in ,

Peran Sektor Transportasi dalam Menavigasi Pengurangan Emisi Karbon di Indonesia

Menavigasi Pengurangan Emisi Karbon
FOTO: Tiga Dimensi

Peran Sektor Transportasi dalam Menavigasi Pengurangan Emisi Karbon di Indonesia

Pajak.com, Jakarta – Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen atau setara dengan 835 juta ton CO2 dan mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. Menurut Managing Director TaxPrime sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Asosiasi Ahli Emisi Karbon Indonesia atau Association of Carbon Emission Experts Indonesia (ACEXI) Muhamad Fajar Putranto, diperlukan pemetaan sektor prioritas, seperti transportasi, dalam menavigasi pengurangan emisi karbon di Indonesia.

Fajar mencatat, sektor transportasi merupakan sektor terbesar kedua emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 23 persen. Di sisi lain, sektor transportasi dan sektor pergudangan tumbuh 15,93 persen year-on-year pada kuartal I-2023.

“Kenapa sektor transportasi? Karena selain penyumbang emisi terbesar, inefisiensi pada sektor transportation akan memengaruhi sistem logistik. Sektor logistik ini pengaruhnya besar ke bisnis. Di Indonesia, porsi bisnis logistik itu sekitar 27-29 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). PDB kita itu sekitar Rp 16.000 triliun. Kalau macet, spending loss untuk bisnis. Belum lagi biaya transportasi (12,04 persen terhadap PDB), biaya administrasi (4,52 persen terhadap PDB), dan biaya penyimpanan (9,47 persen terhadap PDB). Efisiensi pada biaya logistik diperlukan untuk mengurangi disparitas harga antarprovinsi. Jadi, Indonesia harus bisa menyesuaikan masalah-masalahnya,” ungkapnya dalam seminar yang diadakan oleh ACEXI, di Hotel Mercure Batavia, Jakarta, (14/12).

Baca Juga  PropertyGuru Indonesia Property Awards 2024 Perkenalkan Kategori Baru 

Fajar menyimpulkan, biaya logistik yang tinggi itu erat kaitannya dengan infrastruktur konektivitas yang lemah, masalah lalu lintas, ketergantungan bahan bakar, dan polusi udara. Kondisi ini juga menyangkut masalah emisi—kualitas jenis energi/bahan bakar, teknologi dan jenis kendaraan, peraturan, sistem transportasi dan penataan ruang, perilaku dan teknik berkendara.

“Saya cuma memberikan idea untuk para profesional, para pebisnis yang mewakili perusahaan, untuk melihat based on dari priority kita—mana yang akan kita pilih sebagai effort untuk reduce carbon emission. Selain transportasi, kalau kita lihat lagi, logistic industry tumbuh 6 persen karena orangnya (jumlah penduduk) tumbuh. Indonesia sekarang (jumlah penduduknya) 270 juta sekian dan keep rising. Tapi boleh saja sebagian teman-teman lain memikirkan green carbon atau blue carbon. Terpenting kontribusi dan fokus ketika berbicara carbon credit,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa sektor transportasi berkaitan erat dengan pemilihan kualitas bahan bakar atau energi. Rendahnya kualitas bahan bakar tentu memengaruhi polusi udara yang berimplikasi pada kesehatan manusia.

“Di Indonesia, transportasi mostly adalah internal combustion engine. Jadi, mesin banyak pakai solar, bensin, atau di pabrik sama power plant memakai bahan bakar diesel. Saya berpikir, investor belum tentu mau menginvestasikan uangnya untuk berperan mengurangi emisi karbon. Maka, kita di sini perlu berpikir untuk berinovasi (membantu perusahaan dalam mengurangi emisi karbon). Di lain sisi, pemerintah mesti make sure bahwa energi atau fuel yang di-impor ke Indonesia kualitasnya baik. Kalau dalam sudut pandang taxpayer, kita bisa saja meminta transparansi atau kasih input ke pemerintah soal impor kualitas bahan bakar,” imbuhnya.

Baca Juga  Pemerintah Cabut Aturan Pembatasan Barang Bawaan Pekerja Migran

Oleh sebab itu, Fajar melalui perusahaan rintisannya (InkubatorX) telah melakukan riset untuk menciptakan efisiensi internal combustion rate pada kendaraan.

“Kalau misalnya mobil kita diisi bensin, maka efisiensinya cuma 20 persen hingga 30 persen. Jadi, begitu pembakaran di mesin, lalu bensin dikeluarkan, lalu disemprot terus dibakar, dia hanya mengeluarkan tenaga 20-30 persen, sisanya ke buang. Kok kecil? Iya, karena kompresinya kecil. Kalau gasoline engine kompresinya di bawah 1,7, dia mudah terbakar. Sedangkan, diesel bisa up to 45 persen. Begitulah mungkin dari 100 tahun yang lalu ini enggak berubah teknologinya,” ungkapnya.

Kemudian, pembenahan sektor transportasi turut terafiliasi dengan permasalahan supply chain. Misalnya, pada sektor manufaktur, supply chain memegang peranan penting sehingga membutuhkan teknologi yang mumpuni.

Supply chain ini penting. Kenapa? Karena terkait juga dengan government policy, anti-corruption. Nah, artinya buat para programmer bisa contribute ke swasta. You still making money and you do, membantu untuk mengurangi emisi karbon dengan memikirkan bagaimana menciptakan efisiensi di sektor ini,” jelas Fajar.

Baca Juga  KADIN Optimistis Hasil Putusan MK Beri Kepastian bagi Dunia Usaha

Dengan demikian, ia menyarankan agar para ahli atau inovator dapat membidik target prioritas untuk berkontribusi menurunkan emisi karbon. Misalnya, ketika para ahli di ACEXI memiliki target pengurangan CO2, maka tidak hanya terpaku pada memanfaatkan carbon credit. Perlu adanya pemetaan secara komprehensif, meliputi resources, positioning, alliance, dan strategy. 

“Contoh lagi ketika bicara blue ocean strategy, positioning kita ada di mana? Dengan begitu, kita bisa menentukan apa yang akan dilakukan. Kemudian, pikirkan alliance, kita harus menyadari bahwa kita enggak mesti pintar semuanya. Kita butuh sumber daya manusia yang berbeda, misalnya kita ingin meriset tentang fisika, kesehatan, membuat jurnal medis, dan lainnya—perlu kerja sama dengan ahli-ahli yang kapabel di bidangnya. Begitu pula menurunkan emisi karbon, semua harus memetakan itu. Kira-kira begitu cara berpikir dalam menentukan pemetaan target,” pungkas Fajar.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *