DJP: NIK Sudah Terintegrasi, Tarif PPh Lebih Tinggi Tak Berlaku
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan pengumuman nomor PENG-6/PJ.09/2024 tentang penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada sistem administrasi perpajakan. Salah satu poinnya menjelaskan bahwa tarif Pajak Penghasilan (PPh) lebih tinggi tidak lagi berlaku apabila Nomor Induk Kependudukan (NIK) Wajib Pajak orang pribadi sudah terintegrasi dengan sistem DJP.
Dalam pengumuman tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengungkapkan bahwa dalam membuat bukti potong PPh atau faktur pajak PPN, pemotong/pemungut wajib mencantumkan NPWP 15 digit atau NIK dari orang pribadi penerima penghasilan atau pembeli Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Bila yang dicantumkan NIK, tarif lebih tinggi dapat tidak dikenakan.
“Dalam hal identitas penerima penghasilan…diisi dengan NIK yang telah diadministrasikan oleh Disdukcapil serta telah terintegrasi dengan sistem DJP…tarif lebih tinggi…tidak dikenakan atas pemotongan dan/atau pemungutan PPh terhadap orang pribadi penduduk dimaksud,” kata Dwi dalam pengumuman tersebut, dikutip Pajak.com, Jumat (01/03).
Dengan demikian, Wajib Pajak orang pribadi tidak lagi dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20 persen ataupun PPh Pasal 22 dengan tarif lebih tinggi 100 persen, meski tidak memiliki NPWP lantaran NIK-nya telah terintegrasi dengan sistem DJP.
Dwi juga mengingatkan kembali bahwa terhitung mulai Masa Pajak Januari 2024, format NPWP yang digunakan dalam administrasi perpajakan yaitu NPWP dengan format 15 digit (NPWP 15 digit) atau NIK yang diadministrasikan oleh Disdukcapil serta telah terintegrasi dengan sistem administrasi DJP, bagi orang pribadi yang merupakan penduduk. Selanjutnya, NPWP 15 digit juga berlaku untuk Wajib Pajak orang pribadi bukan penduduk, Wajib Pajak badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
Selain tidak dikenakan tarif lebih tinggi, Wajib Pajak dengan NIK yang telah terintegrasi dengan sistem administrasi DJP juga dapat mengakses sederet pelayanan yang disediakan pemerintah. Pertama, pembuatan bukti pemotongan PPh melalui aplikasi e-Bupot PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, e-Bupot Unifikasi, dan e-Bupot Unifikasi Instansi Pemerintah serta pembuatan Faktur Pajak melalui aplikasi e-Faktur.
Kedua, pembuatan kode billing dan penyetoran/pembayaran pajak. Ketiga, pelaporan SPT. Keempat, pelaporan informasi keuangan secara otomatis Tahun 2023 bagi Wajib Pajak badan Lembaga Keuangan Pelapor (exchange of information domestik).
Selanjutnya, Dwi juga menyatakan bahwa Dirjen Pajak dapat mengaktivasi NIK sebagai NPWP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
“…Dirjen Pajak dapat mengaktivasi NIK sebagai NPWP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” bunyi penggalan poin 8 PENG-6/PJ.09/2024.
Sebelumnya, DJP juga mengimbau Wajib Pajak yang belum melakukan pemadanan untuk segera melakukannya, karena NIK akan digunakan sebagai NPWP dalam sistem administrasi perpajakan yang baru, yaitu core tax. Core tax adalah sistem yang akan mengintegrasikan seluruh proses perpajakan, mulai dari pendaftaran, pengawasan, penagihan, hingga penyelesaian sengketa.
Selain itu, pemadanan NIK-NPWP bertujuan untuk mempermudah Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, serta untuk meningkatkan kepatuhan dan efisiensi perpajakan. Dengan NIK sebagai NPWP, WP tidak perlu lagi mengurus NPWP secara terpisah, dan dapat memanfaatkan fasilitas perpajakan seperti tarif PPh yang lebih rendah.
Hingga 20 Februari 2024, sebanyak 60.798.725 NIK dari total 73.131.000 Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, atau sekitar 83 persen telah dipadankan dengan NPWP. Pemadanan NIK-NPWP yang dilakukan oleh Wajib Pajak secara mandiri melalui portal DJP sebanyak 3,9 juta dan secara otomatis oleh sistem DJP sebanyak 55,9 juta. Sementara itu, ada sekitar 12 juta NPWP yang belum dipadankan, karena berbagai alasan seperti Wajib Pajak tidak aktif, meninggal dunia, ke luar negeri, atau belum sempat melakukan pemadanan.
Comments