in ,

KAPj IAI Kupas Konsep Penting “Transfer Pricing” di PMK 172/2023

KAPj IAI Kupas Konsep Penting “Transfer Pricing”
FOTO: Dok. KAPj IAI

KAPj IAI Kupas Konsep Penting “Transfer Pricing” di PMK 172/2023

Pajak.comJakarta – Pemerintah telah menerbitkan regulasi terbaru untuk mencegah Wajib Pajak melakukan praktik penyimpangan harga transfer atau transfer pricing, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 (PMK 172/2023) tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. Untuk memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat luas, Kompartemen Akuntan Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia (KAPj IAI) menyelenggarakan Regular Tax Discussion yang kupas konsep penting transfer pricing di PMK 172/2023.

Sebagaimana diketahui, harga transfer atau transfer pricing menjadi topik yang selalu hangat dibahas baik di tingkat global maupun domestik, karena dapat berdampak pada besarnya pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Meskipun demikian, transfer pricing dapat disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak terutang dengan cara memindahkan laba dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah. Praktik ini dikenal sebagai tax avoidance atau penghindaran pajak dan tax evasion atau penggelapan pajak.

Untuk mencegah penyalahgunaan transfer pricing, otoritas perpajakan di setiap negara berusaha untuk membuat regulasi yang sesuai dengan standar internasional. Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga merumuskan cara mencegah penyalahgunaan praktik transfer pricing dengan merumuskan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Actions.

BEPS Actions merupakan serangkaian rekomendasi yang bertujuan untuk mengatasi tantangan perpajakan akibat globalisasi dan digitalisasi ekonomi. BEPS Actions mencakup 15 poin aksi yang meliputi aspek-aspek seperti alokasi laba, penetapan harga transfer, perjanjian pajak, pertukaran informasi, dan lain-lain.

Indonesia, sebagai salah satu anggota OECD, juga berusaha mengikuti perkembangan ini dengan membuat aturan-aturan yang mencegah Wajib Pajak dalam melakukan praktik penyimpangan transfer pricing. Salah satu aturan yang dibuat adalah mengenai kewajiban Wajib Pajak untuk membuat dokumentasi untuk harga transfer (Transfer Pricing Documentation/TPD).

Baca Juga  Memahami Hubungan Istimewa Dalam “Transfer Pricing”

TPD adalah dokumen yang berisi informasi mengenai kegiatan usaha, transaksi, dan kebijakan harga transfer Wajib Pajak. TPD dibuat untuk membuktikan bahwa harga transfer yang ditetapkan Wajib Pajak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle/PKKU). Sebelumnya, kewajiban pembuatan TPD diatur dalam PMK 213/2016 yang berlaku baik untuk transaksi lintas batas ataupun transaksi domestik, selama transaksi terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

Selain itu, terdapat juga ketentuan mengenai Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) yang diatur dalam PMK 49/2019 dan Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) yang diatur dalam PMK 22/2020. MAP adalah prosedur yang dapat diminta oleh Wajib Pajak untuk menyelesaikan kasus pajak berganda yang timbul akibat perbedaan interpretasi atau penerapan perjanjian pajak antara dua negara. Sementara APA adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan otoritas perpajakan mengenai metode dan kriteria penetapan harga transfer untuk transaksi tertentu dalam periode tertentu.

Namun, pada akhir tahun 2023, pemerintah mengeluarkan aturan baru mengenai transfer pricing, yaitu PMK 172/2023 sekaligus mencabut PMK Nomor 213/2016, PMK 49/2019 dan PMK 22/2020. Artinya, PMK 172/2023 menjadi satu aturan yang lebih komprehensif dan terintegrasi, juga mengadopsi sebagian besar rekomendasi dari BEPS Actions, khususnya mengenai Action 13 yang berkaitan dengan TPD.

Ketua KAPj IAI John L. Hutagaol mengemukakan, PMK 172/2023 merupakan kodifikasi dari peraturan yang telah ada sebelumnya, yaitu PMK 213/2016, PMK 49/2019, dan PMK 22/2020.

“Kodifikasi peraturan tersebut dilakukan sebagai upaya dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penerapan aturan terkait penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha,” kata John dikutip Pajak.com, Senin (26/02).

Baca Juga  Dokumen yang Dibutuhkan dalam Penerapan PKKU “Transfer Pricing”

Lebih lanjut, Tenaga Pengkaji Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini juga mengungkapkan sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam beleid PMK 172/2023. Pertama, perluasan penerapan PKKU dan hubungan istimewa, yang mencakup tidak hanya transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan keuangan, kepemilikan, atau pengendalian, tetapi juga transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan komersial, teknis, atau organisasi.

Kedua, penegasan bahwa tidak terdapat perbedaan perlakuan penerapan PKKU antara transaksi transfer pricing domestik maupun cross border. Artinya, Wajib Pajak harus menerapkan PKKU pada semua transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa, baik yang melibatkan pihak asing maupun pihak dalam negeri.

Ketiga, penegasan kembali atas penyesuaian-penyesuaian sehubungan dengan temuan pemeriksaan seperti primary adjustment, secondary adjustment, dan corresponding adjustment, yang merupakan konsekuensi dari koreksi harga transfer yang dilakukan oleh DJP. Keempat, penerapan PKKU atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kelima, jangka waktu kewajiban penyampaian TPD. Keenam, perubahan penetapan threshold atas CbCR. Ketujuh, memperkenalkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama (SKPB). Kedelapan, adanya APA Multilateral. Kesembilan, pengurangan sanksi administratif atas roll-back APA.

Di kesempatan yang sama, Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama menekankan bahwa tujuan penerbitan PMK 172/2023 adalah untuk menyederhanakan beberapa regulasi terkait serta memberikan kepastian hukum dalam penerapan PKKU.

Baca Juga  Praktik Transfer Pricing di Tengah Kompleksitas Industri Logistik

“PMK 172/2023 menegaskan kembali dasar-dasar pengertian atau definisi khusus, tahapan penerapan yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak, penyelesaian sengketa sehubungan dengan transfer pricing, hingga pencegahannya melalui APA,” jelas Mekar dalam seminar yang dimoderatori oleh Martua Eliakim Tambunan, pengurus KAPj IAI Bidang Organisasi dan Kehumasan.

Sementara itu, Kepala Seksi Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional IV DJP Didit Haryanto menyoroti pentingnya tahapan pendahuluan yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak sebelum melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa atau kepentingan bersama. Tahapan ini meliputi pembuktian atas manfaat ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak dari transaksi tersebut, yang dapat berupa peningkatan penjualan, penurunan biaya, perlindungan atas posisi komersial, atau pemenuhan kebutuhan kegiatan komersial lainnya termasuk untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

“PMK 172/2023 telah menegaskan bahwa tanpa adanya tahapan pendahuluan, maka Wajib Pajak dianggap tidak menerapkan PKKU,” kata Didit.

Di sisi lain, Didit juga menyebut bahwa PMK 172/2023 telah memberikan kepastian hukum terkait secondary adjustment, yang menegaskan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila terdapat pengembalian dana dan Wajib Pajak menyetujui atas koreksi harga transfer yang dilakukan oleh DJP.

Praktisi transfer pricing Permana Adi Saputra juga menyoroti sejumlah klausul dalam PMK 172/2023 yang perlu lebih diperhatikan oleh Wajib Pajak dan praktisi perpajakan. Di antaranya, restrukturisasi usaha dan kesepakatan kontribusi biaya. Dua transaksi ini merupakan klausul tambahan yang turut diatur dalam peraturan ini.

Permana bilang, Wajib Pajak perlu melakukan dokumentasi atas manfaat ekonomis yang diterima atas transaksi sebagai tahapan pendahuluan. Menurutnya, para Wajib Pajak pada umumnya telah memahami bahkan melakukan analisis terlebih dahulu sehubungan dengan manfaat dari transaksi yang dilakukan.

Namun, sedikit dari Wajib Pajak yang mendokumentasikan dengan baik atas analisis manfaat dari transaksi yang dilakukan. Akibatnya, penyusunan tahapan pendahuluan ini dapat menjadi tantangan baru bagi para Wajib Pajak dalam pemenuhan PKKU.

Acara Regular Tax Discussion ini dihadiri oleh lebih dari 430 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, seperti akademisi, konsultan, praktisi, dan mahasiswa. Acara ini juga diisi dengan sesi tanya jawab yang berlangsung interaktif dan informatif.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *