in ,

POLTAX – GAP – IFTAA Jembatani Paradoks Pajak Minimum Global vs Insentif bagi Investor

POLTAX – GAP – IFTAA Jembatani Paradoks Pajak Minimum Global
FOTO: Aprilia Hariani

POLTAX – GAP – IFTAA Jembatani Paradoks Pajak Minimum Global vs Insentif bagi Investor

Pajak.com, Depok – Klaster Riset Politics of Taxation, Welfare, and National Resilience (POLTAX) berkolaborasi dengan Governansi dan Akuntabilitas Perpajakan (GAP) serta Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) jembatani paradoks penerapan pajak minimum global versus (vs) kebijakan insentif bagi investor. Ketiga lembaga ini bersinergi dengan menggelar seminar nasional yang diisi oleh pemateri dari Direktorat Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), di Auditorium EDISI 2020, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI).

Ketua Klaster POLTAX Haula Rosdiana menuturkan, seminar ini sangat penting dalam mendiskusikan dan mencari solusi untuk menjembatani Pilar Dua Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 (global minimum tax) dengan insentif pajak, seperti tax holiday regime. Untuk itu, ia berpandangan, isu tersebut perlu terus dibahas bersama agar mendorong terciptanya rumuskan kebijakan dan regulasi perpajakan yang berkeadilan sehingga dapat memperkuat ketahananan nasional. Menurut Haula, seminar nasional ini menjadi salah satu manifestasi dari demokrasi deliberatif untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) world dalam era disrupsi telah mendorong terjadinya suatu kepastian akan adanya ketidakpastian. Model bisnis berkembang sangat cepat sementara kebijakan dan regulasi pajak masih mencari formula yang jitu agar BEPS dapat diminimalisir agar negara mendapatkan hak pemajakannya. Tergerusnya hak pemajakan negara sama artinya dengan tergerusnya haknya rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan yang berkeadilan. Karena itulah, para scholars/ilmuwan pajak, hingga teknokrat perpajakan berusaha mencari solusi untuk mengatasi masalah BEPS. Salah satunya dengan membentuk tim kerja lintas banyak negara yang disebut Inclusive Framework on BEPS (IF) yang dimotori oleh OECD,” jelas Haula dalam sambutannya, dikutip Pajak.com (30/10).

Sejurus kemudian, IF bersepakat untuk membuat kebijakan berdasarkan a consensus-based long-term solution. Beragam usulan dari anggota IF pada akhirnya dibagi ke dalam dua proposal berupa TwoPillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy, meliputi pertama, (Pilar Satu) berkaitan dengan modifikasi alokasi hak pemajakan dan nexus rule di perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Kedua, (Pilar Dua) berhubungan dengan isu-isu BEPS yang belum tuntas dan menetapkan pajak minimum global sebesar 15 persen.

Baca Juga  Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengembalian Pajak dalam Rangka Impor

“Di dalam perjalanannya, Pilar Dua disepakati lebih dulu dari Pilar Satu. Pilar Dua mencakup penerapan global minimum tax serta aturan baru tentang Subjectto-Tax Rule (STTR). Saat ini pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan penerapan global minimum tax untuk menjaga ketahanan penerimaan negara sekaligus menciptakan keadilan perpajakan,” ungkap Haula.

Di sisi lain, masih banyak negara, khususnya negara-negara berkembang membutuhkan investasi, sehingga pajak seringkali digunakan sebagai instrumen untuk menarik invetasi. Indonesia termasuk salah negara yang banyak memberikan insentif dan fasilitas perpajakan untuk menarik investasi, seperti tax holiday maupun tax allowance. 

“Paradoks kebijakan akan terjadi jika global minimum tax benar-benar diberlakukan, sementara kebijakan insentif perpajakan juga masih berlaku. Untuk itulah, seminar nasional yang dilakukan secara hybrid diselenggarakan oleh kluster riset POLTAX bekerja sama dengan IFTAA dengan tujuan untuk menganalisis dan mendiskusikannya,” tambah Haula.

Ketua Umum IFTAA Prianto Budi meyoroti silang pendapat antara Kemenkeu dengan Badan Koodinasi Penanaman Modal (BKPM)/Kementerian Investasi (Kemenves). Ia mengutip, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia meminta implementasi pajak minimum global agar dikaji kembali. Sebab Bahlil menilai penerapan konsensus global ini hanya akan menguntungkan negara-negara tertentu, utamanya negara maju yang daya saing investasinya lebih kuat.

“Pilihan rasional bagi otoritas pajak di Indonesia sebagai negara sumber penghasilan atau source country. Ketika Indonesia tidak menerapkan isi kesepakatan Pilar Dua, kita tidak mendapatkan tambahan penerimaan pajak. Sebaliknya, pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia tersebut akan diambil oleh negara tempat penerima penghasilan berdomisili atau domicile country. Berdasarkan paradoks di antara dua kementerian yang membantu presiden, maka perlu ada kajian lebih mendalam untuk menjembatani silang pendapat dua kementerian tersebut.  Salah satu bentuknya adalah kajian akademis yang tersaji dalam sebuah seminar publik sehingga berbagai perspektif dapat dikumpulkan dan dicari benang merahnya,” kata Prianto.

Baca Juga  Bayar PBB Tepat Waktu di Sukabumi, Berpeluang Umrah Gratis

Dampak Pilar 2 terhadap insentif pajak

Pada kesempatan yang sama, Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama merumuskan tiga hal yang menjadi latar belakang inisiasi Pilar Dua, yakni menanggulangi kompetisi pajak yang tidak sehat race to the bottom antar-yurisdiksi, menanggulangi risiko BEPS yang belum dimitigasi oleh action plan lainnya, dan menjamin bahwa multinasional entreprise (MNE) membayar pajak minimum secara agregat.

Penerapan pajak minimum global pada Pilar Dua akan berlaku pada perusahaan multi nasional dengan omzet konsolidasi lebih dari 750 juta euro berdasarkan laporan keuangan konsolidasi Ultimate Parent Entity (UPE) minimal 2 tahun dalam 4 tahun fiskal sebelum tahun fiskal yang diuji.

“Bagaimana dampaknya terhadap insentif-insentif (pajak) di Indonesia? GloBE diperkirakan akan mempengaruhi keefektifan dari insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, super tax deduction untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang), dan kebijakan tax allowance jika jumlah investasi yang dilakukan memiliki nilai yang signifikan. Karena tarif pajak efektif di bawah 15 persen akan dikenakan top-up tax pada perusahaan. Perusahaan yang diberikan tax holiday 100 persen karena penanaman modalnya di atas Rp 500 miliar, sudah jelas terdampak karena tarif pajak efektifnya di bawah 15 persen, bahkan bisa 0 persen,” ujar Mekar.

Manfaat dan kesiapan Indonesia

Kendati demikian, ia memiliki perspektif bahwa dampak itu dapat dialihkan untuk memberi insentif non-pajak untuk para investor. Misalnya, menggantinya dengan stimulus perbaikan infrastruktur, kemudahan izin usaha, peningkatan sumber daya manusia, dan lain sebagainya.

“Maka, respons pemerintah terhadap Pilar Dua adalah dengan melakukan penaksiran yang terukur. Pemerintah dapat mendesain ulang insentif pajak yang selaras dengan Pilar Dua,” tegas Mekar.

Ia memastikan, kesiapan Indonesia dalam mengadopsi Pilar Dua melalui payung hukum Pasal 32 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan beleid ini pemerintah berwenang untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan pergeseran laba, pertukaran informasi perpajakan; bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya sesuai dasar hukum untuk menerapkan Pilar Dua. Sebagai turunan UU HPP, pengenaan pajak minimum global turut disiapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.

Baca Juga  Pemkab Tangerang Pasang Stiker bagi Restoran Penunggak Pajak

“Pada Pasal 54 PP Nomor 55 Tahun 2022 menyatakan bahwa ketentuan mengenai pengenaan pajak minimum global akan diatur dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan). Saat ini rancangan PMK mengenai Pilar Dua dan sedang disusun. Taksiran dampak implementasi Pilar Dua bagi penerimaan pajak dan insentif pajak juga sedang dilakukan,” ungkap Mekar.

Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Wahyu Hidayat juga memastikan, penerapan Pilar Dua dapat mendorong pemajakan yang lebih adil diantara negara di dunia. Kompetisi yang sehat dalam menarik foreign direct investment (FDI) melalui faktor-faktor lain, seperti kemudahan perizinan, pertanahan, kualitas sumber daya manusia (SDM), dan infrastruktur yang memadai.

“Penerapan Pilar Dua justru berpotensi menurunkan efektivitas pemberian fasilitas perpajakan. Karena benefit pajak tidak seluruhnya dapat dinikmati oleh pelaku usaha. Penerapan Pilar Dua mendorong peningkatan penerimaan negara melalui perpajakan yang dapat meningkatkan ruang fiskal pemerintah, melaksanakan program-program prioritas untuk masyarakat,” pungkas Wahyu.

Sekilas mengulas, POLTAX merupakan lembaga yang mencakup area riset tentang perpajakan dalam perspektif politik—kebijakan pajak sebagai produk politik, pajak sebagai instrumen politik, sosial, dan ekonomi pembangunan manusia pembangunan manusia dan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Selain itu, area riset dalam klaster ini adalah pajak sebagai instrumen untuk memperkuat ketahanan nasional di berbagai bidang, misalnya ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kedaulatan maritim.

Sementara, IFTAA adalah asosiasi di bidang fiskal yang memberikan penguatan learning outcome pendidikan perpajakan untuk meningkatkan kompetensi SDM di Indonesia.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *