in ,

Sri Mulyani Waspadai Dampak Konflik Tiongkok dan Taiwan

Dampak Konflik Tiongkok dan Taiwan
FOTO: Kemenkeu Foto/Biro KLI Bayu

Sri Mulyani Waspadai Dampak Konflik Tiongkok dan Taiwan

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mulai mewaspadai sederet tantangan global bagi perekonomian Indonesia. Salah satunya, dampak konflik geopolitik yang sedang memanas antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT)/Tiongkok/China dengan Taiwan. Seperti diketahui, konflik dipicu oleh kedatangan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) Nancy Patricia D’Alesandro Peloci ke Taiwan pada awal pekan lalu. Tiongkok menilai kedatangan Peloci sebagai bentuk dukungan kepada Taiwan, melanggar kedaulatan negara, dan melanggar Prinsip Satu China (One China Policy). Respons kemarahan Tiongkok tidak hanya ditunjukkan melalui pernyataan presidennya, melainkan pula dengan melakukan latihan militer di sekitar wilayah Taiwan.

Sekilas mengulas, ada dua istilah mengenai prinsip/kebijakan Tiongkok, yakni Kebijakan Satu China dan Prinsip Satu China. Secara umum, Kebijakan Satu China adalah kebijakan yang diakui oleh AS pada tahun 1979 bahwa hanya ada satu negara bernama China. Sedangkan Prinsip Satu China merupakan komitmen antara Taiwan dan Tiongkok yang mengakui satu China, tetapi tidak sependapat tentang siapa pemerintah yang sah. Prinsip ini merujuk pada Konsensus tahun 1922. Dalam pandangan Tiongkok, Prinsip Satu China menegaskan bahwa Taiwan termasuk bagian dari negaranya, sedangkan Taiwan sebaliknya. Di kancah dunia, Taiwan memilih nama resmi Republic of China (RoC) atau tersohor juga dengan sebutan sebagai China Taipei.

Baca Juga  Catat! Jadwal Rekayasa Lalin Arus Mudik dan Balik Lebaran 2024

“Kalau sebelumnya kita fokus ke Ukraina dan Rusia, sekarang dekat-dekat kita, yaitu Taiwan. Kita berharap tidak akan berkembang, tapi itu nobody can’t, walaupun baca semua teori analisis politik yang ada 1.001 versi, so you never know what’s going to happen,” ungkap Sri Mulyani dalam Soft Launching Buku: Keeping Indonesia Safe from COVID 19 Pandemic, dikutip (6/8).

Ia memproyeksi, konflik Tiongkok dan Taiwan itu tidak berkembang dan berlanjut. Kendati begitu, dunia masih tetap dihadapakan dengan dampak konflik Rusia dan Ukraina yang telah menimbulkan pelbagai gejolak, antara lain krisis harga energi, pangan, dan pupuk. Secara simultan, global juga harus mewaspadai kebijakan The Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunganya secara lebih agresif.

“Langkah The Fed dalam menaikkan suku bunga secara agresif seperti orang menggunakan antibiotik dengan dosis tinggi untuk mengobati suatu penyakit dalam tubuh. Ini sudah menggunakan instrumen kebijakan yang sangat powerfull. Nanti siapa yang kena terlebih dahulu dari antibiotiknya? Apa kah penyakitnya, yaitu inflasi? Atau growth-nya atau excess-nya,” ungkap Sri Mulyani.

Baca Juga  Airlangga Tegaskan Rencana Aksi Kelapa Sawit Berkelanjutan

Selanjutnya, dunia juga dihantui oleh ancaman perubahan iklim. Dampaknya sudah terlihat berupa kekeringan, kelaparan di negara-negara Afrika, dan kebakaran hutan. Ditambah lagi, global akan terus dihadapkan dengan tantangan perkembangan teknologi digital.

“Munculnya digital currency, cryptocurrency. So basically, sebagai suatu negara, Indonesia harus sangat aware terhadap kemungkinan dinamika yang terjadi setiap saat yang akan berikan dampak ke kita,” ujar Sri Mulyani.

Untuk mewaspadai dan memitigasi segala tantangan itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai pengampu kebijakan fiskal akan terus bersiap dengan segala macam kemungkinan. Ia memastikan, Kemenkeu terus belajar dari fenomena yang sedang dan/atau akan terjadi.

“Dengan sederet tantangan tadi, kondisi perekonomian Indonesia masih sangat aman saat ini. Pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2022 menembus 5,44 persen. Artinya apa? Indonesia relatif in a good position, demand, dan supply tetap terjaga. Inflasi memang tertahan karena kita memberi subsidi banyak,” jelas Sri Mulyani.

Selain subsidi, kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 ini juga didukung oleh melonjaknya kinerja ekspor dan konsumsi masyarakat. Kesiapan dari sisi suplai sudah mulai responsif membuat inflasi relatif stabil, yakni berada pada level 4,94 persen per Juli 2022. Sedangkan, inflasi di AS berada di level 9,1 persen, bahkan menjadi rekor inflasi tertinggi selama 41 tahun bagi negara maju itu.

Baca Juga  Jokowi dan Menlu Tiongkok Bahas 4 Isu Penting Ini

“Di negara lain barangkali inflasi sudah sangat tinggi, sementara recovery suppy side belum terlalu besar, sehingga growth-nya juga belum tinggi. Kita bersyukur. Bisa saja badannya tidak kuat, yang mau dihajar inflasi yang kena growth-nya duluan. We never know apa yang akan terjadi, tergantung data ke depan. Tapi apapun itu harus kita antisipasi,” jelas Sri Mulyani.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *