Prio Saptomo, Mendaki Karier Perpajakan dengan Integritas dan Humanis
Pajak.com, Jakarta – Hampir empat dekade Prio Saptomo menapaki karier di bidang perpajakan. Ia memiliki pengetahuan mendalam yang dilengkapi dengan pengalaman panjang dalam bidang pemeriksaan dan penyelesaian sengketa. Setelah purnatugas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Prio pun melanjutkan estafet perjalanan kariernya di TaxPrime. Bagi pria berhobi hiking ini, integritas dan humanis adalah bekalnya dalam mendaki karier.
Pertemuan ini adalah perjumpaan kali pertama Pajak.com dengan Prio. Namun, dengan senyum semringah, ia datang dari pintu masuk dan bergegas menghampiri kami yang kebetulan duduk di sisi kanan Ruang Rapat Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, (13/2).
“Mau cerita apa kita? di sini ada pertanyaan mengenai hobi, di usia saya sekarang ini agak gimana gitu, hobi saya naik gunung. Bagi saya, naik gunung adalah simbol kehidupan dan semangat dalam bekerja, bahwa menjalani pekerjaan tidak ada yang semuanya enak. Dibutuhkan kerja keras, etos kerja dan mental yang tangguh, persiapan atau logistik yang tercukupi—artinya dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjaga profesionalitas. Namun, ketika kita sudah di puncak gunung, keindahan anugerah Tuhan tidak terhingga, kita pasti bersyukur. Dan, melihat diri kita tidak ada apa-apanya—tidak perlu sombong,” ungkap Prio membuka perbincangan.
Advisor TaxPrime ini mengaku baru pulang mendaki Gunung Prau (Jawa Barat) beberapa waktu lalu. Prio mendaki gunung setinggi 2.590 mdpl itu bersama beberapa pegawai TaxPrime yang mayoritas generasi muda.
“Saya sempat terpeleset di sana, tapi apakah saya kapok? Tidak. Ya memang begitu kalau naik gunung, semua masalah mental. Dalam bekerja juga gitu, kadang-kadang ada satu titik kita bosan, satu titik mau menyerah atau melihat pekerjaan kita sangat berat. Apalagi kita sebagai konsultan pajak, butuh kesabaran dalam meyakinkan Wajib Pajak maupun DJP. Saya pernah menjadi pemeriksa pajak, sehingga saya tahu DJP akan tegak lurus pada undang-undang, walaupun menurut saya pemeriksa punya judgement,” ujar eks Anggota Kelompok Pencinta Alam di Politeknik Keuangan Negara STAN (STAPALA) ini.
Jiwa pemeriksa
Menurut Prio, jiwa pemeriksa telah tumbuh subur dalam dirinya. Maklum saja, sejak menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) ia sangat menggemari mata kuliah audit.
“Kebetulan saya senang dengan dosen Bapak Muharam, memang dia terkenal. Dan audit pelajaran yang menarik buat saya. Manusia itu diciptakan luar biasa, punya otak kiri untuk analisis dan kanan lebih ke seni. Nah kebetulan saya merasa otak kiri saya kuat seperti di pelajaran sistem, auditing, dan hitung-hitungan. Sehingga saya merasa jiwa saya di pemeriksaan,” kenang Prio.
Kariernya di DJP juga diawali sebagai Fungsional Pemeriksa mulai tahun 1983. Keahlian dan pengalaman Prio sebagai pemeriksa membuatnya terpilih sebagai salah satu anggota Tim Pemeriksa Nasional. Tim yang beranggotakan 20 pegawai itu bertugas mengawasi Wajib Pajak besar, khususnya yang tengah berkasus.
“Alasan mengapa saya dimasukkan ke task force itu, saya tidak tahu detail. Mungkin melihat track record saya. Karena jiwa saya pemeriksa, mengamati, meneliti, mengalisa, dan kesabaran. Apalagi bank data DJP itu luar biasa banyaknya, perlu kecermatan. Di sisi lain, bukan berarti saya menjadi angkuh, kaku, dan keras. Di dalam proses itu, kita sebagai pemeriksa memiliki adjustment atas apa yang kita yakini sesuai dengan pengalaman dan integritas. Dalam berkomunikasi dengan Wajib Pajak pun diperlukan pemahaman, karena secara alamiah Wajib Pajak itu beda kemampuan (membayar pajak) dengan kemauan. Perlu komunikasi-komunikasi yang mengedepankan humanity,” ungkap Prio.
Ketertarikannya pada bidang auditing juga dilandasi dengan pemahaman bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, fiskus harus memiliki kompetensi pemeriksaan yang andal. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari self assessment yang diterapkan di Indonesia.
“Semua lini di DJP memang berperan (untuk meningkatkan kepatuhan), seperti penyuluhan, edukasi aturan-aturan perpajakan. Tapi pemeriksaan menjadi polisinya. Karena ingat, antara kemauan dan kemampuan (membayar pajak) itu dua hal yang sulit disatukan. Butuh pengujian kepatuhan yang dilakukan melalui proses pemeriksaan—yang saya akui pemeriksaan oleh DJP semakin baik kualitasnya karena didukung oleh data-data konkret,” ungkap Prio.
Berbekal keahlian yang diiring kerja keras dan integritas, kariernya pun terus menanjak. Prio mendapat amanah untuk menakhodai sejumlah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama. Salah satunya, di KPP Pratama Tanjung Karang. Di sana, Prio berhasil membuat kantornya dianugerahi dua penghargaan karena mampu mencapai target penerimaan pajak hingga 125 persen.
“Strategi yang saya lakukan, yaitu meningkatkan kuantitas pemeriksaan dengan memanfaatkan data-data yang luar biasa dari Kantor Pusat (DJP) melalui Approweb (Aplikasi Profil Berbasis Web). Menurut saya, di situ kuncinya, bagaimana memanfaatkan data dari lembaga-lembaga itu sebagai alat untuk mengimbau, memeriksa, menegakkan hukum kepada Wajib Pajak. Jadi, pemeriksaan pun tidak sembarangan,” ungkapnya.
Selain itu, hal fundamental yang menstimulus keberhasilannya memimpin KPP adalah soal kecermatan melakukan mapping pegawai. Prio berpandangan, pemimpin harus memahami karakter, era, dan kemampuan pegawai dengan tepat. Jangan sampai pekerjaan dibidang tertentu diserahkan kepada pegawai yang tidak kompeten di bidangnya—meskipun penting juga atasan memberikan kesempatan dan tantangan baru kepada pegawai.
Mengedepankan “humanity”
Secara simultan, bekerja profesional dan keahilian manajerial juga perlu dibalut dengan nilai humanity. Sikap yang humanis harus dihayati dan diterapkan dalam memimpin sebuah tim internal. Prio menekankan, pegawai adalah aset berharga, garda terdepan penentu keberhasilan visi dan misi sebuah instansi. Bahkan, humanity merupakan pupuk untuk menyuburkan jiwa loyalitas dan integritas pegawai.
“Saya melihat perkembangan yang luar biasa di TaxPrime. Dengan SDM (sumber daya manusia) yang luar biasa, dalam waktu 10 tahun sudah cepat berkembang, pegawai mencapai ratusan. Keunggulan lain adalah soal kualitas, di sini banyak anak muda yang sangat expert dan kebetulan pernah bekerja di DJP. Mungkin ini yang menyebabkan komunikasi antara otoritas menjadi lebih koordinatif. Di satu sisi, saya melihat Pak Fajar (Managing Director TaxPrime Muhamad Fajar Putranto) mempunyai leadership yang mengedepankan humanity, menyerap aspirasi, dan memberi ruang-ruang bagi pegawai untuk belajar,” ujar Prio.
Bersikap humanis juga ia genggam kuat hingga kini. Khususnya, ketika menyelesaikan beragam sengketa pajak. Di TaxPrime, Prio kerap kali bertugas mengawali atau menyelesaikan proses-proses pemeriksaan dengan strategi komunikasi yang humanis tanpa mengabaikan aturan.
Begitu pula saat mendampingi Wajib Pajak dalam proses permohonan Advance Pricing Agreement (APA). Butuh kepekaan dalam menganalisis suasana, kondisi, dan karakter otoritas agar proses penyampaian penjelasan maupun pemeriksaan menghasilkan tujuan yang diharapkan kedua belah pihak.
“Ketika kita berhadapan dengan pemeriksa, jangan berburuk sangka atau justru ketakutan dulu. Posisi kita sebagai konsultan dan pemeriksa, sama—bagaimana menjalankan perundang-undangan. Apalagi saya pernah menjadi pemeriksa, saya tahu persis bagaimana. Maka, sebagai manusia, kita perlu tahu bagaimana kondisi, karakter, suasana hati pemeriksa—apakah orangnya kaku atau humoris. Bahkan, saya pernah bilang ke pemeriksa yang sangat kaku, ‘Pak, jujur saja, saya takut ketemu bapak’. Saya meyakini kejujuran ini membuat pemeriksa agak calm down,” ungkap Prio.
Menurutnya, peran konsultan pajak sangat strategis dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Maka, Prio juga mendorong peningkatan kualitas dan integritas konsultan pajak dalam undang-undang. Seperti diketahui, Rancangan Undang-Undang Konsultan Pajak pernah diajukan atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2016. Kemudian, sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada tahun 2017, bahkan sudah terbit Surat Presiden. Namun, hingga kini regulasi tersebut tak juga dibahas oleh DPR atau pemerintah.
“Pajak itu menjadi tulang punggung penerimaan negara (berkontribusi 70 hingga 80 persen). Maka dari itu, jangan sampai ada konsultan pajak yang tidak kompeten, akhirnya Wajib Pajak menggunakan mereka, lalu justru menyesatkan Wajib Pajak untuk tidak patuh. Kita akui Undang-Undang Konsultan Pajak itu penting, kita tunggu saja prosesnya. Sementara, kita, konsultan pajak, sudah di bawah langsung oleh Kemenkeu (Kementerian Keuangan), bukan lagi DJP. Ini menunjukkan bahwa peran konsultan pajak sangat strategis untuk membantu penerimaan lebih optimal dan kepatuhan dapat meningkat,” ujar Prio.
Sejatinya, sebelum berkarier sebagai konsultan pajak, Prio pernah berkiprah di perusahaan swasta yang bergerak di bidang sumur resapan. Di sana, ia berperan untuk meningkatkan kepatuhan perusahaan. Di sisi lain, pada episode kariernya ini Prio merasa senang karena mempelajari sektor dan peran baru.
“Sebenarnya, setelah pensiun dari DJP, saya terlibat di swasta. Saya enggak pernah terbayang, tapi kebetulan diajak oleh kawan dari SMP dan SMA untuk mengembangkan perusahaan swasta, saya pikir makin jarang sumur resapan di DKI Jakarta dan sudah ada aturannya gubernurnya. Saat itu, saya juga menjaga bagaimana kepatuhan perpajakan perusahaan terjaga. Namun, karena kemudian ada perbedaan visi dan misi, akhirnya saya memutuskan berkarier di kantor konsultan pajak,” pungkas Prio.
Comments