in ,

MK Gelar Uji Materiil Pajak Hiburan yang Diajukan Pengusaha Karaoke

MK Gelar Uji Materiil
FOTO: MK

MK Gelar Uji Materiil Pajak Hiburan yang Diajukan Pengusaha Karaoke 

Pajak.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) gelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) terhadap UU Dasar 1945. Sidang pemeriksaan pendahuluan ini diajukan oleh Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga.

Adapun persidangan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Arsul Sani, sementara pemohon yang diwakili oleh Adong N.M.P Simanjuntak. Pemohon mendalilkan pasal a quo inkonstitusional dalam UU HKPD.

Seperti diketahui, Pasal 58 ayat (2) UU HKPD telah menetapkan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

“Dalam UU HKPD terdapat perubahan tarif PBJT terhadap jasa kesenian dan hiburan yang sifatnya diskriminatif. Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku,” ungkap Adong dalam keterangan tertulis dikutip Pajak.com, (4/3).

Pemohon berpandangan, tarif PBJT terbaru tersebut akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan PBJT minimal 40 persen dari jumlah jasa karaoke yang digunakan. Menurut pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa, karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi.

Baca Juga  Uji Materiil UU HKPD Berproses di MK, Pengusaha Bayar Pajak Hiburan dengan Tarif Lama

Untuk itu, pemohon meminta MK menambah kata/frasa ‘dikecualikan terhadap karaoke keluarga’ dalam Pasal 58 UU HKPD. Pemohon menilai, UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyarankan pemohon untuk memperbaiki kedudukan hukum dengan menyesuaikan anggaran dasar perusahaan.

“Saran juga pada kedudukan hukum boleh dipertajam juga di alasan permohonan. Ini yang dijadikan landasan pengujian, tidak hanya satu UUD 1945. Maksud saya, kerugian yang dialami perusahaan maupun individu harus jelas, itu atas dasar yang jelas. Misalnya, Pasal 58 ini apa? Jadi lebih baik disarankan untuk sendiri-sendiri, jadi tidak gelondongan mengalami kerugian konstitusional. Jadi, lebih baik dan argumentatif,” ujar Arsul.

Hal senada juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Ia meminta pemohon untuk memperkuat kedudukan hukum serta menguraikan kerugian sebagai sebuah perusahaan (PT) maupun kerugian sebagai pelaku usaha.

“Karena yang mengajukan permohonan bukan hanya dari prinsipal ini saja, ada beberapa permohonan. Jadi, lebih memperkuat lagi. Tolong nanti disampaikan lebih detail pada bagian kedudukan hukum,” imbuh Enny.

Panel Hakim pun memberikan waktu 14 hari kerja untuk Pemohon melakukan perbaikan. Adapun batas waktu penyampaian perbaikan, yakni Rabu, 13 Maret 2024 pukul 09.00 WIB.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *