in ,

Ketahui Perbedaan “Ex-ante” dan “Ex-post” dalam Penentuan Harga Transfer

Perbedaan “Ex-ante” dan “Ex-post”
FOTO: Aprilia Hariani

Ketahui Perbedaan “Ex-ante” dan “Ex-post” dalam Penentuan Harga Transfer

Pajak.com, Jakarta – Berdasarkan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) Transfer Pricing Guidelines 2022, terdapat dua pendekatan dalam penentuan harga transfer yang sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yaitu ex-ante approach (the arm’s length price-setting approach) dan ex-post approach (the arm’s length outcome-testing approach). Apa perbedaan ex-ante approach dan ex-post approach? Dan, bagaimana penerapannya di Indonesia? Supervisor Transfer Pricing Compliance and International Tax Khairido Ahmad (Rido) akan menjelaskannya sesuai dengan regulasi dan pengalamannya.

Sebelumnya, Rido menuturkan bahwa transfer pricing atau penentuan harga transfer diartikan sebagai penentuan harga dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Adapun hubungan istimewa ini dapat muncul karena adanya penyertaan modal sebanyak minimal 25 persen pada Wajib Pajak lainnya, penguasaan Wajib Pajak lainnya yang berada di bawah penguasaan yang sama, atau adanya hubungan keluarga. Maka, untuk menguji kewajaran dan kelaziman transaksi tersebut, OECD memberi panduan dua pendekatan ex-ante dan ex-post dalam Paragraf 3.69 dan 3.70 OECD Transfer Pricing Guidelines 2022.

Ia menjelaskan, pendekatan ex-ante merupakan pendekatan penetapan harga transfer yang dilakukan untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada saat sebelum/saat transaksi atau kontrak dilakukan (transaksi afiliasi dilakukan). Dalam pendekatan ex-ente, informasi mengenai transaksi yang digunakan sebagai pembanding adalah semua data yang tersedia pada saat transaksi dilakukan. Informasi ini berupa transaksi yang digunakan sebagai pembanding pada tahun-tahun sebelum transaksi afiliasi dilakukan, informasi mengenai perubahan kondisi ekonomi maupun pasar, serta indikator lain yang memengaruhi harga yang telah disepakati oleh pihak independen.

Baca Juga  Pemkot Bengkulu Bentuk Tim Gerebek Pajak

“Artinya, pada saat transaksi dilakukan, apa saja price yang telah ditetapkan pada saat transaksi itu dilakukan. In practice, kita menguji apa saja kebijakan atau informasi dari Wajib Pajak, misalnya menerapkan berapa margin yang telah ditetapkan oleh Wajib Pajak pada tahun pajak berjalan tersebut. Contoh, ada Wajib Pajak di sektor otomotif, kita lakukan pengujian di level profit, maka kita akan interview bagaimana cara mereka men-set harga transfer penjualan, seputar profit yang direncanakan untuk transaksi di tahun tersebut—berapa marginnya, apakah ada agreement, kalau tersedia kita mempertimbangkan itu untuk mengujinya. Kalau pun tidak ada, kita akan menanyakan apakah ada sales forecast yang telah Wajib Pajak tetapkan. Biasanya, sales forecast dibuat oleh Wajib Pajak pada kuartal ke IV di tahun pajak sebelumnya,” ungkap Rido kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta, (27/7).

Kemudian, ia mencontohkan apabila menyusun Transfer Pricing Documentation (TP-doc) untuk tahun 2020, berarti ia akan memastikan berapa sales forecast yang akan ditetapkan untuk tahun tersebut. Kemudian, ia akan menghitung, melakukan konfirmasi ke Wajib Pajak, dan menguji profitabilitasnya

“Kami uji profitabilitasnya bisa di level gross markup atau return on total cost untuk perusahaan manufaktur, gross margin atau return on sales untuk perusahaan distributor, dan sebagainya. Contoh lain, kalau untuk pengujian transaksi komoditas, misalnya perusahaan batu bara. Kami tanyakan kontrak sebelum transaksi dilakukan, kami akan mengecek kontraknya secara komprehensif. Di situ akan dijelaskan kalorinya berapa, mengacu ke harga pasar yang mana, dan lainnya sehingga kita bisa membandingkan dengan data independen, kemudian kita dokumentasikan di dalam TP-doc” jelasnya.

Baca Juga  Menjernihkan Polemik Pajak THR

Sementara, ex-post approach kebalikan dari ex-ante approach, yaitu pendekatan penetapan harga untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dilakukan setelah transaksi/kontrak dilakukan (setelah transaksi afiliasi dilakukan). Rido menyimpulkan, pendekatan ini bertujuan untuk menguji kewajaran hasil dari harga transfer yang telah ditetapkan. Adapun informasi yang digunakan dalam pendekatan ex-post di antaranya berupa laporan keuangan yang telah diaudit, dan lainnya.

“Misalnya, nilai profit yang didapatkan diakhir tahun itu berapa? Kemudian, profit tersebut akan diuji berdasarkan data pembanding yang aktual di akhir tahun,” jelas Rido.

Ia mengungkapkan, Indonesia saat ini telah mengadopsi pendekatan ex-ante yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213 Tahun 2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya, dan PMK Nomor 22 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).

Berdasarkan Pasal 3 PMK Nomor 213 Tahun 2016 disebutkan bahwa TP-doc dalam hal ini dokumen induk dan dokumen lokal, wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan transaksi afiliasi. Kemudian, terdapat klausul dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan tersebut, Wajib Pajak dianggap tidak menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Baca Juga  Kanwil DJP Jaktim Kenalkan Proses Bisnis “Core Tax” ke IKPI

Menurut Rido, PMK Nomor 213 Tahun 2016 juga untuk merespons rekomendasi OECD terhadap penggunaan pendekatan ex-ante dalam menentukan harga transfer sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Namun sejatinya, setiap negara berhak menentukan pemilihan pendekatan tersebut atau mengombinasikan antara pendekatan ex-ante atau ex-post. 

Selanjutnya, Pasal 9 PMK Nomor 22 Tahun 2020 disebutkan di antaranya bahwa Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib dilakukan pada saat penentuan harga transfer dan/atau saat terjadinya transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.

“Sekarang lazimnya menggunakan ex-ante (di Indonesia). Pendekatan ex-post justru tidak boleh lagi. Kami di TaxPrime, tentu sudah mencoba keduanya, namun setelah PMK Nomor 213 Tahun 2016, kami selalu menggunakan ex-ante,” ungkap Rido.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *