in ,

Aturan Baru Mekanisme Pengenaan Pajak UMKM

Aturan Baru Mekanisme Pengenaan Pajak UMKM
FOTO: IST

Aturan Baru Mekanisme Pengenaan Pajak UMKM

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah memperjelas mekanisme pengenaan pajak untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) melalui penerbitan aturan baru. Mekanisme tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

PMK Nomor 164 Tahun 2023 merupakan aturan pelaksanaan atas Pasal 57, Pasal 62, dan Pasal 63 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan dan perubahan atas PMK Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas PMK Nomor 68/PMK.03/2011 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menjelaskan, terdapat dua hal utama yang diatur dalam PMK sebelumnya, yaitu teknis pengaturan PPh final Wajib Pajak peredaran bruto (omzet) tertentu dan relaksasi batas waktu pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Baca Juga  Tarif Pajak UMKM 0,5 Persen Tak Berlaku Lagi di 2024?

“Dengan diterbitkannya PMK Nomor 164 Tahun 2023, pemerintah memperjelas dan mempermudah berbagai ketentuan teknis terkait pengenaan PPh final bagi Wajib Pajak omzet tertentu. Sebagaimana telah ditetapkan dalam aturan sebelumnya, Wajib Pajak UMKM dikenakan tarif PPh final 0,5 persen atau dapat memilih tarif umum berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh (Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan),” ungkap Dwi dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (10/1).

Ia menekankan, PMK Nomor 164 Tahun 2023 yang baru ini lebih mempertegas keharusan Wajib Pajak dengan omzet tertentu (sampai dengan Rp 4,8 miliar per tahun) untuk melakukan pelunasan PPh final terutang sebesar 0,5 persen dari omzet usaha untuk setiap masa pajak.

“Pelunasan PPh final terutang dapat disetor sendiri oleh Wajib Pajak atau melalui mekanisme pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain. Dalam hal Wajib Pajak bertransaksi dengan pemotong/pemungut PPh, maka harus menunjukkan surat keterangan agar dipotong PPh final sebesar 0,5 persen. Surat keterangan yang telah diterbitkan sebelum PMK ini diundangkan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang tercantum dalam surat keterangan. Khusus bagi Wajib Pajak orang pribadi UMKM yang memiliki omzet kurang dari Rp 500 juta setahun, maka harus menyerahkan surat pernyataan agar tidak dilakukan pemotongan pajak,” jelas Dwi.

Apabila Wajib Pajak memilih untuk dikenai tarif umum Pasal 17 ayat (1) UU PPh, maka Wajib Pajak terlebih dahulu harus menyampaikan pemberitahuan kepada DJP paling lambat akhir tahun pajak dan baru dikenai pajak penghasilan berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh pada tahun pajak berikutnya. Bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar dapat memilih dikenai tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh sejak tahun pajak terdaftar dengan menyampaikan pemberitahuan pada saat mendaftarkan diri.

Baca Juga  Isi Omzet saat Lapor SPT Tahunan, Ini Cara Hitung Pajak UMKM

“Dalam kesempatan ini kami juga mengingatkan kewajiban pelaporan SPT (Surat Pemberitahuan) tahunan untuk seluruh Wajib Pajak UMKM, termasuk UMKM yang omzet setahunnya kurang dari Rp 500 juta untuk tetap menyampaikan SPT tahunan, yang mungkin selama ini kewajiban tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik,” tegas Dwi.

Selain itu, penerbitan PMK Nomor 164 Tahun 2023 juga mengatur relaksasi batas waktu pengukuhan sebagai PKP untuk Wajib Pajak UMKM yang omzetnya sudah melebihi Rp 4,8 miliar. Relaksasi diberikan terkait batas waktu untuk mengajukan pengukuhan sebagai PKP.

“Dalam aturan sebelumnya, Wajib Pajak harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir bulan berikutnya. Dengan aturan ini, kami berikan relaksasi menjadi paling lambat akhir tahun buku yang bersangkutan.” tambah Dwi.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *