in ,

Dasar Penegakan Hukum Pajak dan Pendekatan Mitigasi Risiko

Dasar Penegakan Hukum Pajak
FOTO: Tiga Dimensi

Dasar Penegakan Hukum Pajak dan Pendekatan Mitigasi Risiko

Pajak.com, Jakarta – Selain melayani, mengawasi, dan penyuluhan kepada Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga berwenang melakukan penegakan hukum, seperti penagihan, pemblokiran rekening, penyitaan, hingga pidana kurungan dan/atau pidana denda. Menurut Tax Litigation and Dispute Assistant Manager TaxPrime Dwi Prasetyo (Pras), dasar penegakan hukum pajak merupakan upaya DJP untuk memberikan keadilan kepada Wajib Pajak sekaligus sebagai konsekuensi logis dari sistem self-assessment. Di sisi lain, Wajib Pajak dapat memitigasi risiko tersebut dengan berbagai pendekatan yang tetap berlandaskan perundang-undangan perpajakan.

Pras menjelaskan, penegakan hukum pajak (tax enforcement) merupakan serangkaian kegiatan untuk meyakini bahwa Wajib Pajak telah melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya sebagaimana ketentuan yang berlaku, misalnya melaporkan diri untuk mendapatkan status sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), self assessment pajak terutang, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa dengan benar, lengkap, dan jelas, serta menyampaikan data dan informasi pajak yang sebenarnya. Kegiatan penegakan hukum di bidang perpajakan sendiri dimulai dari upaya imbauan, penagihan baik pasif dan aktif, pemeriksaan, hingga tahap penyidikan.

Kemudian, berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan akan dikenai sanksi administratif dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP), sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.

Baca Juga  IKAPRAMA dan IKPI Jaksel Gelar Bimtek Persiapan Hingga Tahapan Pelaporan SPT Badan

Pras menegaskan, penegakan hukum yang dilakukan oleh DJP didasari oleh hasil kegiatan pemeriksaan yang wewenangnya diatur dalam Pasal 31 UU KUP dan untuk mekanisme serta prosedurnya termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184/PMK.03/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Berdasarkan beleid ini DJP berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, utamanya pelaporan SPT tahunan/masa yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

“Area pemeriksaan pajak pada umumnya dilakukan kepada Wajib Pajak yang mengajukan restitusi, baik itu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh), Wajib Pajak yang menyatakan kerugian setiap tahunnya, Advance Pricing Agreement (APA) dalam rangka kesepakatan antara goverment to government, dan Wajib Pajak yang kurang bayar tapi tidak terdapat indikasi pidana atau pelanggaran. Dalam proses pemeriksaan, biasanya pemeriksa melakukan prosedur pemeriksaan diantaranya permintaan peminjaman dokumen dan permintaan keterangan/penjelasan dari Wajib Pajak. Berdasarkan pengalaman, apabila Wajib Pajak tidak dampingi oleh ahli, baik internal maupun eksternal—konsultan pajak, biasanya temuan pemeriksaan pajak didasarkan dari Berita Acara Pemberian Keterangan (BAPK) Wajib Pajak ketika pemeriksa melakukan wawancara dengan direktur. Pada saat wawancara, terkadang direktur kurang fokus pada pokok pertanyaan, dan justru menjawab di luar dari pertanyaan tanpa kesiapan data dan argumentasi yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan risiko-risiko atau temuan-temuan” ungkap Pras kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta (25/7).

Untuk itu, ia menekankan, bahwa mitigasi awal yang perlu dicermati Wajib Pajak untuk menghadapi kegiatan penegakan hukum pajak adalah pada tahap pemeriksaan. Pras menyarankan agar saat pemeriksaan, Wajib Pajak didampingi oleh ahli perpajakan, baik secara internal maupun eksternal.

Baca Juga  Kriteria Pemotong Pajak yang Wajib Lapor SPT Masa PPh 23/26 dalam Bentuk Dokumen Elektronik 

Setelah dilakukan proses pemeriksaan, DJP akan menerbitkan Surat SKP atau STP. Kendati demikian, apabila tidak setuju dengan hasil pemeriksaan (SKP), Wajib Pajak berhak mengajukan keberatan (Pasal 25 KUP) dan/atau permohonan (Pasal 36 KUP).

“Setelah proses keberatan dan Wajib Pajak masih tidak setuju dengan hasil dari keberatan, maka Wajib Pajak dapat menempuh proses banding atau gugatan,” ujar Pras.

Ia menjelaskan, banding adalah upaya hukum lanjutan yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak ketika upaya keberatan Wajib Pajak ditolak atau diterima sebagian oleh dirjen pajak. Sementara, gugatan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak, seperti Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan (seperti keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan STP).

“Dalam menjalankan proses pemeriksaan maupun penyelesaian sengketa ini,  Wajib Pajak harus memahami betul setiap tahapannya. Jangan sampai memberikan data yang justru menyibak masalah baru tanpa disertai kesiapan data dan argumentasi yang memadai. Berdasarkan pengalaman kami, proses pemeriksaan itu krusial. Untuk memitigasi risiko pajak yang dapat terjadi, Wajib Pajak harus menyampaikan data dan dokumen sesuai dengan pokok pemeriksaan (data dan dokumen yang disampaikan tersebut harus dapat dijelaskan dengan baik dan tepat). Sama halnya dengan proses sengketa, Wajib Pajak harus siap dengan segala risiko, karena tahapanya memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit,” ungkap Pras.

Baca Juga  Syarat dan Jangka Waktu Pengajuan Peninjauan Kembali Sengketa Pajak ke MA

Ia menekankan, bahwa peran konsultan pajak adalah untuk mengomunikasikan dan menjelaskan secara tepat, komprehensif, detail, namun tetap fokus pada hal terkait pemeriksaan. Pras memastikan, seluruh upaya yang dilakukan oleh TaxPrime dipastikan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

“Dalam menjelaskan data atau dokumen yang diperlukan pemeriksa, ini juga membutuhkan bahasa yang mudah dipahami. Berdasarkan apa yang kami lakukan, DJP kooperatif menanggapi apa yang kami jelaskan, karena kami pastikan semua berdasarkan ketentuan. Sebagai gambaran, kami selalu melakukan pendekatan mulai dari logika akuntansi, logika hukum, dan inkonsistensi koreksi. Kami mencari beberapa aspek yang sekiranya menguatkan apa yang Wajib Pajak yakini sesuai aturan. Karena perlu diingat, pos-pos pemeriksa perlu diuji kekuatannya dalam konteks ketentuan perpajakan. Pendekatan yang TaxPrime lakukan selalu didasarkan pada regulasi dalam menghadapi pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP,” pungkasnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *