in ,

Skema TER Menyebabkan PPh 21 Lebih Bayar? Begini Solusinya

Skema TER Menyebabkan PPh 21 Lebih Bayar
FOTO: Dok.PT Pro Visioner Konsultindo/Desain: Muhammad Ikhsan Jamaludin

Skema TER Menyebabkan PPh 21 Lebih Bayar? Begini Solusinya

Pajak.com, Jakarta – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 memberlakukan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sejak 1 Januari 2024. Associate Manager PT Pro Visioner Konsultindo Rizky Mashar menganalisis bahwa penerapan skema TER dapat menyebabkan status lebih bayar PPh Pasal 21 dalam kondisi tertentu. Secara simultan, ia pun akan memberikan solusi bagi perusahaan maupun pegawai untuk menyikapi kondisi tersebut.

Rizky menekankan bahwa kondisi lebih bayar dalam PMK Nomor 168 Tahun 2023 perlu dicermati oleh pegawai maupun pemberi kerja. Wajib Pajak dapat memulainya dengan memahami perbedaan klasifikasi pegawai dalam regulasi turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2023 ini.

PMK Nomor 168 Tahun 2023 membedakan pegawai menjadi tiga, yaitu pegawai tetap, tidak tetap, dan bukan pegawai. Adapun pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu—sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh dalam pekerjaan tersebut.

Sementara, pegawai tidak tetap didefinisikan sebagai pegawai, termasuk tenaga kerja lepas, yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan. Sedangkan, bukan pegawai merupakan orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan atas pekerjaan bebas atau jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

“Dalam hal penerima penghasilan adalah pegawai tetap dan saat perhitungan pada masa pajak terakhir (Desember) terjadi lebih bayar/pemotongan, maka atas kelebihan bayar/pemotongan itu akan dikembalikan kepada pegawai tetap. Sementara, apabila penerima penghasilan adalah bukan pegawai, dapat terjadi lebih bayar pada saat melakukan perhitungan ulang pajak atas penghasilan yang diperoleh dalam satu tahun pajak atau pada pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan orang pribadi,” jelas Rizky kepada Pajak.com di Kantor Pro Visioner Konsultindo, Jakarta (27/2).

Baca Juga  Pemkab Tangerang Pasang Stiker bagi Restoran Penunggak Pajak

Ia melanjutkan, lebih bayar dapat dikembalikan dengan cara restitusi dan melalui pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), atau melalui skema  pengembalian pendahuluan apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dengan penelitian.

“Dari sisi perusahaan sebagai pemotong, lebih bayar atas perhitungan ulang PPh Pasal 21 karyawan pada masa pajak terakhir dapat dikurangkan dengan kurang bayar pajak pada masa pajak bersangkutan atau dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Strategi Wajib Pajak pemotong dalam hal mengantisipasi terjadi lebih bayar dikarenakan PPh Pasal 21 karyawan pada masa pajak terakhir dapat dilakukan dengan mengalokasikan penghasilan tidak teratur yang merupakan objek PPh Pasal 21. Misalkan, bonus tahunan, insentif atau penghasilan lain yang jumlahnya cukup besar ke masa pajak terakhir sehingga dimasa pajak terakhir tidak terdapat lebih bayar,” ujar Rizky.

Kendati terdapat kondisi lebih bayar, ia menekankan, skema TER tidak akan  menambah pajak terutang. Pada akhir tahun, Wajib Pajak tetap menghitung sendiri seluruh penghasilan yang diterima dan menghitung pajak terutang. Adapun jumlah pajak terutang setahun tetap sama besarnya antara perhitungan menggunakan skema lama yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

“Namun, yang menjadi tantangan bagi Wajib Pajak dalam mengimplementasikan skema TER PPh Pasal 21 ini adalah dalam hal penerimaan dari sisi karyawan, dimana dengan skema TER dapat menyebabkan pajak pada masa selain masa pajak terakhir menjadi lebih besar. Hal ini akan membuat karyawan merasa dirugikan dikarenakan ada anggapan terdapat penambahan pengenaan pajak dari penghasilannya dibandingkan sebelumnya. Maka, perusahaan harus memberikan penjelasan atau sosialisasi kepada para karyawan mengenai perubahan perhitungan PPh Pasal 21 ini yang mana antara perhitungan dengan skema TER dengan skema sebelumnya tidak terdapat penambahan pajak terutang dalam satu tahun pajak,” ungkap Rizky.

Baca Juga  Airlangga: Pemerintah Lanjutkan Pembahasan Kenaikan PPN 12 Persen

Poin utama PMK 168/2023 

Secara lebih komprehensif, ia pun meresumekan PMK Nomor 168 Tahun 2023 dalam empat poin utama. Pertama, pegawai tetap dan pensiunan yang menerima penghasilan secara teratur dikenakan TER bulanan untuk setiap masa pajak, kecuali pada masa pajak terakhir menggunakan tarif sesuai Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.

Kedua, pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan harian tidak lebih dari Rp 2.500.000 dikenakan TER harian. Jika penghasilan harian melebihi Rp 2.500.000, maka dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan 50 persen dari penghasilan bruto harian. Untuk pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan secara bulanan, maka dikenakan TER bulanan dikalikan dengan penghasilan bruto bulanan. Ketiga, bukan pegawai dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan 50 persen dari penghasilan bruto.

“PMK Nomor 168 Tahun 2023 tidak lagi membedakan antara bukan pegawai yang menerima penghasilan berkesinambungan dan tidak berkesinambungan. Tarif pemotongan bukan pegawai berdasarkan pada penghasilan bruto yang diterima pada setiap masa, dan tidak memperhitungkan penghasilan kumulatif serta Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bukan pegawai tersebut,” jelas Rizky.

Keempat, anggota dewan komisaris/pengawas yang menerima penghasilan tidak teratur dikenakan TER bulanan dikalikan dengan penghasilan bruto untuk setiap masa pajak, sedangkan untuk peserta kegiatan, pegawai yang melakukan penarikan dana pensiun dan mantan pegawai dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan penghasilan bruto.

“Skema TER ini memberikan kemudahan bagi pemberi kerja dalam melakukan perhitungan sehingga lebih efisien dan efektif dalam melakukan pemotongan PPh 21. Pemberi kerja tidak perlu menghitung ulang PPh 21 setiap bulannya sebagaimana perhitungan yang lama,” ungkap Rizky.

Baca Juga  Mekanisme Pengajuan Keberatan Kepabeanan

Kemudahan itu ia ilustrasikan dengan membandingkan penghitungan PPh Pasal 21 metode lama dan skema TER.

Misalnya, Tuan A bekerja di PT X dengan gaji Rp 15.000.000/bulan, status Tuan A (TK/0). Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) yang dibayar PT X sebesar 0,24 persen dan 0,3 persen dari gaji. Kemudian, iuran pensiun yang dibayar PT X sebesar Rp 555.000 dan yang dibayar Tuan A sebesar Rp 300.000.

A. Perhitungan PPh Pasal 21 sebelumnya:

Gaji 12 x Rp 15.000.000 Rp 180.000.000
Premi JKK 12 x Rp 36.000 Rp 432.000
Premi JKM 12 x Rp 45.000 Rp 540.000
Total penghasilan bruto setahun Rp 180.972.000
Pengurang:  
Biaya jabatan 5% x Rp120.000.000 Rp 6.000.000
Iuran pensiun 12 x Rp300.000 Rp 3.600.000
Total pengurang Rp 9.600.000
Penghasilan neto Rp 171.372.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak/PTKP (TK/0) Rp 54.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 117.372.000

 

PPh 21 Terutang
5%   x Rp60.000.000 Rp 3.000.000
15% x Rp57.372.000 Rp 8.605.800
Total PPh Pasal 21 terutang setahun Rp 11.605.800
PPh 21 terutang bulan Januari
       (Rp 11.605.800 : 12 bulan) Rp 967.150

 

B. Perhitungan PPh Pasal 21 skema TER:

Penghasilan bruto bulan Januari 2024 :
      (Gaji + premi JKK + premi JKM) Rp 15.081.000
Tarif TER A 6%
PPh 21 terutang bulan Januari 2024
(6% x Rp 15.081.000) Rp 904.860

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *