Masyarakat Terlibat Dalam Pembahasan RUU P2SK
Pajak.com, Palembang – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) dalam RUU Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2022. RUU P2SK ini merupakan RUU inisiatif DPR yang selanjutnya akan dibahas bersama pemerintah untuk menjadi UU.
Untuk itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai koordinator penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU P2SK ajak masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat dalam pembahasan RUU dimaksud melalui meaningfull participation (konsultasi publik).
“Keterlibatan publik karena masyarakat punya hak untuk memberikan masukan dengan instrumen tulisan maupun lisan, langsung maupun tidak langsung. Masyarakat juga punya hak untuk didengarkan, punya hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan juga punya hak untuk mendapatkan penjelasan,” ungkap Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam acara Konsultasi Publik RUU P2SK, di Palembang, (24/10).
Selain menggaet partisipasi melalui penyelenggaraan konsultasi publik secara off-line, Kemenkeu juga telah menyiapkan landing page www.kemenkeu.go.id/partisipasipublik-RUU P2SK sebagai salah satu instrumen untuk memastikan seluruh proses penyusunan RUU ini transparan. Dalam landing page itu terdapat link dokumen dan partisipasi yang terbuka bagi masyarakat yang ingin berperan dalam penyusunan RUU P2SK.
“Harapannya, dengan semakin banyak masukan, RUU ini memiliki ownership yang kuat dari seluruh stakeholders. Semakin banyak masukan yang mempertajam, menyempurnakan DIM, dan juga menjadi masukan bagi DPR agar nanti dalam pembahasan bisa betul-betul mencapai maksud dan tujuan yang kita harapkan,” ujar Prastowo.
Ia menjelaskan, UU P2SK merupakan regulasi yang penting bagi Indonesia. Reformasi sektor keuangan telah berlangsung cukup panjang. Indonesia juga terus belajar dari pengalaman krisis serta tekanan pasar keuangan untuk terus melakukan penguatan terhadap sektor ini.
Tercatat pada krisis keuangan asia tahun 1997-1998, respons diberikan melalui revisi beberapa UU, antara lain UU Perbankan, UU Bank Indonesia (BI), UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan UU Perbankan Syariah.
Kemudian, terhadap krisis keuangan global tahun 2008-2009, respons diberikan melalui lahirnya UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Terakhir, dalam masa pandemi yang berlangsung awal tahun 2020, pemerintah dan DPR melahirkan UU Nomor 2 Tahun 2020 sebagai landasan hukum untuk mengatasi dampak pandemi baik ekonomi, kesehatan, maupun kemanusiaan.
“Ke depan, sektor keuangan akan semakin penting, menantang, dan dinamis. Untuk itu, kita perlu mencermati adanya kondisi atau karakteristik setiap krisis yang berbeda termasuk krisis karena pandemi COVID-19,” kata Prastowo.
Adanya dinamika perkembangan geopolitik perekonomian global, keuangan global, serta perkembangan instrumen dan transaksi keuangan yang semakin kompleks dan terkoneksi, pemerintah pun harus merespons secara lebih antisipatif.
“Di sisi lain, Indonesia membutuhkan penguatan tata kelola industri, penguatan koordinasi antarlembaga otoritas sektor keuangan, dan juga penguatan jaring pengaman sistem keuangan. Ini adalah konteks yang melatarbelakangi adanya reformasi sektor keuangan pada saat ini,” jelas Prastowo.
RUU P2SK ini akan mengamandemen sejumlah pasal dalam UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), UU LPS, UU BI, UU OJK, dan UU Mata Uang. RUU ini juga memiliki 19 ruang lingkup, terdiri dari kelembagaan, perbankan, pasar modal, pasar uang, dan pasar valuta asing, perasuransian, asuransi usaha bersama, program penjaminan polis, usaha jasa pembiayaan, usaha modal ventura, dana pensiun, kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi, dan lembaga keuangan mikro.
Secara lebih rinci, RUU P2SK akan mengatur, diantaranya kewenangan BI untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana dengan merevisi pasal 11 UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
RUU P2SK juga menfasilitasi BI untuk menerbitkan rupiah digital. RUU ini merevisi Pasal 2 dalam UU Mata Uang yang hanya menyebutkan, rupiah terdiri dari rupiah kertas dan rupiah logam, dengan menambahkan jenis lain, yaitu rupiah digital. Dalam RUU P2SK diatur bahwa penerbitan rupiah digital akan dilakukan oleh BI berkoordinasi dengan pemerintah.
Namun, penerbitannya memerhatikan aspek kondisi moneter, kepraktisan sebagai alat pembayaran, pengendalian likuiditas, pengendalian inflasi, keseimbangan jumlah uang yang beredar, keamanan sistem data dan informasi, mitigasi risiko fraud, perlindungan data masyarakat, dan kebutuhan masyarakat.
Kemudian, RUU ini juga menambahkan fungsi LPS dari semula hanya menjamin simpanan nasabah perbankan, menjadi lembaga penjamin polis. LPS, antara lain berhak menentukan iuran yang akan dipungut dari perusahaan asuransi, mengelola kekayaan dan kewajiban program penjaminan polis, hingga menetapkan batas nilai pertanggungan yang dijamin program penjaminan polis.
Selanjutnya, DPR melalui RUU P2SK meminta OJK dan LPS memiliki badan supervisi atau pengawas, seperti yang sudah dimiliki BI saat ini. Badan Supervisi OJK dan LPS diharapkan membantu DPR dalam melakukan evaluasi kinerja kelembagaan dan pengawasan. Tujuannya untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi dan kredibilitas kelembagaan kedua lembaga negara itu.
Comments