in ,

Kupas Tantangan dan Mitigasi Risiko Pelaporan SPT Masa

Pelaporan SPT Masa
FOTO: Tiga Dimensi

Kupas Tantangan dan Mitigasi Risiko Pelaporan SPT Masa

Pajak.com, Jakarta – Selain Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan, perusahaan juga berkewajiban melaporkan SPT Masa. Namun, tidak semua perusahaan wajib melaporkannya. Di sisi lain, bagi Wajib Pajak yang berkewajiban melaporkan SPT Masa, terdapat tantangan dan risiko kesalahan. Untuk itu, Tax Compliance and Audit Assistant Manager TaxPrime Alvian Yanuar Yasin akan mengupas secara lebih holistik mengenai ketentuan pelaporan SPT Masa, sekaligus membagikan pengalaman serta keahliannya dalam menyelesaikan tantangan dan mitigasi risiko pelaporan SPT masa sesuai regulasi yang berlaku.

Alvian mengutip, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyatakan bahwa SPT Masa adalah SPT untuk suatu masa pajak atau bulanan. Sementara, SPT Tahunan merupakan SPT untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.

“SPT Masa berfungsi sebagai sarana pelaporan pajak yang sudah diamanatkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada pemungut/pemotong pajak untuk memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas transaksi dengan pihak lain. Jadi, menurut saya SPT Masa ini juga membantu Wajib Pajak untuk tertib administrasi. Dari sisi DJP, membantu melaksanakan fungsi pengawasan—Wajib Pajak bertransaksi dengan siapa? Berapa nominalnya? Dan apakah sudah dilapor sebagai penghasilan bagi lawan transaksi. Berbeda dengan SPT Tahunan yang melaporkan seluruhnya dalam satu tahun pajak,” jelasnya, di Ruang Rapat Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta Selatan (17/7).

Alvian menyebutkan, terdapat beberapa jenis SPT Masa, yakni SPT Masa PPh Pasal 21/26; PPh Pasal 22; PPh 23/26; PPh Pasal 4 Ayat (2), 15, 25; dan SPT Masa PPN. Dengan beragam jenis ini, Alvian menggarisbawahi, bahwa tidak semua Wajib Pajak Badan berkewajiban melaporkan SPT Masa. Contohnya adalah SPT Masa PPh pasal 21 wajib dilaporkan pemberi kerja sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9/PMK.03/2018

“Selain itu, diatur khusus dalam PMK Nomor 9/PMK.03/2018, SPT Masa PPh (pasal) 21 tidak wajib dilapor untuk Masa Pajak Januari hingga November, apabila tidak terdapat karyawan tetap maupun bukan pegawai, terdapat karyawan tapi tidak ada pembayaran gaji, dan/atau penghasilan seluruh karyawan yang ada di perusahaan tersebut masih di bawah PTKP (penghasilan tidak kena pajak). Untuk Masa Pajak Desember, tetap wajib dilaporkan meskipun nihil. Lalu, kalau kita mengacu Pasal 10 Ayat (3), SPT Masa PPh Pasal 25 tidak terdapat SPT, karena telah dianggap melaporkan SPT Masa PPh Pasal 25 setelah melakukan pembayaran,” jelas Alvian.

Baca Juga  Menjernihkan Polemik Pajak THR

Kemudian, SPT Masa PPh lainnya wajib dilaporkan bagi pemotong/pemungut pajak yang sudah ditetapkan DJP dan dilaporkan apabila terdapat pemotongan di Masa yang bersangkutan. Sedangkan, SPT Masa PPN wajib dilaporkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) meskipun tidak ada transaksi atau nihil.

Berdasarkan pengalaman Alvian, potensi kesalahan maupun risiko tantangan yang mungkin muncul dalam pelaporan SPT Masa, diantaranya apabila lawan transaksi tidak memotong PPh. Alhasil, perusahaan yang menanggung PPh dari lawan transaksi tersebut dengan cara gross up dasar pengenaan pajak (DPP) dan PPh yang seharusnya dipotong.

“Ini yang akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan, karena PPh yang ditanggung tersebut harus dikoreksi fiskal di PPh Badan,” tambahnya.

Kemudian, kesalahan teknis yang kerap terjadi adalah pada saat proses mengimpor bukti potong dalam jumlah yang banyak, seperti kesalahan memasukkan kode objek pajak.

“Sebagai contoh, untuk penyetoran PPh atas jasa dan sewa kode jenis setorannya berbeda. Kalau hal ini terjadi, proses pengembalian kelebihan pajaknya (akibat kesalahan kode) harus melalui Pbk (pemindahbukuan) atau Pengembalian Pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai PMK 187/PMK.03/2015 dan mungkin harus membayar dua kali sehingga akan memengaruhi cashflow perusahaan,” ungkap Alvian.

Selanjutnya, kesalahan lain yang sering terjadi adalah kekeliruan pembuatan ID billing untuk penyetoran PPN yang harus disetor sendiri.

“Jadi, apabila terdapat pemanfaatan jasa kena pajak (JKP)/ barang kena pajak tidak berwujud (BKPTB) dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean yang terutang PPN, maka PPN-nya harus dilakukan penyetoran sendiri dengan memasukkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) tidak nol semua, melainkan dengan kode KPP (Kantor Pelayanan Pajak). Bila tidak dilakukan, maka KPP di mana Wajib Pajak terdaftar bisa jadi menganggap Wajib Pajak belum menyetorkan pajak (PPN). Artinya, ini perlu dipahami Wajib Pajak dengan teliti. Konsultan pajak akan lebih detail memberikan advice,” ujar Alvian.

Baca Juga  Kanwil DJP Jatim III Gandeng Pajak.com, Gemakan Edukasi Pajak Melalui Tulisan

Selain risiko kekeliruan teknis, SPT Masa dianggap belum dilaporkan apabila SPT Masa tersebut diisi dengan tidak benar dan lengkap. Ia menegaskan, saat ini tandatangan basah sudah tidak diperlukan dalam pelaporan SPT Masa.

“Sejak adanya pelaporan secara e-Filing dan SPT Unifikasi (e-Bukti Potong), kecil kemungkinan SPT Masa dianggap lengkap. Karena sistem sudah terintegrasi, jadi apabila terdapat kesalahan NPWP, lawan transaksi, sistem akan otomatis menolak dan Wajib Pajak diberitahukan secara sistem, dimana letak kesalahannya dan dimana tidak lengkapnya. Namun, untuk kesalahan pelaporan nilai sendiri belum dapat diidentifikasi oleh sistem, kesalahan pelaporan nilai akan menimbulkan dampak bagi lawan transaksi yang melaporkan nilai berbeda,” jelas Alvian.

Ia membeberkan, beberapa risiko jika SPT Masa disampaikan dengan tidak benar, antara lain Wajib Pajak kemungkinan dapat menerima Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dari KPP.

Menurut Alvian, perusahaan yang menerima SP2DK dapat mengakui kesalahannya dengan membetulkan SPT yang salah dan membayar kekurangan pajak tersebut, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sesuai Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

“Kalau kesalahan ditemukan pada saat proses pemeriksaan, atas kekurangan pajak tersebut, perusahaan akan ditagih melalui Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Ayat (2) UU KUP,” jelas Alvian.

Sementara, jika Wajib Pajak terlambat dalam melaporkan SPT Masa, maka akan dikenakan sanksi berupa denda sesuai dengan Pasal 7 Ayat (1) UU KUP. Untuk SPT Masa PPh yang terlambat dilapor akan dikenakan denda sebesar Rp 100.000 dan untuk SPT Masa PPN yang terlambat dilapor dikenakan denda sebesar Rp 500.000.

Adapun tanggal penyetoran pemungutan/pemotongan PPh 4 ayat (2), Pasal 21/26, 22, 23/26 dan 25 yang dipotong dari pihak lain adalah tanggal 10 bulan berikutnya, apabila yang disetor sendiri tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan untuk pelaporannya tanggal 20 bulan berikutnya. Sementara, tanggal penyetoran pemungutan PPN adalah akhir bulan berikutnya sebelum dilakukan pelaporan SPT Masa PPN.

Baca Juga  Belum Ada Aktivitas dan Transaksi, Wajib Pajak Tetap Harus Lapor SPT Badan?

Menurut Alvian, dengan beragam tantangan tersebut, Wajib Pajak harus selalu teliti terhadap setiap prosedur tata cara pengisian dan pelaporan SPT. Wajib Pajak dituntut untuk update peraturan pajak yang bersifat dinamis, misalnya perubahan tarif PPN menjadi 11 persen, perubahan objek pajak dan non-objek pajak, ketentuan mengenai pengkreditan pajak masukan, dan sebagainya.

“Wajib Pajak harus memahami tata cara pengisian SPT Masa dan membaca contoh kasus yang ada pada lampiran peraturan perpajakan, sehingga dapat diaplikasikan sesuai dengan bisnis yang dijalankan perusahaan. Selain itu, menurut saya, berdasarkan pengalaman, masih terdapat bug (kesalahan pada pemrograman) pada sistem pelaporan DJP, sehingga SPT Masa yang dilaporkan tidak dapat disesuaikan dengan kondisi yang sebenarnya,” ungkapnya.

Alvian memastikan, advisor TaxPrime senantiasa update mengenai peraturan perpajakan, agar selanjutnya dapat mengedukasi Wajib Pajak dan membuat tax planning sesuai dengan regulasi yang berlaku.

“Kami memastikan kepatuhan pajak dapat dilakukan, sejalan dengan kemampuan perusahaan secara cashflow agar efektif dan efisien. Misalnya, advisor dapat memberikan saran, bahwa perusahaan dapat menikmati fasilitas perpajakan tertentu untuk meringankan beban pajak perusahaan dan bagaimana persyaratannya,” jelasnya.

Advisor TaxPrime pun dipastikan lebih memahami tata cara pengisian SPT Masa sesuai dengan kondisi-kondisi yang ada dalam perusahaan. Alvian menegaskan, hal itu agar SPT Masa dapat dilaporkan dengan benar dan lengkap. Selain itu, pembukuan juga harus dilakukan dengan taat asas dan tanpa mengundang pertanyaan dari DJP.

“Secara teknis dan utamanya, kami advisor TaxPrime harus memahami bug-bug pada sistem pelaporan DJP dan solusinya agar SPT Masa dapat dilaporkan sesuai dengan kondisi Wajib Pajak yang sebenarnya,” pungkasnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *