in ,

Richard Burton: Hukum Acara Harus Dipatuhi di Pengadilan Pajak

Richard Burton: Hukum Acara
FOTO: IST

Richard Burton: Hukum Acara Harus Dipatuhi di Pengadilan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Sidang gugatan berkaitan dengan hukum acara di Pengadilan Pajak menghadirkan ahli hukum pajak Richard Burton, pada (13/12). Richard menegaskan bahwa hukum acara juga harus dipatuhi oleh Pengadilan Pajak. Karena tanpa hukum acara, tidak mungkin dapat menyelesaikan materi pokok perkara secara adil.

Memperkuat argumentasinya, ia mengutip pandangan ahli hukum Yahya Harahap yang menyatakan, ‘Benar dan adilnya penyelesaian perkara di depan pengadilan, bukan dilihat pada hasil akhir putusan yang dijatuhkan. Tetapi harus dinilai sejak awal proses pemeriksaan perkara dimulai. Apakah sejak tahap awal ditangani, pengadilan memberi pelayanan sesuai ketentuan hukum acara atau tidak! Dengan kata lain, apakah proses pemeriksaan perkara sejak awal sampai akhir, benar-benar due process of law atau undue process’. 

“Persoalan hukum acara merupakan hukum yang patut dipatuhi setiap pihak yang beracara di semua lembaga peradilan, termasuk Peradilan Pajak. Karena tanpa hukum acara tidaklah mungkin dapat menyelesaikan materi (pokok) perkara pada tujuan keadilan dan kepastian yang menjadi tujuan hukum,” jelas Richard dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (14/12).

Ia menegaskan, hukum acara merupakan satu bagian hukum yang disusun untuk menjamin proses hukum berjalan dengan baik. Sebab esensi hukum acara dapat ditujukan pada dua hal utama, pertama, menegakan hukum material. Kedua, mencegah penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) oleh penyelenggara negara yang dapat merugikan kepentingan hukum pihak yang berperkara.

“Apabila hukum acara tidak dipatuhi, keputusan yang ditetapkan bisa menjadi tidak sah, dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan pada keadaan semula, atau dapat dibatalkan,” tegas Richard.

Baca Juga  Richard Burton: Analisis Keadilan Penilaian Hukum Sanksi Pajak

Surat tugas harus diperlihatkan

Ia mengatakan, menurut hukum, diterbitkannya Surat Tugas dimaksudkan sebagai bukti hukum untuk melakukan kewenangan melakukan penelitian atau pemeriksaan. Pihak yang diteliti punya hak diperlihatkan atau ditunjukan bahwa benar nama yang melakukan tugas sesuai yang tercantum dalam Surat Tugas. Sebaliknya, jika tidak diperlihatkan akan menimbulkan persoalan hukum munculnya keraguan dasar kewenangan pihak yang melakukan penelitian.

“Jika Surat Tugas tidak diperlihatkan kepada Penggugat, maka dianggap tidak ada Surat Tugas dan tidak punya kewenangan melakukan tindakan hukum,” tegas Richard.

Ia memerinci tiga alasan hukum mengapa Surat Tugas penting diperlihatkan. Pertama, supaya ada kesamaan hak dimata hukum (equality before the law). Kedua, ada kesamaan beban pembuktian. Jika kuasa Penggugat menunjukan Surat Kuasa, peneliti menunjukan Surat Tugas. Ketiga, transparansi dalam segala bentuk pelayanan publik.

“Jadi, dapat dikatakan dengan tidak diperlihatkannya Surat Tugas harus dimaknai sebagai ketiadaan Surat Tugas, sehingga harus dinyatakan terjadi pelanggaran hukum acara serta telah terjadi tindakan kesewenang-wenangan dalam menerbitkan suatu keputusan,” ujarnya.

Setidaknya, tidak diperlihatkan Surat Tugas telah melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang (UU) Kekuasaaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 17 UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 berkaitan hak memperoleh keadilan melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak. Selain itu, melanggar Pasal 84 ayat (1) huruf f UU Pengadilan Pajak Nomor 14 Tahun 2002 berkaitan dengan pertimbangan dan penilaian setiap bukti dalam persidangan. Richard juga merujuk pada Putusan Pengadilan Pajak Nomor 013758.99/2020/PP/MXVA.

Di akhir penyampaiannya, Richard menyimpulkan bahwa penegakan hukum pajak memiliki esensi menciptakan keadilan serta kepastian.

“Pajak yang dihimpun atas dasar UU harus sudah tidak menyisakan persoalan hukum. Hukum harus menjadi panglima dalam proses pungutan pajak,” jelasnya.

Sementara, hakim bertugas menegakan hukum dan keadilan serta wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan dalam masyarakat.

“Hakim tidak wajib menuruti UU karena hakim bukan corong UU (bouche de la loi, the mouth of laws), melainkan corong hukum,” pungkas Richard.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *