in ,

Regulasi UU HPP Sebagai Langkah Reformasi Struktural

Regulasi UU HPP Sebagai Langkah Reformasi Struktural
FOTO: IST

Regulasi UU HPP Sebagai Langkah Reformasi Struktural: Demi Masyarakat atau Pemerintah?

Pembentukan undang-undang dalam pemerintahan tak lepas dari pengaruh kebijakan politik. Pajak yang merupakan salah satu sumber penerimaan negara merupakan indikator penting dalam menunjang dana pembangunan. Terdapat banyak kontra mengenai peraturan perpajakan karena umumnya para pelaku wajib pajak merasa tidak mendapat timbal balik dari jumlah pajak yang mereka bayarkan, justru terkadang banyak diantara pelaku wajib pajak merasa dirugikan karena idealnya kemampuan ekonomi mereka justru berkurang dengan keberadaan pajak. Pemikiran yang demikian mengakibatkan penerimaan negara tidak maksimal, sehingga angka tax ratio yang menjadi salah satu indikator penerimaan pajak dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Indonesia menurun.

Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2004 dapat diketahui beberapa permasalahan mengenai kondisi perpajakan di Indonesia. Permasalahan ini meliputi penyimpangan hasil pajak yang mencapai 40 triliun rupian dan sistem perpajakan yang belum terimplementasi secara menyeluruh dan mengakibatkan dari 220 juta penduduk Indonesia, hanya sekitar 2,3 juta orang yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), hal ini didukung rendahnya kesadaran masyarakat dalam mendaftarkan dirinya ke Kantor Pelayanan Pajak dalam memperoleh NPWP. Hal ini tentu menjadi tantangan bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat dan menghindari tindakan demikian dalam memulihkan penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Memahami Sistem Perpajakan Secara Global

Krisis ekonomi global telah membuktikan betapa saling berkorelasinya perekonomian antar negara, dimana masalah perekonomian suatu negara dapat berimplikasi ke negara lain. Sebagai contoh masalah perekonomian di Amerika dan China dapat mengakibatkan perubahan ekonomi yang cukup signifikan bagi negara di seluruh dunia. Beberapa cara dilakukan oleh berbagai pemerintahan di dunia dengan mengambil kebijakan stimulus fiskal yang meliputi penurunan tarif pajak untuk menarik investor baik dari dalam maupun luar negeri. Ernst dan Young telah meramalkan kebijakan pajak dalam Asia Pasific Tax Outlook (2011) ke dalam tiga hal yang mencakup fiscal consolidation, penurunan tarif pajak (lowering of corporate rules), dan perluasan basis pajak secara simultan (simultaneous of the tax base).

Baca Juga  Penerimaan Pajak Kanwil DJP Papabrama Capai 50,51 Persen dari Target hingga Agustus 2024

Indonesia sebagai salah satu negara di Asia dengan perekonomian terbesar yang saat ini menduduki peringkat ketujuh apabila dilihat dari GDP (Gross Domestic Produc) pun tidak terlepas dari stimulus fiskal. Dalam setahun terakhir ini telah terjadi reformasi empat Undang-Undang Perpajakan yang meliputi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Pajak penghasilan (UU PPh), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM), dan Undang-Undang Cukai. Keempat perubahan yang menambah regulasi terkait perpajakan ini adalah bagian dari konsekuensi pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pertimbangan dari reformasi Undang-Undang Perpajakan terkait pengesahan UU HPP ini adalah sebagai bagian dari rencana pemerintah dalam menciptakan basis pajak yang kuat dan semakin merata berdasarkan APBN yang stabil dan berkelanjutan, sehingga dapat membentuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Reformasi UU HPP Tidak Memiliki Konsekuensi

Perekonomian dan pembangunan merupakan salah satu indikator keberlanjutan suatu negara yang salah satu faktornya didukung oleh keberhasilan negara tersebut dalam melakukan pengelolaan pajak di negaranya. Pajak memiliki fungsi yang mencakup distribusi, alokasi, dan stabilisasi. Dengan berpegang pada prinsip yang berlaku secara universal telah mengakibatkan Indonesia sudah mengalami reformasi Undang-Undang Pajak di Indonesia. Terkhususnya tahun ini, sebagai akibat dari UU HPP maka terdapat perubahan regulasi Undang-Undang Perpajakan yang meliputi UU KUP, UU PPh, UU PPN dan PPnBM, dan UU Cukai. Sesuai dengan pertimbangan yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perkonomian maka diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.

Kebijakan ditetapkannya UU HPP dianggap sebagai pelengkap dan penyempurna komponen reformasi pajak yang telah dibentuk sebelumnya yang dari tahun 2007 terus dilakukan pemerintah. Regulasi UU HPP rasanya memang perlu ditetapkan sebagai upaya melakukan reformasi secara menyeluruh dan masif. Secara menyeluruh UU HPP ini memang dinilai dapat memaksimalkan pendapatan negara dan merealisasikan sistem perpajakan yang lebih adil, namun dalam implemetasinya tetap terdapat hal-hal yang harus diperhatikan, khususnya dampak yang akan ditimbulkan bagi masyarakat.

Baca Juga  Terbaru! Kalender Pajak bulan Oktober 2024

Melalui UU HPP ini terdapat persoalan yang cenderung kontra terhadap pemulihan ekonomi. Salah satunya ialah mengenai besaran tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik menjadi 11 persen dari sebelumnya 10 persen. Kenaikan PPN ini akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022 dan akan mengalami kenaikan secara bertahap menjadi 12 persen di tahun 2025. Hal ini dirasa kurang sesuai apabila diterapkan di tengah keadaan penularan virus corona dan sangat berisiko terhadap pemulihan ekonomi di tahun depan. Situasi naiknya PPN akan mengancam terjadinya inflasi jika terjadi kemungkinan harga barang akan naik, sementara tidak ada jaminan bahwa daya beli kelas bawah dan menengah akan benar-benar pulih di tahun tersebut dikarenakan penerapan PPN tidak melihat kelas masyarakat.

Persoalan kedua adalah mengenai dampak masuknya tax amnesty 2.0 ke dalam UU HPP. Langkah ini dianggap akan mengakibatkan kemunduran dalam upaya meningkatkan kesadaran pajak. Hal ini dikarenakan akan membuka celah bagi wajib pajak yang sudah mendapat tax amnesty di tahun 2016 untuk mendapat tax amnesty kembali, bukankah hal tersebut justru akan membuat pemerintah tampak tidak konsisten dalam pernyataannya pada tahun 2016 bahwa tax amnesty hanya akan dilakukan sekali.

Persoalan ketiga adalah minimnya pemahaman masyarakat terkait reformasi Undang-Undang Perpajakan dikarenakan kurang informasi yang menyeluruh dari pemerintah. Diperlukan adanya sosialisasi yang menjelaskan tujuan dan output yang akan didapat dari penerapan UU HPP ini dengan menunjukkan benefit yang akan didapat baik dari pemerintah maupun masyarakat sehingga miss konsepsi dari kedua belah pihak dapat dihindari, terlebih bila pemerintah menggunakan Bahasa hukum yang tak mudah dipahami setiap orang.

Baca Juga  Kanwil DJP Jakpus Yakin Penerimaan Pajak Capai Target Rp 102,41 Triliun pada Akhir 2024 

Kebijakan yang Harus Dipertimbangkan

Sebagai upaya dalam menjalankan UU HPP dirasa perlu adanya pemahaman dari pemerintah terlebih dulu ke masyarakat sebagai pelaksana kebijakan. Pemerintah juga perlu memberikan penyuluhan dan mengingatkan masyarakat untuk memperhatikan waktu dalam pemberlakuan kebijakan, sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan tidak terlewat dan dapat berjalan.

Terkait dengan naiknya PPN ke angka 11 persen merupakan tantangan bagi pemerintah untuk mengusahakan pemulihan daya beli kelas bawah dan menengah sehingga roda ekonomi dapat berputar stabil. Selain itu perlu adanya persiapan bagi para pelaku usaha untuk mulai melakukan persiapan dan melakukan penyesuaian terkait tarif PPN yang akan berlaku. Hal ini dikarenakan para pelaku usaha akan mendapat efek yang cukup besar apabila tidak melakukan penyesuaian yang meliputi harga produksi dan distribusi hingga sampai ke tangan konsumen.

Terkait permasalahan tax amnesty 2.0 yang bertolak belakang dengan semangat reformasi Undang-Undang Perpajakan. Penerapan tax amnesty jilid dua ini dirasa perlu ditambahkan beberapa ketentuan mengikat sehingga pelaku wajib pajak yang telah melakukan tax amnesty pada tahun 2016 tidak dengan mudah dapat memperoleh tax amnesty jilid dua ini. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa kebijakan tax amnesty yang kebanyakan hanya diperuntukkan bagi kepentingan pengusaha dengan dana besar di luar negeri ini malah akan menjadi karpet merah bagi koruptor dan konglomerat yang memperoleh keuntungan di Indonesia.

UU HPP ini sejatinya dapat menjadi solusi dalam mendukung percepatan pemulihan perokonomian melalui peningkatan perekonomian yang berkelanjutan. Namun ekseskusi yang akan dilakukan tetaplah harus matang sehingga dapat meningkatkan dan menciptakan sistem perpajakan yang tetap mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam pelaksanaannya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

132 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *