in ,

AKP2I Ajak Pahami Strategi Beracara dan Pengadilan Pajak

pengadilan pajak
FOTO: IST

AKP2I Ajak Pahami Strategi Beracara dan Pengadilan Pajak

Pajak.comJakarta – Pada 25 Mei 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung (MA). Hasil keputusan MK tersebut tertuang dalam putusan No. 26/PPU-XXI/2023 dan memberikan waktu selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 untuk menyatukan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah MA.

Ketua Pengurus Daerah (PD) Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) DKI Jakarta Monang Sihombing mengatakan, putusan ini menciptakan perubahan fundamental dalam konteks perpajakan sekaligus memberikan tantangan baru yang harus dihadapi oleh para personal perpajakan. Hal ini pulalah yang melatar belakangi AKP2I DKI Jakarta mengadakan webinar dan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) perpajakan bertema “Strategi Beracara di Pengadilan Pajak dan Peran Pengadilan Pajak Pasca Putusan MK No. 26/PUU-XXI/2023”, pada Selasa (20/6).

Monang berharap, webinar ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang strategi beracara di Pengadilan Pajak yang efektif, serta peran krusial dalam menghadapi perubahan hukum dan intervensi pajak yang berkelanjutan.

“Kita akan mendapatkan wawasan yang berharga tentang bagaimana mengembangkan strategi hukum yang kokoh, dan memastikan perlindungan terbaik bagi klien kita di era pascaputusan MK ini,” kata Monang selaku ketua pelaksana webinar ini.

Ketua Umum AKP2I Suherman Saleh mengemukakan, setidaknya lokakarya daring ini dapat memberikan tiga manfaat yang bisa didapatkan oleh peserta. Pertama, mendapatkan pengetahuan tentang perbedaan antara sebelum adanya putusan MK dengan setelah putusan MK.

Kedua, mendapatkan pemahaman apakah perbedaan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak bakal memengaruhi secara administrasi, secara materiil, atau secara prosedur. Ketiga, sejumlah tip dari para pakar atau pembicara sehingga pembelaan para profesi konsultan maupun pengacara pajak dapat dimenangkan oleh pengadilan.

“Keadilan inilah yang harus dinomorsatukan sehingga hakim akan menganggap kita mengajukan keadilan sesuai dengan undang-undang. Itulah yang paling penting hari ini,” ungkapnya.

Haposan Lumban Gaol sebagai pembicara pertama memaparkan bahwa peran konsultan pajak tidak hanya dibutuhkan Wajib Pajak kala sudah terjadi sengketa atau dispute, tetapi terlibat dalam mengawal kepatuhan, telaah, hingga terjadi sengketa.

Baca Juga  Pemkab Tangerang Pasang Stiker bagi Restoran Penunggak Pajak

“Kalau kita terlibat di dalam kepatuhan, biasanya dalam penyelesaian sengketa administrasi akan lebih mudah menjelaskannya karena sudah dari awal terlibat. Apalagi jika ada pemeriksaan, oh kita lebih tahu,” ucap haposan.

Selanjutnya, Akademisi dan Ahli Hukum Pajak ini mengungkapkan bahwa Wajib Pajak dan konsultan pajak perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum menentukan upaya hukum apa yang akan ditempuh di Pengadilan Pajak. Pertama, perlu dipertimbangkan analisis terhadap peluang untuk dikabulkan.

“Hal ini berpijak kepada hasil pemeriksaan menyangkut kuat tidaknya argumentasi dan proyeksi oleh pemeriksa pajak. Karena sesuai dengan pasal 12 ayat 3 UU KUP dari DJP. Kalau kita terlibat dari pemeriksaan, kita akan memahami demikian,” jelasnya.

Kedua, pertimbangan kondisi keuangan Wajib Pajak. Pasalnya, upaya keberatan dapat menunda pembayaran utang pajak, tetapi memuat konsekuensi ditolak dan terkena sanksi administrasi 30 persen. Sedangkan jika dilakukan upaya permohonan pembatalan pengurangan, tidak ada risiko sanksi administrasi tetapi tindakan pengadilan tetap berjalan.

Ketiga, apabila sengketa cukup kompleks dan masuk ke ranah teknis yuridis, maka Wajib Pajak membutuhkan pembuktian material yang kuat.

“Kalau terjadi demikian, disarankan memilih jalur keberatan. Dan jika masalahnya relatif sederhana dapat memilih jalur Pasal 36, dan Pasal 16. Sederhana, mudah dibuktikan, tidak rumit karena terbatas kalau pasal 16 dan 36. Itulah cara kita menentukan pilihan,” katanya.

Haposan mengingatkan, pembuktian oleh Wajib Pajak harus dengan alasan yang jelas. Baik di dalam gugatan maupun banding, Wajib Pajak dan konsultan harus bisa menentukan hal pembuktian atau yuridis atau dua-duanya. Apabila sengketa tersebut masuk ranah yuridis, maka tidak perlu pembuktian fisik hanya penafsiran.

“Pada umumnya atau sebagian besar, Wajib Pajak maupun yang mewakilinya sering tidak bisa menjelaskan secara detail. Kalau kita sudah bisa mengurai pokok sengketa, sebenarnya kita sudah tahu bahwa ini pembuktian atau yuridis sehingga di dalam persidangan lebih mudah,” imbuhnya.

Baca Juga  SPT Tahunan Badan: Ketentuan, Jenis Pajak, dan Tahapan Pengisian

Ia juga menjelaskan bahwa putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, kemudian dilanjutkan peraturan perundang-undang perpajakan, baru keyakinan hakim.

“Kadangkala kita enggak bisa mengukur di dalam prakteknya adalah keyakinan hakim itu, kan, hati nurani hakim, faktor subjeknya hakim, apakah dia yakin atau tidak? Keyakinan itu tidak bisa dilihat secara umum, tapi ditampilkan dalam putusan,” kata Haposan.

Namun, Haposan percaya bahwa argumentasi hakim terutama akan berdasarkan pembuktian dan peraturan perundang-undangan, baru didukung dengan keyakinan. Keyakinan hakim pun tentu berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.

Selanjutnya, Alessandro Rey menguraikan seputar peranan Pengadilan Pajak dalam sengketa perpajakan. Rey mengatakan, setelah putusan MK, maka tidak ada lagi dualisme kewenangan pada Pengadilan Pajak dan menciptakan kemandirian lembaga peradilan.

Terlebih, Pengadilan Pajak hadir untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Wajib Pajak untuk mencari keadilan.

“Kalau kita bicara keadilan, maka seharusnya Pengadilan Pajak dalam konteks ini harus memberikan ruang seluas-luasnya kepada pencari keadilan. Yang dimaksud pencari keadilan itu siapa? Dalam konteks Pengadilan Pajak, itu pasti Wajib Pajak. Karena tidak mungkin DJP mencari keadilan, justru DJP yang menerbitkan keputusan yang menjadi cikal bakal lahirnya sengketa atau perkara pajak,” urai Managing Partner Rey & Co Attorney Law ini.

Rey menilai, sebelum adanya Putusan MK, Pengadilan Pajak mempunyai dua fungsi yaitu kesekretariatan dan kepaniteraan, padahal pada peradilan yang lain seperti peradilan umum, agama, dan militer hanya ada kepaniteraan. Menurut Rey, dualisme fungsi tersebut menimbulkan campur tangan atau dari Kementerian Keuangan.

“Putusan MK dalam amarnya juga sudah menyebutkan bahwa pengenaan tersebut harus menjadi satu atap, tidak lagi menjadi dua atap. Itu artinya Pengadilan Pajak akan tunduk seperti pengadilan yang lain,” kata Rey.

Ia menambahkan, masih ada pekerjaan rumah yang mesti diantisipasi khususnya pada tiga hal yang berkaitan dengan administrasi, organisasi, dan keuangan.

Baca Juga  SPT Badan Wajib Melampirkan Laporan Keuangan yang Telah Diaudit?

Administrasi salah satunya adalah permohonan izin kuasa hukum yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Ini adalah bentuk keterlibatan Kemenkeu karena telah mengatur PMK 184/2017 terkait dengan izin kuasa hukum. Padahal, izin advokat seharusnya diberikan oleh pengadilan tinggi di domisili wilayah masing-masing, sehingga tidak ada intervensi lain.

Selanjutnya pada administrasi persidangan. Rey mengatakan bahwa tidak ada mekanisme seperti di peradilan umum, seperti pendaftaran surat kuasa.

“Kalau di Pengadilan Pajak, tidak ada mekanisme pendaftaran surat kuasa. Ini kadang-kadang terjadi sengketa di persidangan, ada majelis yang tidak mempersoalkan itu, ada juga majelis yang mempersoalkan ketika banding atau gugatan itu diajukan oleh kuasanya, tapi kemudian tidak melampirkan surat kuasa,” urainya.

Rey melanjutkan, beberapa fakta empiris dalam Pengadilan Pajak ini bisa dilakukan perbaikan dalam hukum acara sehubungan dengan putusan MK yang mengatakan bahwa Pengadilan Pajak nantinya akan menjadi satu naungan. Ia pun berkesimpulan, setelah Putusan MK ini berlaku maka perlu dilakukan perubahan terkait hukum acara untuk mewujudkan Pengadilan Pajak yang sepenuhnya akan masuk ke dalam lembaga kekuasaan kehakiman yang tunduk di bawah MA.

“Kesimpulannya, hampir 21 tahun Pengadilan Pajak berdiri hingga saat ini mungkin tidak ada political will dari pemerintah untuk menyerahkan pembinaan, organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Sampai akhirnya pemerintah harus dipaksa melalui putusan MK,” tutupnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *