CISDI: Biaya Pengobatan Akibat Rokok Rp 27,7 T, Pengenaan Pajak Rokok Elektrik 10 Persen Tepat
Pajak.com, Jakarta – Survei Center for Indonesia’s Strategic Development Initative (CISDI) mengungkapkan bahwa biaya pengobatan yang masyarakat harus tanggung akibat mengonsumsi rokok mencapai sebesar Rp 27,7 triliun pada tahun 2021. Untuk itu, Kepala Riset & Kebijakan CISDI Olivia Herlinda berpandangan, pengenaan pajak sebesar 10 persen atas rokok elektrik mulai 1 Januari 2024 sudah tepat diberlakukan di Indonesia.
Seperti diketahui, penerapan pajak pada rokok elektrik ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok Aturan ini juga menetapkan kenaikan tarif cukai rokok elektrik sebesar 15 persen tiap tahunnya hingga 2027 mendatang.
“Kami sangat mendukung dan mengapresiasi langkah tersebut. Pengenaan pajak untuk rokok elektrik juga menunjukkan komitmen pemerintah yang mengutamakan kesehatan masyarakat. Survei CISDI menunjukkan bahwa biaya pengobatan yang dibayar masyarakat akibat mengonsumsi rokok mencapai Rp 17,9 triliun hingga Rp 27,7 triliun. Lalu, biaya pengobatan akibat mengonsumsi rokok yang ditanggung pemerintah lewat BPJS Kesehatan sebesar Rp 10,5 triliun hingga Rp 15,6 triliun. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat lantaran jumlah pengguna rokok elektrik di Indonesia terus bertambah,” ungkap Olivia dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (8/1).
Ia pun mengutip Survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2021 yang melaporkan, ada kenaikan signifikan pada jumlah pengguna rokok elektrik di Indonesia. Dari hanya 0,3 persen pada tahun 2011, menjadi 3 persen atau setara 6,2 juta pengguna di tahun 2021.
“WHO (World Health Organization) juga menyoroti merebaknya konsumsi rokok elektrik di kalangan masyarakat. Data WHO menunjukkan mayoritas pengguna rokok elektrik berasal dari kalangan ekonomi menengah dan didominasi kelompok remaja pada rentang usia 13 tahun hingga 15 tahun. Karena itu, ada call to action dari WHO yang memang meminta pemerintah untuk bisa mengambil tindakan yang cukup tegas untuk mengendalikan rokok elektrik ini,” ujar Olivia.
Ia meyakini, pengendalian konsumsi rokok elektrik sangat mempertimbangkan aspek kesehatan masyarakat secara luas. Studi yang dilakukan WHO, The Centers For Disease Control and Prevention (CDC) America, dan The American Lung Association (ALA) menunjukkan bahwa bahaya rokok elektrik berasal dari kandungan nikotin dan zat beracun lainnya—yang bisa berdampak bagi pengguna maupun non-pengguna.
“Beberapa dampak buruk rokok elektrik, diantaranya, membuat gangguan otak pada anak dan remaja, meningkatkan risiko penyakit jantung, memengaruhi kondisi janin, dan gangguan paru-paru. Rokok elektrik yang mengandung nikotin juga menyebabkan dampak adiktif. Ini sudah menjadi bukti yang cukup untuk bisa memberlakukan kebijakan yang memang lebih ketat untuk rokok elektrik atau bahkan untuk nantinya melarang peredaran rokok elektrik,” ungkap Olivia.
Kendati demikian, menurutnya, pengenaan tarif pajak sebesar 10 persen untuk rokok elektrik dan menaikkan cukai hasil tembakau menjadi 15 persen belum akan berdampak signifikan dalam menekan pengendalian konsumsi rokok. Karena secara empirik pengguna rokok elektrik mayoritas adalah kelompok ekonomi menengah dan menengah ke atas.
“Sebenarnya, apakah kenaikan tersebut sudah cukup elastis dan bisa mempengaruhi konsumsi? Nampaknya belum. Untuk bisa mengendalikan konsumsi secara signifikan dibutuhkan kenaikan yang lebih tinggi, lebih optimal, untuk bisa menurunkan keterjangkauan dan juga di sisi lain kita harus punya kebijakan yang bisa mengiringi kebijakan fiskal ini,” pungkas Olivia.
Comments