Pemungutan pajak merupakan sebuah siklus yang mengalami perubahan dari zaman ke zaman dengan menyesuaikan perkembangan masyarakat terhadap kondisi perekonomian dan sosial pada sebuah negara. Sumber penerimaan negara, khususnya di Indonesia dapat dikategorikan dalam berbagai sektor, seperti pajak, retribusi, kekayaan alam, sumbangan, bea cukai, dan lain sebagainya. Secara umum, diketahui bahwa pajak memiliki definisi yakni iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak memiliki peran penting bagi kelangsungan sebuah negara, khususnya sebagai sumber pendapatan negara dalam menunjang pelaksanaan pembangunan. Mengingat tingkat urgensi pajak sebagai sumber pendapatan negara, maka dibutuhkan suatu peraturan secara yuridis untuk mengatur stabilitas perpajakan di Indonesia yang biasa disebut dengan hukum pajak.
Hukum pajak merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai Wajib Pajak. Dengan adanya hukum pajak, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dengan tertib dalam membayar pajak. Kesadaran masyarakat akan patuh dalam membayar pajak dapat dijadikan suatu kunci keberhasilan pemerintah dalam menghimpun penerimaan pajak yang dapat berlangsung secara berkesinambungan. Dengan demikian, penerimaan pajak sebagai sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat menghasilkan hasil yang maksimal dan mampu mensejahterakan negara.
Namun dalam realita, pemungutan pajak kerap menimbulkan permasalahan, antara lain disebabkan oleh lemahnya regulasi di bidang perpajakan, kurangnya sosialisasi terhadap Wajib Pajak, tingkat kesadaran Wajib Pajak yang masih rendah, pengetahuan ekonomi belum maksimal, database pada pihak pemerintah belum lengkap dan akurat, lemahnya penegakan hukum yang berupa pengawasan, serta pemberian sanksi yang belum tegas dan mengikat. Selain itu, tindakan melawan pajak yang kerap dilakukan oleh Wajib Pajak yaitu dengan menanamkan paradigma membayar pajak hanya akan memperkaya petugas pajak, hal ini dengan sengaja dilakukan masyarakat sebagai Wajib Pajak untuk meloloskan diri dari iuran pajak yang telah ditentukan.
Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah berupaya melakukan reformasi di bidang perpajakan. Reformasi perpajakan yaitu penerapan perubahan sistem perpajakan yang terjadi secara signifikan dan komprehensif dengan mencakup perbaikan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi perpajakan, dan upaya dalam peningkatan basis pajak penerimaan negara. Hal ini diterapkan dengan menunjukkan kepada publik bahwa pengelolaan pajak sudah semestinya dilaksanakan dengan benar dan sesuai porsinya, menyiapkan pengelolaan data secara akurat dan terjamin kerahasiaannya, penyempurnaan perangkat regulasi, dan pelaksanaan peraturan hukum secara tegas dan konsisten. Pelaksanaan reformasi perpajakan ini pula mencakup aspek organisasi dan sumber daya manusia, teknologi informasi, basis data dan proses bisnis, serta peraturan perundang-undangan. Dengan demikian target yang diharapkan berupa kepercayaan Wajib Pajak terhadap institusi perpajakan, kepatuhan Wajib Pajak, kehandalan pengelolaan basis data/administrasi perpajakan, dan integritas serta produktivitas aparat perpajakan.
Seiring dengan perkembangan zaman, Indonesia telah melakukan empat kali reformasi perpajakan yang disesuaikan dengan peluang dan tantangan yang ada. Reformasi perpajakan pertama yang terjadi di Indonesia pada tahun 1983 yakni sistem perpajakan berubah dari official assessment menjadi self assessment yang memberi kesempatan bagi Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakanannya sendiri, sementara otoritas perpajakan mengemban fungsi pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum. Reformasi perpajakan kedua terjadi pada tahun 2002 – 2008 yang difokuskan pada perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM), Organisasi, dan Proses Bisnis, dengan harapan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan kepercayaan masyarakat. Reformasi perpajakan ketiga berlangsung pada tahun 2009 – 2016 dengan fokus pada kemudahan berusaha (business friendly) sebagai respon atas perlambatan ekonomi dunia pasca global finansial krisis. Dan reformasi perpajakan yang keempat pada tahun 2016. Dalam reformasi ini mencakup lima pilar penting dalam administrasi perpajakan yaitu penguatan organisasi, peningkatan kualitas SDM, perbaikan proses bisnis, pembaruan sistem informasi dan basis data, dan penyempurnaan regulasi.
Dalam waktu dekat ini, pada 7 Oktober 2021 telah dilakukan reformasi perpajakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Reformasi perpajakan ini, dijadikan prasyarat untuk mencapai tujuan negara Indonesia pada Indonesia Emas 2045 yaitu membangun negara maju yang berdaulat, adil, dan makmur sehingga Indonesia dapat dikenal sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. Selain itu, reformasi perpajakan dilakukan untuk memperkuat fungsi APBN untuk mewujudkan kesejahteraan melalui fungsi alokasi (membiayai pembangunan dan menyediakan layanan publik), fungsi distribusi (redistribusi sumber daya yang lebih merata di masyarakat), dan fungsi stabilisasi (mendukung dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkualitas). Asas yang ingin ditekankan dalam UU HPP adalah terwujudnya perpajakan yang menimbulkan keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Namun dalam proses penerapannya, perlu analisis lebih lanjut terkait muatan dari UU HPP dan implikasinya terhadap Wajib Pajak sehingga dapat diketahui secara detail mengenai tingkat efisiensi pemberlakuan UU HPP.
1. Tujuan Pemerintah Mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) Menjadi UU
Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi UU merupakan salah satu bentuk dari reformasi perpajakan yang menjadi bagian dari proses berkelanjutan dalam upaya percepatan pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional melalui restrukturisasi sistem perpajakan agar lebih siap di tengah tantangan pandemi dan keadaan perkembangan yang sangat dinamis dan perlu adanya antisipasi. UU HPP menjadi salah satu landasan dalam sejarah reformasi perpajakan yang menjadi bagian dari reformasi struktural untuk mewujudkan keadaan Indonesia menjadi negara Maju melalui pondasi sistem perpajakan yang berciri-ciri adil, baik, efisien, dan akuntabel.
UU HPP bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan menyokong proses percepatan pemulihan ekonomi. Pemulihan ekonomi merupakan hal utama dalam perencanaan Pemerintah Indonesia dalam situasi pemulihan di masa pandemi. Pandemi Covid-19 yang mulai menyerang Indonesia pada bulan Maret 2020 menyebabkan pemerintah melakukan langkah cepat dalam menangani pandemi dan dampak pandemi bagi perekonomian dengan kebijakan yang responsif dan adaptif. Tindakan ini disebabkan oleh seluruh komponen income nasional dan siklus ekspor-impor akan turun pada masa pandemi, maka hal yang dapat dilakukan yaitu menjadi komponen pelindung pertama dalam kegiatan ekonomi dari kondisi ekonomi yang cenderung sulit ini yaitu pengeluaran pemerintah. Target pemulihan ekonomi yang diharapkan berupa struktur ekonomi yang bersifat fleksibel di masa yang akan datang, inklusif dan berkesinambungan dalam lingkup kesejahteraan masyarakat, khususnya Indonesia agar mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Selain menitikberatkan tujuan UU HPP pada pemulihan ekonomi, UU HPP juga bertujuan dalam mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum, merestrukturisasi administrasi, konsolidasi perpajakan, perluasan basis perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
UU HPP turut memegang andil dalam mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang adil dan berkepastian hukum, melaksanakan reformasi administrasi, dan kebijakan perpajakan dengan menerapkan sistem harmonisasi serta konsolidatif dalam memperluas basis perpajakan Indonesia di era globalisasi dan disrupsi digital yang mendominasi. UU HPP berlaku secara bertahap dengan mengkombinasikan berbagai kepentingan yaitu memberikan moderasi administrasi, relaksasi sanksi administrasi, dan penguatan otoritas. Menurut Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani menilai bahwa langkah reformasi yang diambil melalui UU HPP ini melalui beberapa hal, yaitu dengan melakukan penguatan administrasi perpajakan (KUP), program pengungkapan sukarela wajib pajak (PPS), serta perluasan basis perpajakan yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan melalui perbaikan kebijakan dalam PPh, PPN, cukai dan pengenalan pajak karbon.
2. Materi Muatan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam Mewujudkan Sistem Perpajakan yang Adil dan Berkepastian Hukum
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah secara resmi disetujui oleh pemerintah dan DPR pada 7 Oktober 2021 melalui rapat paripurna yang berlokasi di Kompleks Gedung Parlemen. Dalam materi muatannya yang terdiri dari 9 bab dan 19 pasal. UU ini mengubah dan menambah beberapa regulasi tentang perpajakan melalui metode omnibus law, antara lain mengubah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), mengubah UU Pajak Penghasilan (PPh), mengubah UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), mengatur program pengungkapan sukarela Wajib Pajak, mengatur pajak karbon, dan mengubah UU Cukai.
a. Transisi Nomor Induk Kependudukan (NIK) Menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Salah satu bentuk reformasi perpajakan yang tercantum dalam UU HPP yakni transisi dalam penambahan fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dalam definisi umum dapat diketahui bahwa Wajib pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang berada pada wilayah kerjanya, meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak tersebut untuk mendapatkan NPWP. Dengan demikian, terintegrasinya NIK dapat mempermudah pemantauan dan pendataan administrasi Wajib Pajak Indonesia (WPI) dan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Selain itu, langkah transisi NIK menjadi NPWP ini dapat dijadikan perwujudan dalam kerjasama internasional karena terkait asistensi penagihan pajak global terhadap kerjasama bantuan penagihan pajak antar negara yang dilakukan melalui kerjasama negara mitra secara resiprokal.
Dalam Perpres No.83 Tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Pelayanan Publik yang disahkan pada tanggal 9 September 2021 membahas tentang penyelenggara wajib melindungi kerahasiaan data penerima layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang tercantum pada Pasal 11 Perpres No.83 Tahun 2021. Maka dapat diketahui bahwa penggunaan NIK sebagai NPWP telah terstandarisasi dan terintegrasi. Kini, NIK/NPWP merupakan rujukan identitas data sebagai kode referensi dalam layanan publik untuk mendukung pula kebijakan satu data di Indonesia.
Penyelenggara negara yang memiliki tanggung jawab dalam mengatur validasi NIK yaitu Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil sedangkan untuk NPWP adalah Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, dalam menjaga validitas NIK dan NPWP, Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan, Pencatatan Sipil, dan Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemadanan dan pemutakhiran Data Kependudukan dan basis data perpajakan secara berkelanjutan. Selain itu, efektifitas dari terintegrasinya NIK dengan NPWP yang telah melalui tahap validasi dapat pula dimanfaatkan dalam berbagai aspek, seperti pencegahan tindak pidana korupsi, pencegahan tindak pidana pencucian uang, kepentingan perpajakan, pemutakhiran data identitas dalam data kependudukan, dan tujuan-tujuan lain yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Sejalan dengan pengesahan UU HPP, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) turut mengalami perubahan dengan melakukan pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN. Beberapa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat antara lain, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, dan sebagainya akan dibebaskan dari PPN. UU HPP ini mengatur tarif khusus PPN atas jenis barang atau jasa pada sektor usaha tertentu dengan menggunakan ketentuan tarif final pada omzet yang diatur pada peraturan menteri keuangan. Selain itu, pemerintah juga menetapkan tarif tunggal dalam implementasi PPN. Sebelumnya tarif PPN ditetapkan sebesar 10 persen. Namun, tarif ini hanya berlaku hingga Maret 2022. Kenaikan tarif PPN disepakati dilakukan secara progresif yaitu dimulai pada 1 April 2022, tarif PPN meningkat menjadi 11 persen dan akan menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
c. Pajak Penghasilan (PPh)
Selain mengatur terkait pembaruan tarif PPN, UU HPP juga mengatur terkait tarif Pajak Penghasilan (PPh). Dalam UU HPP, tarif PPh orang pribadi ditetapkan penambahan lapisan. Semula, UU PPh hanya terdiri dari empat lapisan tarif yang menyesuaikan dengan besar Penghasilan Kena Pajak (PKP) yaitu dengan rentang PKP Rp 0 – Rp 50 juta, rentang PKP lebih dari Rp 50 juta – Rp 250 juta, rentang PKP lebih dari Rp 250 juta – Rp 500 juta, dan PKP lebih dari 500 juta. Pembaruan tarif PPN ini terimplementasi dengan menambahkan satu rentang lagi bagi Wajib Pajak dengan penghasilan lebih dari Rp 5 miliar yaitu tarif PPh sebesar 35 persen. Selain itu, rentang pertama dan kedua lapisan tarif mengalami perubahan, yaitu menjadi rentang PKP Rp 0 – Rp 60 juta dan rentang PKP lebih dari Rp 60 juta – Rp 250 juta.
Tarif PPh badan akan kembali sebesar 22 persen di UU HPP sejak tahun 2022 dalam mendukung penguatan basis pajak serta pengaturan mengenai penyusutan dan amortisasi. Hal ini mengembalikan regulasi yang telah ditetapkan sebelumnya diberlakukan pada UU PPh untuk periode 2022-2021 dan akan diturunkan menjadi 20 persen dan akan diberlakukan sejak tahun 2022. Kemudian, penambahan ambang batas peredaran bruto tidak kena pajak bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Pelaku UMKM berbentuk badan akan mendapatkan insentif penurunan tarif sebesar 50 persen dan telah diatur dalam Pasal 31E UU HPP.
d. Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP)
Salah satu substansi baru dalam materi UU HPP yaitu Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP). Program ini akan dilaksanakan selama enam bulan yakni pada 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela, disusun PPSWP dengan sasaran dapat menyediakan fasilitas bagi para Wajib Pajak yang beritikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan dalam mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum terpenuhi namun tetap menekankan rasa keadilan, melalui pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak dan pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam (Surat Pemberitahuan) SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020. Diharapkan, PPSWP pada semester 1 tahun 2022 dapat menghasilkan peningkatan pada hasil kontribusi penerimaan perpajakan pada APBN. Hal ini didorong untuk mendukung kembali penyeimbangan APBN dengan defisit maksimal 3 persen pada 2023.
e. Pajak Karbon
Sebagai wujud kontribusi Indonesia dalam menjaga keseimbangan iklim bumi, Pemerintah Indonesia menargetkan untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 29 persen dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Tarif pajak karbon ditetapkan sebanding atau lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar yakni minimal Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen yang akan berlaku mulai 1 April 2020 di sektor PLTU Batubara dengan skema cap and tax.
f. Perubahan pada UU Bea Cukai
Pada UU HPP, diterapkan perubahan pengaturan UU Cukai berupa penambahan dan penguranagn jenis barang yang semestinya kena cukai. UU HPP menggunakan prinsip pemindaian dalam upaya terakhir tentang pelanggaran cukai. Hal ini mencakup pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai. Pada ketentuan regulasi bea cukai, terdapat penegasan ranah pelanggaran administrasi dan prinsip ultimum remedium (penerapan sanksi terakhir pada tindak pidana) terhadap tindak pidana cukai. Hal ini akan menjadi pendorong berlakunya asas restorative justice (keseimbangan antara pelaku tindak pidana dengan korban) di bidang cukai.
g. Penurunan Besaran Sanksi
Penurunan besaran sanksi pelanggaran perpajakan merupakan salah satu materi yang tercantum dalam UU HPP. Pemberlakuan penurunan besaran sanksi ini dijadikan strategi bagi pemerintah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan wajib pajak dan tidak memberatkan. Pemerintah menyesuaikan beberapa hal terkait sanksi administrasi dan kuasa wajib pajak, sebagai berikut:
Pertama, penurunan sanksi administratif berupa kenaikan yang tertera dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dari hasil setelah melalui proses pemeriksaan. Beberapa sanksi berikut dapat ditetapkan dalam SKPKB, jika SPT tidak disampaikan setelah ditegur, PPN dan PPnBM tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih atau dikenai tarif 0 persen, dan kewajiban pembukuan saat pemeriksaan tidak dipenuhi. Apabila hal tersebut terjadi, sebelum berlakunya UU HPP, terdapat salah satu contoh sanksi yang dikenakan yaitu sebesar 50 persen dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak. Setelah ditetapkannya UU HPP, maka sanksi tersebut diselaraskan dengan besar bunga yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan yaitu dihitung berdasar suku bunga acuan per bulan ditambah 20 persen dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak.
Kedua, UU HPP menyesuaikan sanksi administratif setelah keputusan hukum ditetapkan yaitu ketika permohonan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan, sanksi akan diturunkan dari 50 persen menjadi 30 persen, apabila permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, sanksi diturunkan dari 100 persen menjadi 60 persen.
Seluruh ketentuan tersebut menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017. Dengan demikian, kebijakan penurunan besaran sanksi akan meningkatkan keadilan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak.
3. Pengaruh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam Meningkatkan Tax Ratio yang Masih Lemah
UU HPP merupakan upaya pemerintah untuk mendorong reformasi fiskal dan struktural untuk meningkatkan produktivitas perekonomian dan menjaga kondisi fiskal di Indonesia dalam jangka panjang. Dalam penerapannya, UU HPP diperkirakan memiliki potensi dalam meningkatkan rasio pajak (tax ratio) secara keseluruhan dengan menambah penerimaan pajak yang diasumsikan berada diantara Rp70 – Rp90. Selain itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie OFP, menyatakan bahwa melalui pemberlakuan UU HPP ini akan membantu meningkatkan tax ratio pada tahun 2025 sebesar 10,12 persen dengan tax ratio sebelumnya hanya 8,58 persen. Perkiraan tersebut didukung oleh beberapa kebijakan baru yang telah diatur pada UU HPP, antara lain penambahan satu lapisan tarif PPh orang pribadi sebesar 35 persen untuk penghasilan Rp 5 miliar per tahun dan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen.
Dengan demikian, peningkatan penerimaan pajak akan turut serta mendukung perluasan ruang fiskal yang diharapkan dapat mengoptimalkan strategi belanja pemerintah untuk lebih produktif dan strategis sehingga memiliki efek berganda terhadap perekonomian. Meningkatnya tax ratio secara berkelanjutan sebagai pendorong daya tahan APBN disebabkan oleh peningkatan produktivitas belanja dan implementasi reformasi administrasi perpajakan yang diharapkan dapat mendorong kepatuhan Wajib pajak.
4. Dampak Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Terhadap Masyarakat
Pemberlakuan UU HPP ini dapat dikatakan belum memenuhi reformasi pajak secara optimal, bahkan berkontradiksi terhadap pemulihan ekonomi. Peningkatan tarif PPN yang naik menjadi 11 persen akan berisiko terhadap pemulihan ekonomi karena berimplikasi terhadap perubahan daya beli kelas menengah. Kemampuan daya beli bagi masyarakat kelas menengah belum dapat dipastikan sudah pulih di tahun 2022, apabila harga barang tetap akan naik, maka inflasi akan terjadi. Selain itu, ketetapan baru mengenai tarif PPN juga memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap pengusaha yang mulai menyusun strategi untuk melakukan ekspansi mengenai kondisi permintaan (demand) barang pada tahun 2022. Pihak pelaku usaha akan berada dalam kondisi sulit untuk memikirkan penurunan harga barang seiring dengan naiknya tarif PPN atau barang akan tetap terjual dengan harga tinggi. Kenaikan tarif PPN memberikan ketidakpastian bagi konsumsi rumah tangga. Inflasi yang akan datang pada tahun 2022 diperkirakan dapat mencapai 4,5 persen.
Pada KUP di UU HPP mencantumkan ketentuan baru untuk menghindari dan mencegah praktik penghindaran pembayaran pajak dan menambahkan kewenangan pada pihak fiskus. Demikian pula pada PPh telah ditambahkan penambahan lapisan tarif untuk tetap menjamin keadilan di antara Wajib Pajak. Keadilan pun juga terjamin pada pengurangan besaran sanksi yang dilakukan untuk meningkatkan kesetaraan dan kepastian hukum. Selain itu, sorotan penting dalam UU HPP ini juga terdapat pada regulasi terkait pajak karbon yang menjadi substansi baru bagi perpajakan di Indonesia sehingga pemerintah turut serta andil dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menciptakan lingkup masyarakat sehat.
Namun, segala dampak UU HPP masih sangat bergantung pada kondisi pandemi Covid-19 pada tahun 2022. Apabila Covid-19 sudah mereda, perekonomian akan berjalan sesuai dengan target. Dengan demikian, diharapkan Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang direncanakan. Pertumbuhan ekonomi yang baik akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak dan kesejahteraan negara.
Comments