in ,

Penyempurnaan Proses Mekanisme “Advance Pricing Agreement” dalam PMK Nomor 22 Tahun 2020

PMK Nomor 22 Tahun 2020
FOTO: IST

Penyempurnaan Proses Mekanisme “Advance Pricing Agreement” dalam PMK Nomor 22 Tahun 2020

Pajak.com, Jakarta – Mengadopsi Rencana Aksi Nomor 14 OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 22/PMK.03/2020 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)/APA. Transfer Pricing and International Tax Supervisor TaxPrime Alifio Yafi Narendra menilai, PMK Nomor 22 Tahun 2020 merupakan regulasi yang menyempurnakan proses mekanisme (Advance Pricing Agreement)/APA.

Ia menuturkan, sebelumnya ketentuan (Advance Pricing Agreement)/APA telah diatur dalam PMK Nomor 7 Tahun 2015 dan Pasal 59 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Namun, belum ada regulasi secara komprehensif yang mengatur tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer.

“Karena terpisah-pisah dibeberapa peraturan, akhirnya PMK Nomor 22 Tahun 2020 terbit secara jelas dan padat, membahas lengkap bagaimana mekanisme APA, bahkan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi output APA. Maka, menurut saya, PMK Nomor 22 Tahun 2020 ingin membuat wadah peraturan yang jelas dan komplit, sehingga dapat menyempurnakan ketentuan APA agar lebih efektif dan memberikan kepastian hukum, terutama terkait penentuan harga transfer, prosedur, jangka waktu, dan tindak lanjut permohonan pelaksanaan kesepakatan harga transfer,” ujar Alifio kepada Pajak.com, di Ruang Rapat Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, (27/9).

Kembali ia menegaskan bahwa PMK Nomor 22 Tahun 2020 merupakan upaya Pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Nomor 14 OECD/G20 mengenai kesepakatan harga transfer. Perlu diketahui, terdapat 15 Rencana Aksi OECD/G20 yang diterbitkan sejak tahun 2015 untuk menangani BEPS yang sangat merugikan seluruh negara di dunia karena mengakibatkan ketidakadilan di bidang perpajakan. Ke-15 rencana aksi itu secara spesifik dibentuk oleh BEPS Inclusive Framework—dengan anggota 129 negara, termasuk Indonesia.

“PMK Nomor 22 Tahun 2020 dengan sangat detail menguraikan semua ketentuan APA, dimulai dari mendefinisikan APA, yakni perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak pemerintah mitra P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) yang melibatkan Wajib Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (3a) undang-undang mengenai Pajak Penghasilan (PPh) untuk menyepakati kriteria-kriteria dalam penentuan harga transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar dimuka. Sementara, harga transfer adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa dibuatnya PMK Nomor 22 Tahun 2020 ini salah satunya juga bertujuan untuk memberikan tahapan pengujian kewajaran terkait transaksi afiliasi yang menjadi core atau substansi dari permohonan APA yang diajukanSejak awal kita menentukan ketentuan harga transaksi afiliasi, agar ke depannya tidak di koreksi atau ditemukan hal-hal yang dapat di challenge oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak),” jelas Alifio.

Baca Juga  DJP dan Singapura Bertukar Pengalaman Pengelolaan “Contact Center” Layanan Perpajakan 

Manfaat APA

Dengan demikian, ia menilai, manfaat APA bagi Wajib Pajak adalah kepastian hukum selama maksimal 10 tahun. Pasalnya, merujuk PMK Nomor 22 Tahun 2020, APA yang telah disepakati mencakup seluruh atau sebagian transaksi afiliasi selama periode lima tahun ke depan dan roll-back lima tahun ke belakang—selama Wajib Pajak meminta roll-back dalam permohonan APA.

“Jadi, Wajib Pajak dan DJP atau negara mitra sudah menyepakati harga transfer lima tahun ke depan dan lima tahun kebelakang atau total 10 tahun. Ini akan memberikan kepastian hukum yang jelas untuk Wajib Pajak maupun otoritas—tidak diperiksa lagi, tidak menimbulkan risiko-risiko sengketa pajak. Ini membuat APA bermanfaat untuk memberikan kepastian hukum, kepastian atau kelangsungan bisnis ke depan,” ujar Alifio.

Kendati demikian, ia menyebutkan, roll-back berlaku dengan beberapa syarat, yaitu fakta dan kondisi transaksi Afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi transaksi afiliasi yang telah disepakati dalam APA; belum kedaluwarsa penetapan; belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) PPh Badan; dan tidak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan.

Tahapan pendahuluan

Selain itu, Alifio menyoroti mekanisme yang baru dijelaskan dalam PMK Nomor 22 Tahun 2020, yaitu mengenai tahapan pendahuluan dalam menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau arm’s length principle. Sebelumnya, ia menjelaskan, pada Pasal 8 PMK Nomor 22 Tahun 2020, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha diterapkan dengan membandingkan kondisi dan indikator harga transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dengan kondisi dan indikator harga transaksi antar pihak independen dalam keadaan yang sebanding.

Baca Juga  KP2KP dan BAZNAS Edukasi Syarat Zakat sebagai Pengurang Pajak

“Apa saja indikator harga? Bisa berupa harga transaksi, laba kotor (gross profit), atau laba operasi bersih (net operating profit) berdasarkan nilai absolut atau nilai rasio tertentu atau disebut dengan indikator tingkat laba (profit level indicator) tergantung nature dari transaksi tersebut dan metode pengujian yang digunakan. Kemudian, perlu dipahami bahwa harga transfer disebut memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha apabila nilai indikator harga transfer sama dengan nilai indikator harga transaksi independen yang sebanding. Dijelaskan juga dalam PMK ini bahwa nilai indikator harga transaksi independen bisa berupa titik kewajaran (arm’s length point) atau titik di dalam rentang kewajaran (arm’s length range),” jelas Alifio.

Kemudian, terkait dengan tahapan pendahuluan. Menurutnya, PMK Nomor 22 Tahun 2020 mengatur secara jelas bahwa penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha untuk transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa tertentu harus dilakukan dengan tahapan pendahuluan.

“Secara sederhana, tahapan pendahuluan adalah suatu tahapan pengujian apakah pricing policy-nya wajar. Misalnya, memberikan jasa maintenance dengan biaya Rp 5.000 ke perusahaan afiliasi wajar atau tidak? Sebelum membahas harganya wajar atau tidak, perlu dilakukan tahapan pendahuluan terlebih dahulu. Sebelumnya, hal serupa bisa kita temukan di PER-32 Tahun 2011 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011), yang merupakan pembaruan dari PER-43 Tahun 2010. Namun, itu belum bisa dibilang sudah se-detail tahapan pendahuluan pada PMK 22, melainkan berbunyi ‘untuk menguji transaksi jasa kita harus memastikan apakah jasa tersebut telah benar-benar diberikan, sebelum kita menguji harga transaksi tersebut’. Hanya sebatas itu. Padahal OECD Transfer Pricing Guidelines Paragraph 7.6, itu membahas lebih dalam, seperti benefit test—apakah si jasa yang diberikan ini memang memberikan secara ekonomis terhadap si penerima jasa,” ujar Alifio.

Dengan begitu, PMK Nomor 22 Tahun 2020 pun menyempurnakan PER-32 Tahun 2011 untuk mengadopsi OECD Transfer Pricing Guidelines Paragraph 7.6. Alifio memerinci, pada Pasal 14 PMK Nomor 22 Tahun 2020 diuraikan bahwa tahapan pendahuluan untuk transaksi meliputi pembuktian bahwa jasa tersebut secara nyata telah diberikan oleh pemberi jasa dan diperoleh penerima jasa; dibutuhkan oleh penerima jasa; memberikan manfaat ekonomis kepada penerima jasa; bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham (shareholder activity); bukan merupakan aktivitas yang memberikan manfaat kepada suatu pihak semata-mata karena pihak tersebut menjadi bagian dari grup usaha (passive association); bukan merupakan duplikasi atas kegiatan yang telah dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak; bukan merupakan jasa yang memberi manfaat insidental; dan dalam hal jasa siaga (on call services)—bukan merupakan jasa yang dapat diperoleh segera dari pihak yang independen tanpa adanya perjanjian siaga (on call contract) terlebih dahulu.

Baca Juga  Mekanisme Pengajuan Keberatan Kepabeanan

Metode pengujian prinsip kewajaran dan kelaziman usaha

Penyempurnaan lainnya adalah metode penentuan harga transfer. Alifio menguraikan, mekanisme tersebut, meliputi metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method); metode harga penjualan kembali (resale price method); metode biaya-plus (costplus method); dan/atau metode lainnya, seperti metode pembagian laba (profit split method), metode laba bersih transaksional (transactional net margin method); perbandingan transaksi independen (comparable uncontrolled transaction method), penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation), atau dalam penilaian bisnis (business valuation). 

“Untuk menentukan metode pengujian (prinsip kewajaran dan kelaziman usaha), makanya kita perlu melakukan tahapan pendahuluan. Namun, secara menyuluh, kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu transaksinya apa, kita juga harus menganalisis transaksi risiko agar kita tahu si Wajib Pajak ini melakukan fungsinya sebanyak apa, Wajib Pajak mendapat efek dari perusahaan lain sejauh apa, Wajib Pajak menanggung risiko sebanyak apa. Selanjutnya, melakukan analisis kesebandingan, lalu baru menentukan metode penentuan harga transfer yang di dalamnya terdapat tahapan pendahuluan, khususnya pada transaksi jasa, penggunaan harta tidak berwujud, loan, pengalihan harta, dan restrukturisasi usaha,” pungkas Alifio.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *