in ,

“Tips” Agar Pengajuan Keberatan Efektif

“Tips” Agar Pengajuan Keberatan Efektif
FOTO: Tiga Dimensi

“Tips” Agar Pengajuan Keberatan Efektif

Pajak.com, Jakarta – Perundang-undangan perpajakan memberikan hak kepada Wajib Pajak mengajukan keberatan atas hasil pemeriksaan. Meski demikian, Wajib Pajak perlu memastikan sejumlah hal sebelum memilih jalur penyelesaian sengketa perpajakan tersebut. Tax Litigation & Dispute Director TaxPrime Mandra Komara akan memberikan tips agar pengajuan keberatan lebih efektif.

Ia menjelaskan, keberatan adalah mekanisme yang disediakan Undang-undang bagi Wajib Pajak yang tidak puas dan/atau tidak sependapat terhadap hasil pemeriksaan pajak. Keberatan yang disampaikan Wajib Pajak diajukan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), dan pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan.

“Dulu ada anggapan bahwa keputusan atas pengajuan keberatan akan memenangkan DJP, karena membela hasil pemeriksaan yang juga dilakukan oleh tim pemeriksa DJP atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Namun, menurut saya, sekarang, anggapan itu harus diubah. Mungkin ada beberapa Penelaah Keberatan (PK) masih memperhitungkan (target) penerimaan, tapi banyak yang mempertimbangkan risiko suatu sengketa pajak, baik bagi DJP maupun Wajib Pajak. Sekarang, banyak keberatan  Wajib Pajak yang di-accept,  yang betul-betul sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ungkap Mandra kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Graha TTH, Jakarta Selatan, (20/2).

Berdasarkan pengalamannya mendampingi Wajib Pajak, ada beberapa kiat agar pengajuan keberatan dapat lebih efektif.

Pertama, mengajukan keberatan sesuai dengan syarat dan mekanisme yang diatur dalam regulasi. Mandra menyebut, berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2013 s.t.d.d. PMK 202/2015, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika Wajib Pajak mengajukan keberatan, yakni:

  • Pengajuan keberatan dilakukan secara tertulis menggunakan bahasa Indonesia;
  • Mengemukakan jumlah pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong/dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang menjadi dasar penghitungan;
  • Satu keberatan diajukan hanya untuk satu surat ketetapan pajak, satu pemotongan atau satu pemungutan pajak. Hal ini disesuaikan dengan kasus keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan;
  • Wajib Pajak sudah melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sesuai dengan jumlah yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam pembahasan hasil akhir, sebelum surat keberatan disampaikan. Persyaratan ini hanya berlaku apabila keberatan diajukan atas kasus pajak kurang bayar;
  • Dapat diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak surat ketetapan pajak dikirim atau sejak terjadi pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Kondisi ini tidak berlaku apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena kondisi yang terjadi di luar kekuasaan Wajib Pajak bersangkutan;
  • Surat keberatan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak. Jika Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, maka keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 Ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); dan
  • Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UU KUP.
Baca Juga  Penerimaan Pajak Ekonomi Digital Rp 23,04 T per Maret 2024

Kedua, komunikasi. Mandra meyakini bahwa menjalin komunikasi yang baik dengan penelaah keberatan adalah kunci utama dalam proses penyelesaian sengketa. Komunikasi dapat meminimalisasi adanya mispersepsi saat menganalisis atau ketika pemberian penjelasan terhadap sebuah kasus perpajakan.

“Sebisa mungkin kita jaga komunikasi yang intensif, karena Wajib Pajak perlu menyampaikan terkait data-data yang mendukung proses penelaahan keberatan. Komunikasi juga menunjukkan sikap yang responsif saat memenuhi panggilan penelaah, Wajib Pajak juga diharapkan bangun diskusi, membuat slide untuk menjelaskan poin-poin apa saja yang menjadi keberatan. Ingat, bukan hanya surat penjelasan tambahan, tapi berupa slide pemaparan agar penelaah lebih mudah memahami kasusnya. Itu juga cara mengomunikasikan penjelasan dan data,” ujar Mandra.

Baca Juga  6 Metode Penetapan Nilai Pabean

Kemudian, komunikasi juga koheren dengan sikap kooperatif dalam memberikan berbagai butuh bukti pendukung yang memperkuat argumentasi keberatan. Apabila Wajib Pajak membutuhkan waktu untuk menyiapkan bukti pendukung, segera sampaikan kepada penelaah keberatan.

“Kadang penelaah keberatan itu meminta dokumennya sebagian saja, tapi ada juga yang semua. Kalau kami selalu mencoba menyiapkan semua untuk menghindari risiko-risiko yang ada,” kata Mandra.

“TaxPrime selalu upayakan 2 strategi ini dalam proses pengajuan keberatan. Karena kami lebih senang kasus penyelesaian sengketa perpajakan selesai di keberatan, bahkan kalau  bisa selesai pada saat pemeriksaan. Ngapain lama-lama bersengketa? Tapi semua tetap tergantung kepada otoritas, sebagus apa kita, sevalid apapun data yang kita sampaikan, tetap saja tergantung persepsi penelaah keberatan terhadap  data yang kita sampaikan dan peraturan yang ada. Kita sebagai Wajib Pajak perlu memperjuangkan hak kita, apalagi sekarang ini, penelaah keberatan semakin bijaksana dalam memutus sengketa keberatan,” ungkap Mandra.

Baca Juga  Menjernihkan Polemik Pajak THR

Ia optimistis proses penyelesaian sengketa perpajakan akan jauh lebih efektif dengan hadirnya Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax, karena syarat dan mekanismenya diproyeksi bisa dilakukan secara on-line, seperti penyampaian dokumen, data, dan informasi.

“Meski begitu, kembali lagi bahwa harus tetap ada komunikasi secara langsung dalam proses penyelesaian sengketa perpajakan melalui jalur keberatan. Karena hakikatnya proses keberatan itu ada hak Wajib Pajak untuk menjelaskan sengketa pajaknya secara langsung, bukan soal data yang diserahkan saja. Penelaah keberatan itu akan memanggil  dan meminta keterangan dua pihak, baik pemeriksa pajak maupun  kita Wajib Pajak. Jadi, adanya core tax, mungkin tidak menghapus ruang komunikasi antara Wajib Pajak dengan penelaah keberatan,” pungkas Mandra.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *