in ,

Asas “Ultimum Remedium” dalam Penegakan Hukum Pajak

Asas “Ultimum Remedium”
FOTO: IST

Asas “Ultimum Remedium” dalam Penegakan Hukum Pajak

Pajak.com, Jakarta – Penegakan hukum pajak di Indonesia mengedepankan asas ultimum remedium. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) memperjelas asas tersebut. Lantas, apa itu ultimum remedium? Bagaimana penerapannya dalam UU HPP? Pajak.com akan mengajak Anda mengenal asas ultimum remedium secara komprehensif berdasarkan ketentuan berlaku.

Apa itu “ultimum remedium”?

Ultimum remedium merupakan penggunaan hukum pidana Indonesia sebagai sebuah jalan akhir dalam penegakan hukum. Wajib Pajak yang tidak melakukan kewajiban pajaknya akan diberikan keringanan sanksi, bahkan dihindari dari tindak pidana.

Namun, hal ini tidak berarti sanksi pidana dihilangkan. Karena sesuai Pasal 39 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) tetap berlaku bersamaan dengan Pasal 44B dalam UU HPP. Pasal tersebut menyatakan Wajib Pajak yang melunasi pokok dan sanksi dapat terhindar dari sanksi pidana.

Baca Juga  Prosedur Pengajuan Restitusi Pajak oleh Pihak Pembayar

Dengan demikian, dalam asas ultimum remedium yang dipertegas dalam UU HPP, negara tidak kehilangan potensi penerimaan pajak. Sebab Wajib Pajak tetap harus mengembalikan kerugian negara sesuai dengan tingkat pelanggarannya.

Apa saja implementasi asas “ultimum remedium” sanksi perpajakan dalam UU HPP? 

  • Bagi Wajib Pajak yang tidak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) tahunan akan dikenakan bunga per bulan—sesuai dengan tarif bunga di pasar atau bunga perbulan sebesar suku bunga atau dikenakan denda tambahan 20 persen paling lama 24 bulan. Dibandingkan dalam UU KUP, besaran denda atau sanksi yang dikenakan kepada Wajib Pajak adalah 50 persen;
  • Bagi Wajib Pajak yang memotong Pajak Penghasilan (PPh) namun tidak melakukan penyetoran akan dikenakan sanksi 75 persen. Lebih rendah jika dibandingkan dengan UU KUP yang besaran dendanya 100 persen;
  • Bagi Wajib Pajak yang kurang dalam membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) akan dikenakan denda 75 persen dari yang sebelumnya 100 persen dalam UU KUP;
  • Wajib Pajak yang sudah melakukan upaya hukum, namun keputusannya adalah keberatan atau pengadilan, maka akan didenda 30 persen dari sebelumnya 50 persen dalam UU KUP. Dalam UU HPP, untuk Wajib Pajak yang mengajukan banding akan dikenakan denda sebesar 60 persen dari yang sebelumnya 100 persen dalam UU KUP.
Baca Juga  BP2MI Usul Barang Kiriman Pekerja Migran Hingga 2.800 Dollar AS Bebas Pajak

Dalam beberapa kesempatan Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama berharap, asas ultimum remedium ini akan membuat Wajib Pajak patuh dan secara sukarela membayar kekurangan pajak sekaligus dendanya.

“Asas ultimum remedium dalam UU HPP selaras dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Kebijakan ini memungkinkan Wajib Pajak diberi kesempatan untuk mengembalikan kerugian negara dengan membayar pokok pajak yang kurang dan sanksi, sebagai pertimbangan agar tidak dipidana,” jelas Hestu.

Ditulis oleh

Baca Juga  Kanwil DJP Jakut Catatkan Penerimaan Pajak Rp 12,4 T per 31 Maret 2024

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *