in ,

UU HPP Sebagai Bagian Reformasi Perpajakan dan Dampaknya

UU HPP Sebagai Bagian Reformasi Perpajakan dan Dampaknya
FOTO: IST

Reformasi Perpajakan merupakan perubahan sistem perpajakan yang menyeluruh, termasuk pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi, dan peningkatan basis perpajakan. Reformasi perpajakan menjadikan Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyampaikan bahwa, pemerintah terus berkomitmen untuk melakukan reformasi perpajakan dalam rangka menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan.

Reformasi perpajakan antara lain dilakukan melalui perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, serta perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan. Selain itu, reformasi pajak juga dilakukan dengan cara pemberian insentif pajak yang lebih terukur, efisien, dan juga memberikan dampak positif bagi peningkatan investasi dan mendorong transformasi struktural.

Melalui disahkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 7 Oktober 2021, menjadi tonggak sejarah baru reformasi perpajakan yang mendorong terwujudnya sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel, serta menjadi bagian dari agenda reformasi di bidang fiskal dan struktural yang sangat diperlukan guna mendukung upaya mewujudkan Indonesia maju 2045. Adanya UU HPP dalam jangka pendek (tahun 2022), penerimaan perpajakan diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi dengan rasio perpajakan naik ke kisaran 9% dari PDB. Rasio ini lebih baik daripada yang diasumsikan dalam APBN 2022 sekitar 8,44%. Serta di tahun 2025, rasio perpajakan dapat mencapai lebih dari 10%. Tentunya seiring dengan arah pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan semakin kuat dan peningkatan kepatuhan yang terus terjadi dengan berkelanjutan.

UU HPP dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, serta mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Kemudian, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, perluasan basis perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

Baca Juga  Sertifikat Elektronik Wajib Pajak Badan Bisa Diajukan oleh Kuasa?

Maka dari itu untuk mencapai tujuan tersebut, UU HPP mengatur kebijakan strategis yang meliputi:

1. Perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.

2. Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008.

Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi yang mana pada  UU PPh ada penambahan lapisan tarif pajak penghasilan (PPh) untuk orang pribadi yang semula hanya ada empat lapisan tarif berdasarkan besaran penghasilan kena pajak (PKP), yaitu: rentang  PKP 0 – Rp 50 juta dengan tarif 5%, rentang PKP lebih dari Rp 50 juta – Rp 250 juta dengan tarif 15%, rentang PKP lebih dari Rp 250 juta – Rp 500 juta dengan tarif 25%, dan PKP lebih dari Rp 500 juta dengan tarif 30%. Sedangkan pada UU HPP mengalami perubahan pada rentang pertama dan kedua, yaitu menjadi rentang PKP 0 – Rp 60 juta dengan tarif 5%, rentang PKP lebih dari Rp 60 juta – Rp 250 juta dengan tarif 15%, dan penambahan satu rentang lagi menjadi lima, yaitu untuk penghasilan lebih dari Rp 5 miliar dengan tarif 35%. Di sisi lain, untuk Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM, batas peredaran bruto tidak dikenai pajak ditetapkan sampai dengan Rp 500 juta per tahun. Maka dampak dari perubahan dan pertambahan lapisan tarif penghasilan (PPh) di UU HPP adalah berkurangnya total PPh terutang.

Baca Juga  Penerimaan Pajak Kanwil DJP Jakbar Rp 15,09 T per Triwulan I-2024

3. Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009.

Tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% akan berlaku hingga Maret 2022. Adapun mulai 1 April 2022, merujuk pada UU HPP, akan berlaku tarif baru PPN yaitu 11%. Lalu paling lambat mulai 1 Januari 2025, tarif PPN akan dinaikkan lagi menjadi 12%.

Menurut Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai UU HPP tak terlepas dari upaya pemerintah mencari pendanaan baru guna mengurangi defisit APBN 2022 dan 2023 yang harus kembali ke level 3%. Ia menilai dampaknya pun beragam terhadap berbagai lapisan masyarakat, yang paling terasa adalah harga barang yang terkerek naik akibat kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11%  mulai 1 April 2022 mendatang.

Sedangkan menurut Bhima Yudhistira Adhinegara, selaku Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan bahwa dengan adanya kenaikan tarif PPN tersebut sangat berisiko karena pemerintah sedang berusaha memulihkan perekonomian akibat pandemi COVID-19. Peningkatan tarif PPN akan meningkatkan harga barang dan berdampak pada daya beli masyarakat kelas bawah sampai menengah akan turun.

Sedangkan Kepala Ekonomi Bank Permata Joshua Pardede mengatakan peningkatan tarif PPN ditujukan mendorong reformasi penerimaan perpajakan PPN. Implementasi aturan ini memiliki konsekuensi perlambatan pemulihan ekonomi karena peningkatan tarif PPN akan berimplikasi terhadap peningkatan harga barang dan jasa, sehingga berpotensi menghambat pemulihan daya beli masyarakat.Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan dapat mendorong produktivitas dan efektivitas belanja strategis terutama anggaran program perlindungan sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang notabene terkena dampak lebih signifikan dari pengenaan tarif baru PPN.

Baca Juga  Sumbang Devisa Rp 156,9 T per Tahun, Segini Gaji TKI di Luar Negeri

4. NIK Menggantikan NPWP

Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) menambah fungsi NIK pada KTP menjadi NPWP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmadrin Noor mengatakan bahwa, pemberlakuan NIK menjadi NPWP tidak otomatis menyebabkan pemilik NIK akan dikenai pajak, pemilik NIK harus memenuhi syarat subjektif (termasuk sebagai subjek pajak) dan objektif (mendapatkan penghasilan setahun di atas batas penghasilan tidak kena pajak yaitu Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun untuk orang pribadi lajang dan tambahan Rp 4,5 juta diberikan untuk Wajib Pajak yang menikah , serta ditambah Rp 4,5 juta untuk setiap tanggungan maksimal tiga orang). Maka dengan ketentuan ini dampaknya bagi wajib pajak orang pribadi tidak perlu repot melakukan pendaftaran ke KPP karena NIK tersebut sudah berfungsi sebagai NPWP.

5. UU HPP juga mengatur kebijakan strategis seperti pengaturan mengenai program pengungkapan sukarela Wajib Pajak, pengaturan mengenai pajak karbon, dan perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 39 Tahun 2007.

Maka dengan UU HPP sebagai bagian dari reformasi perpajakan, pemerintah optimis kinerja perpajakan Indonesia semakin membaik.

Referensi:

https://www.pajak.go.id/reformasi-perpajakan

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/uu-hpp-mendekatkan-kinerja-perpajakan-ke-level-potensialnya/

https://money.kompas.com/read/2021/10/10/231600726/nik-jadi-npwp-apakah-pemilik-ktp-otomatis-dikenai-pajak?page=3

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/sosialisasi-uu-hpp-reformasi-pajak-untuk-capai-indonesia-emas-2045/

Melihat Dampak UU HPP ke Masyarakat

https://money.kompas.com/read/2021/11/04/070100026/poin-penting-perubahan-dan-tambahan-aturan-pajak-di-uu-hpp?page=all

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/uu-hpp-perkuat-sistem-perpajakan-agar-mampu-hadapi-tantangan-ekonomi-di-masa-depan/

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *