BI: Utang Pemerintah Rp 7.849 T, 38 Persen dari PDB
Pajak.com, Jakarta – Bank Indonesia (BI) merilis utang pemerintah hingga akhir April 2023 tercatat sebesar Rp 7.849 triliun atau sekitar 38 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan, jumlah utang tersebut masih aman karena masih jauh dari batas maksimum yang diperbolehkan oleh undang-undang, yaitu 60 persen dari PDB.
“Tren rasio utang semakin menurun setelah COVID-19. Posisi saat ini lebih rendah dibandingkan pada akhir 2021 yang menyentuh 41 persen PDB. Kenapa relatif aman? Karena utang boleh naik, tapi kita lihat PDB juga naik. Artinya produktivitas juga meningkat. Yang bahaya adalah kalau utang naik tapi PDB tidak naik sehingga bisa menggelembung,” ungkap Destry dalam rapat kerja dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dikutip Pajak.com (15/6).
Pada kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memastikan, pengelolaan utang dilakukan hati-hati dengan risiko yang terkendali melalui komposisi yang optimal. Adapun komposisi utang pemerintah saat ini didominasi utang dalam negeri yang mencapai 72,88 persen, sementara utang luar negeri disebut hanya sebagai pelengkap.
Hingga akhir 2022, utang Indonesia didominasi Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 6.846,89 triliun atau mencapai 88,53 persen dari seluruh komposisi utang. Utang ini terdiri dari SBN domestik sebesar Rp 5.452,36 triliun dan dalam bentuk valuta asing sebesar Rp 1.394,53 triliun. Kemudian, utang dalam bentuk pinjaman mencapai Rp 887,10 triliun atau 11,47 persen dari seluruh komponen utang, terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 867,43 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp 19,67 triliun.
“Rasio utang kita masih aman, masih sehat. Dianggapnya sehat itu enggak ada utang. Enggak ada, semua negara punya utang. Utang pemerintah mengalami peningkatan ketika terjadinya pandemi COVID-19 dan juga adanya pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” ungkap Sri Mulyani.
Kendati demikian, ketika pemulihan ekonomi berjalan serta adanya berkah kenaikan harga komoditas, pemerintah sudah melakukan beragam langkah optimalisasi agar defisit dan utang bisa diturunkan.
“Kita meningkatkan penerimaan negara, makanya kita reform perpajakan, apakah itu dari PPh (Pajak Penghasilan) untuk orang pribadi, PPh korporasi, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) ekspor, bea masuk bea keluar, kemudian royalti,” jelas Sri Mulyani.
Di sisi lain, ia mengatakan, bisa saja pemerintah tidak berutang. Namun, pemerintah harus tetap memberikan ragam subsidi dan bantuan sosial.
“Kalau ingin membuat APBN dalam kondisi balance, tidak perlu mengutang untuk memenuhi kebutuhan, maka konsekuensinya adalah subsidi akan dicabut, misalnya subsidi listrik dan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Jika digabungkan total kedua subsidi itu Rp 555 triliun,” ungkap Sri Mulyani.
Dengan demikian, ia berharap, masyarakat untuk tidak menganggap bahwa kondisi utang menunjukkan negara tidak sehat. Sebuah kebijakan harus dinilai dengan kondisi perekonomian masing-masing negara.
Comments