BKF Ungkap Hasil Jajak Pendapat Penerapan Pajak Minimum Global di Indonesia
Pajak.com, Jakarta – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Keuangan) ungkap hasil jajak pendapat atau polling penerapan pajak minimum global di Indonesia. Jajak pendapat melibatkan 350 peserta (100 off-line dan 250 on-line), yang terdiri dari pelaku usaha, konsultan pajak, asosiasi konsultan pajak, dan pemangku kepentingan lainnya.
Senior International Tax Analyst BKF Kemenkeu Melani Dewi Astuti menekankan bahwa latar belakang inisiasi Pilar Dua oleh OECD adalah untuk menanggulangi kompetisi pajak yang tidak sehat race to the bottom antar-yurisdiksi, menanggulangi risiko BEPS yang belum dimitigasi oleh action plan lainnya, dan menjamin bahwa multinasional entreprise (MNE) membayar pajak minimum secara agregat.
Secara umum, penerapan pajak minimum global pada Pilar Dua akan berlaku pada perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi lebih dari 750 juta euro berdasarkan laporan keuangan konsolidasi Ultimate Parent Entity (UPE) minimal dua tahun dalam empat tahun fiskal—sebelum tahun fiskal yang diuji.
“Namun, tidak semua entitas yang tergabung dalam grup MNE dalam lingkup Pilar Dua memiliki ETR (Effective Tax Rate) di bawah 15 persen dan harus membayar pajak top-up. Saat ini hanya sedikit perusahaan in-scope di Indonesia yang memiliki ETR di bawah 15 persen. Kita menerapkan atau enggak menerapkan (pajak minimum global), tetap saja seluruh negara di dunia menerapkannya. Daripada nanti pajaknya diambil negara lain, lebih baik kita yang ambil. Karena apa? Karena insentif pajak yang dulu bisa didapatkan investor, sekarang tidak. Misalnya, kita kasih tax holiday, sekarang investor enggak dapat lagi. Lalu, (kalau Indonesia tidak menerapkan pajak minimum global), 15 persennya tetap dipajaki di negara domisili,” ungkap Melani kepada Pajak.com usai seminar yang diselenggarakan International Fiscal Association (IFA) bertajuk ‘The 11th IFA Indonesia Annual International Tax Seminar’, di Financial Hall Graha CIMB Niaga, Jakarta, dikutip (11/12).
Meski demikian, berdasarkan analisis BKF, potensi penerimaan pajak dari penerapan pajak minimum global diakui tidak akan signifikan di Indonesia. Hal ini akan terjadi pada negara berkembang yang mayoritas hanya memiliki anak perusahaan.
“Penerapan pajak minimum global ini memang akan lebih banyak menguntungkan negara maju. Karena induk usaha kebanyakan memang dari negara maju. Tapi, kita di sini harus menerapkan, kita juga harus menyesuaikan bagaimana nanti pemberian insentif perpajakan. Tarif pajak efektif di bawah 15 persen akan dikenakan top-up tax pada perusahaan. Kemudian, perusahaan yang diberikan tax holiday 100 persen karena penanaman modalnya di atas Rp 500 miliar. Artinya, sudah jelas terdampak karena tarif pajak efektifnya di bawah 15 persen, bahkan bisa nol persen,” jelas Melani.
Adapun pengenaan top-up tax dilakukan berdasarkan tiga metode, yaitu pertama, Income Inclusion Rule (IIR), merupakan ketentuan yang mengharuskan induk dari suatu grup MNE atau bagian dari grup MNE untuk membayar pajak tambahan (top-up) atas anak usahanya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15 persen.
Kedua, Undertaxed Payment Rule (UPTR), yakni ketentuan yang berlaku dalam hal ketentuan IIR tidak dapat diterapkan karena parent entity berada di low-tax jurisdiction atau tidak menerapkan IIR dalam ketentuan domestiknya.
Ketiga, qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT), yaitu yurisdiksi sumber dapat langsung mengenakan pajak atas penghasilan-penghasilan yang kurang dipajaki—sebelum yurisdiksi domisili mengenakan top-up tax terhadap penghasilan tersebut.
Dalam rangka menetapkan metode dan merumusan kebijakan, maka BKF dan kementerian/lembaga (K/L) terkait tengah menyusun peraturan menteri keuangan (PMK) yang dimulai dengan menghimpun jajak pendapat dari pemangku kepentingan.
Tiga hasil jajak pendapat
Melani memerinci tiga hasil jajak pendapat yang BKF telah lakukan secara on-line dan off-line di Bali itu. Pertama, 69 persen responden mengusulkan agar tempat pengenaan top up tax ditetapkan di negara domisili anak usaha negara sumber; 18 persen ingin ditetapkan di negara domisili induk; dan 13 persen di kedua negara sama saja.
Kedua, 42 persen responden ingin metode pengenaan top up tax yang relevan di Indonesia adalah IIR, QDMTT, dan UTPR; 39 persen memilih metode IIR dan QDMTT; serta 19 persen QDMTT saja.
Ketiga, 63 persen responden ingin tax holiday diganti dengan insentif lainnya; 23 persen ingin perubahan kebijakan tax holiday dengan persentase pengecualian lebih kecil; serta 14 persen mengusulkan tax holiday dihilangkan.
“Sebenarnya, hasil polling ini overall sesuai ekspetasi kita,” ujar Melani.
Ia pun memastikan kesiapan Indonesia dalam mengadopsi Pilar Dua, dibuktikan dengan lahirnya payung hukum Pasal 32 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan beleid ini pemerintah berwenang untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan pergeseran laba, pertukaran informasi perpajakan; bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya sesuai dasar hukum untuk menerapkan Pilar Dua. Sebagai turunan UU HPP, adopsi pajak minimum global turut disiapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.
“Sekarang kita masih menyusun aturan pelaksana penerapan pajak minimum global. Maka, saya mengapresiasi seminar yang diselenggarakan oleh IFA ini. Karena tadi kita dengar, narasumber banyak memberikan berbagai masukan terkait perpajakan internasional, khususnya mengenai penerapan Pilar Dua ini. Kebetulan saya juga anggota IFA dan saya merasakan benefit-nya—banyak narasumber internasional yang kita dapat dari IFA,” ungkap Melani.
Pada kesempatan yang sama, Vice Managing Director TaxPrime RR. Nurul Setyawati juga mengapresiasi seminar yang diselenggarakan oleh IFA. Menurutnya, acara ini telah memberikan wawasan terkait isu terkini perpajakan kepada seluruh pemangku kepentingan, diantaranya terkait Pilar Satu dan Dua, transfer pricing, hingga aspek Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam transfer pricing.
“Manfaat untuk peserta dalam hal ini penting sekali, mengingat banyaknya perubahan regulasi dan landscape ketentuan yang semakin kompleks,” pungkas Nurul.
Comments