in ,

Penerapan Pajak Minimum Global Perlu Kajian Ekstensif

Penerapan Pajak Minimum Global Perlu Kajian Ekstensif
FOTO: TigaDimensi

Penerapan Pajak Minimum Global Perlu Kajian Ekstensif

Pajak.com, Jakarta – Belum lama ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis nilai belanja perpajakan nasional tahun 2022 sebesar Rp 323,5 triliun, diantaranya berupa pemberian tax holiday dan tax allowance. Tax Compliance & Audit Supervisor TaxPrime Alvin Heryana menganalisis, kedua insentif perpajakan tersebut masih dibutuhkan oleh investor—sebagai salah satu indikator keputusan melakukan penanaman modal di Indonesia. Untuk itu, implikasi penerapan pajak minimum global terhadap tax holiday dan tax allowance perlu kajian ekstensif dan bersifat urgen.

“Insentif pajak berupa tax allowance dan tax holiday masih diperlukan sekali, karena (insentif pajak) itu yang justru menjadi daya tarik bagi investor. Manfaat yang diberikan akan berdampak terhadap cash flow Wajib Pajak sehingga akan sangat membantu di dalam melakukan pengembangan usaha, seperti mengembangkan teknologi serta penguatan dan efisiensi struktur usaha dari Wajib Pajak itu sendiri. Dengan begitu, usaha Wajib Pajak akan lebih kompetitif untuk dapat bersaing,” ungkap Alvin kepada Pajak.com, di Ruang Rapat Kantor TaxPrime, (3/1).

Secara umum, ia menjelaskan, tax holiday adalah pengurangan sampai dengan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) badan bagi Wajib Pajak badan dengan kriteria industri pionir yang menanamkan modal baru ke dalam negeri selama jangka waktu tertentu. Sementara tax allowance adalah fasilitas PPh yang diberikan dalam bentuk pengurangan penghasilan kena pajak (PKP) yang dihitung berdasarkan jumlah investasi yang ditanamkan di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu. Kebijakan tax holiday pertama kali diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sedangkan kebijakan tax allowance telah diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2008 Pasal 31A tentang Pajak Penghasilan.

Baca Juga  Kurs Pajak 17 – 23 April 2024

“Sebelumnya, kewenangan untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan tax holiday dan tax allowance dilakukan langsung oleh menteri keuangan. Namun, seiring dengan penerbitan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 130/PMK.010/2020 dan PMK Nomor 96/PMK.010/2020, kewenangan perihal pemberian insentif pajak didelegasikan kepada menteri investasi/kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Penerbitan PMK ini merupakan inovasi dalam birokrasi perizinan investasi yang diharapkan memberikan kemudahan kepada investor dengan proses yang lebih cepat—melalui satu pintu bahkan sudah bisa secara on-line (melalui Online Single Submission/OSS),” jelas Alvin.

Ia pun mencatat, mengacu pada paparan menteri keuangan pada Rapat Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), investasi baru yang masuk ke Indonesia berkat pemanfaatan instrumen tax holiday tercatat sebesar Rp 1.278,4 triliun sepanjang periode tahun 2018 – 2021. Kemudian, investasi baru yang masuk melalui pemanfaatan tax allowance adalah senilai Rp 26,6 triliun periode tahun 2020 – 2021.

“Artinya, pemberian tax holiday dan tax allowance terbukti dapat menarik minat para investor. Penanaman modal tersebut sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini untuk dapat meningkatkan perekonomian negara. Jika berbicara investasi, kita tidak bisa hanya melihat dari satu sisi, bahwa pemberian insentif ini akan membebani negara tanpa melihat manfaat yang akan diperoleh Indonesia dalam jangka panjang dan berkelanjutan, seperti terbukanya lapangan pekerjaan dan membuka sumber penerimaan negara dari pungutan pajak yang timbul,” ujar Alvin.

Untuk itu, menurut analisisnya, hadirnya Pilar Dua Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 atau dikenal sebagai pajak minimum global (global minimum tax) di Indonesia akan menjadi pilihan yang dilematis bagi pemerintah. Konsensus global yang diinisiasi oleh anggota Inclusive framework (IF) OECD/G20 guna mengatasi masalah BEPS yang masih timbul ini akan menciptakan dua pilihan, yaitu mempertahankan insentif yang mana mengurangi tarif pajak efektif atau menerapkan pajak minimum global dengan risiko daya saing dalam menarik investasi menjadi berkurang.

Baca Juga  Strategi Penyelesaian Ragam Kasus Sengketa Kepabeanan di Pengadilan Pajak

“Akan menjadi tambahan kerugian apabila Indonesia tetap mempertahankan insentif pajak, dikarenakan besaran pajak yang seharusnya bisa dikenakan, akan dipungut di negara lain tempat domisili perusahaan multinasional. Oleh karena itu, penting bagi kita memahami dan mengkaji dampak insentif pajak terhadap investasi, sebagai sesuatu yang masih kerap menjadi perdebatan. Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri fakta bahwa rezim insentif pajak Indonesia, khususnya tax holiday dan tax allowance, relatif berkontribusi bagi investasi sehingga perlu menjadi perhatian. OECD pun merekomendasikan agar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, melakukan evaluasi pemberian insentif, seperti pembebasan pajak atau tax holiday ketika pajak minimum global nantinya diberlakukan,” ungkapnya.

Pada muaranya, Alvin menyimpulkan, rencana penerapan pajak minimum global memang dapat dikatakan tidak memiliki dampak langsung terhadap pengurangan potensi penerimaan pajak karena pemerintah telah merelakan potensi penerimaan pajaknya sejak awal insentif diberikan. Namun demikian, dalam hal investasi, Indonesia akan kehilangan daya tariknya. Hal itu karena pada akhirnya pengurangan beban pajak yang diberikan melalui insentif menjadi tidak dapat dinikmati perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia, sebab keuntungan hasil investasi tersebut menjadi dipajaki di negara tempat domisili dari perusahaan multinasional tersebut. Pada akhirnya, kondisi tersebut seperti memberikan subsidi pajak pada negara investor.

Ia kembali berpandangan, pemberian insentif pajak ini memiliki tujuan yang sangat jelas yaitu bagaimana pemerintah dan swasta saling bekerja sama dalam mendorong pemerataan pembangunan melalui peningkatan investasi, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) ataupun Penanaman Modal Asing (PMA).

Baca Juga  Brasil Terus Merayu Negara G20 Setujui Pajak Kekayaan Miliarder

“Sulit rasanya bagi pemerintah jika tetap berupaya mendorong keberpihakan bagi investasi melalui upaya mendesain kebijakan insentif pajak yang bebas dari ruang lingkup pajak minimum global. Mengapa demikian? karena memang tujuan utama dari pajak minimum global adalah untuk menghilangkan persaingan diantara berbagai yurisdiksi atau negara dalam menawarkan insentif pajak yang sangat rendah atau kebijakan perpajakan yang sangat menguntungkan bagi investor (race to the bottom),” ujar Alvin.

Harapannya, pemerintah melalui kementerian keuangan (Kemenkeu), kementerian koordinator bidang perekonomian (Kemenko Bidang Perekonomian) serta kementerian investasi (Kemenves)/BKPM dapat menentukan nasib tax holiday dan tax allowance.

“Kemenkeu mengatakan, Indonesia belum pada kesimpulan insentif pajak dihapus, karena insentif ini masih menjadi salah satu instrumen yang dimanfaatkan oleh kita dan negara lain. Ini bukan hanya masalah Indonesia sendiri, tapi masalah semua negara yang menggunakan tax holiday, tax allowance, dan insentif-insentif lainnya. Kalaupun menves/kepala BKPM pernah menyampaikan terkait wacana pencabutan tax holiday dan tax allowance, itu didasarkan pada kondisi ketika seluruh infrastruktur dan pemerataan ekonomi sudah terjadi di seluruh wilayah Indonesia—sebagai salah satu implikasi dari adanya investasi,” pungkas Alvin.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *