Gupto kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta, (22/1).

Menurutnya, tax planning dapat mengurangi ketidakpastian dan terdapat tujuan yang jelas, maka Wajib Pajak akan lebih terdorong untuk meningkatkan kepatuhannya. Dalam tax planning, Wajib Pajak dapat meningkatkan pemahaman terhadap dampak perpajakan yang akan muncul serta mencari strategi untuk meminimalkan risiko tersebut.

“Ada beberapa hal agar tax planning tidak melanggar peraturan perpajakan, Wajib Pajak harus mengumpulkan data ataupun informasi perpajakan perusahaan, barulah Wajib Pajak melakukan perencanaan dan analisis data. Setelahnya, Wajib Pajak perlu menentukan strategi yang telah disesuaikan dengan hasil analisis data yang telah dilakukan. Tak kalah penting, Wajib Pajak mengevaluasi pelaksanaan tax planning, re-evaluasi tax planning, atau memutakhirkan rencana pajak. Misalnya, di TaxPrime, kami mendampingi Wajib Pajak dari berbagai latar belakang bisnis yang berbeda, yang mana dalam perencanaan pajaknya juga harus memerhatikan proses bisnis masing-masing Wajib Pajak dan penerapan peraturan perpajakannya pada transaksi-transaksi bisnis tersebut. Artinya, TaxPrime harus melakukan riset lebih lanjut terkait perincian dan turunan undang – undang yang dapat memaksimalkan tax planning yang dilakukan,” ungkap Gupto.

Baca Juga  Kanwil DJP Riau Sita Aset Penunggak Pajak Sebesar Rp 1,95 M

Ia mengingatkan, terdapat domestic tax planning yang merupakan jenis perencanaan pajak yang hanya berfokus pada peraturan perundang-undangan dalam lingkup nasional. Akan tetapi, pemilihan atas dilaksanakan atau tidak suatu transaksi dalam domestic tax planning bergantung pada transaksi tersebut. Sementara, international tax planning adalah jenis perencanaan pajak yang memerhatikan ketentuan-ketentuan perpajakan internasional, seperti undang-undang atau perjanjian pajak (tax treaty) dari negara-negara yang terlibat, selain dengan ketentuan perpajakan yang berlaku domestik.

Ia pun mengungkapkan lima contoh tax planning yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak. Pertama, penghematan pajak (tax saving) merupakan sebuah strategi yang dilakukan untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. “Salah satu contoh dari upaya penghematan pajak adalah melalui pemanfaatan perjanjian perpajakan atau P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda). Dalam P3B biasanya diatur mengenai hak pemajakan antar-negara, meliputi hak pemajakan di negara sumber, bisa juga hak pemajakan di negara domisili, atau tarif tertentu dalam P3B—hak pemajakan ada di negara sumber dan negara domisili. Jika hak pemajakan ada di negara sumber, misalnya Indonesia menjadi negara sumber, otomatis pengenaan pajaknya mengacu pada UU PPh (Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan). Sebaliknya, bila hak pemajakan ada di negara domisili, pemotong PPh di Indonesia tidak perlu melakukan pemotongan pajak. Kalau hak pemajakan ada di kedua negara, pemotong PPh di Indonesia harus memotong sesuai tarif yang ada di P3B,” ungkap Gupto.

Baca Juga  Pemkot Lhokseumawe dan PLN Optimalkan Pajak atas Tenaga Listrik

Kedua, tax planning dapat dilakukan ketika suatu perusahaan memberikan biaya penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak penghasilan bagi pihak yang menerima. 

Gupto memberikan contoh, misalnya perusahaan memberikan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagai pengurang pajak. “Biaya yang dikeluarkan untuk penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, seperti yang terkait dengan pekerjaan atau jasa, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Namun, perlu diingat bahwa penggantian atau imbalan harus tetap sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku,” ujarnya.

Kendati demikian, program penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan memberikan dampak positif bagi banyak pihak, termasuk pihak penerima, pemberi kerja, dan pemberi imbalan. Jadi, program penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan membawa dampak positif bagi profitabilitas perusahaan. “Dari perspektif pajak, biaya yang dikeluarkan dalam rangka penggantian atau imbalan dapat mengurangi persentase PPh badan yang harus dibayarkan selama berhubungan dengan kegiatan usaha, Hal ini perlu selaras dengan ketentuan PP Nomor 55 Tahun 2022,” tambah Gupto.

Ketiga, penghindaran sanksi perpajakan, yakni merupakan strategi yang dilakukan dengan menguasai peraturan perpajakan sehingga Wajib Pajak dapat menghindari munculnya sanksi perpajakan, seperti sanksi administrasi (denda, bunga atau kenaikan) dan sanksi pidana (pidana/kurungan).

Baca Juga  Bulukumba Diganjar BI Atas Pembayaran Pajak Nontunai yang Melejit

Keempat, penundaan penerbitan faktur pajak. Gupto menjelaskan skema ini adalah sebuah strategi yang dilakukan dengan cara menunda penerbitan faktur pajak keluaran sampai dengan batas waktu yang diperbolehkan sebagaimana disebutkan di dalam PMK 238 Tahun 2012 selama barang tersebut merupakan barang dengan karakteristik tertentu.

“Contohnya, penjual bisa saja menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan setelah bulan di mana barang diserahkan kepada pembeli.”

Kelima, optimalisasi kredit pajak. Gupto menuturkan, skema ini merupakan sebuah strategi yang dilakukan dengan memanfaatkan kredit pajak yang telah dipotong dengan tetap memerhatikan peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku.

“Sebagai contoh, selain angsuran PPh Pasal 25 atau pajak yang dapat dikreditkan atas PPh badan yang terutang pada akhir tahun—PPh yang dipotong/pungut pihak lain dan sifat pemotongan/pemungutannya tidak final. Informasi terkait hal ini seringkali kurang tersedia bagi perusahaan. Pajak yang dapat dikreditkan bisa PPh Pasal 22 atas impor, PPh Pasal 23 dari bunga nonbank atau royalti, PPh Pasal 24 yang dipotong di luar negeri, dan STP (Surat Tagihan Pajak) PPh Pasal 25 tapi hanya pokok pajak, baik telah dibayar maupun belum,” ungkapnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *