in ,

Machfud Sidik: Reformasi Perpajakan Harus Jaga Iklim Investasi dan Stabilitas Ekonomi

Machfud Sidik: Reformasi Perpajakan Harus Jaga Iklim Investasi dan Stabilitas Ekonomi
FOTO: Tiga Dimensi

Machfud Sidik: Reformasi Perpajakan Harus Jaga Iklim Investasi dan Stabilitas Ekonomi

Pajak.com, Jakarta – Senior Advisor TaxPrime Machfud Sidik mengapresiasi reformasi perpajakan yang terus dilakukan oleh pemerintah. Namun, Dirjen Pajak periode 2000-2001 ini berpandangan, reformasi perpajakan harus menjadi bagian dari orkestra yang mampu jaga iklim investasi dan stabilitas ekonomi. Reformasi perpajakan bukan sekadar untuk mencapai target penerimaan.

“Seperti diketahui, di negara mana pun, termasuk Indonesia, pajak itu menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara, frontier kebijakan makro-ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter. Maka, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, pertama, reformasi perpajakan ini memerlukan aspek prudent fiscal management, artinya perlu kehati-hatian dalam  mengelola keuangan negara. Itu prinsip yang harus dipegang, dalam menciptakan kebijakan perlu research based yang kuat, baik bagaimana menggali sumber-sumber penerimaan negara, spending and financing, dan kebijakan sektor riil lainnya. Reformasi perpajakan yang kita lakukan sejak tahun 1983 terutama untuk memperbaiki sistem perekonomian  yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Tetapi, ingat dalam sekitar 20 tahun terakhir, APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) Indonesia masih belum mencapai surplus. Sehingga, reformasi perpajakan menjadi upaya untuk menyeimbangkan antara belanja dalam rangka pemenuhan pelayanan publik yang didukung oleh penggalian sumber-sumber pendapatan negara yang stabil,” jelas Machfud kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, (28/7).

Kedua, reformasi perpajakan periode (2016-2024) yang diejawantahkan dalam lima pilar perlu memerhatikan masa pemulihan ekonomi. Seperti diketahui, pandemi COVID-19 yang terjadi mulai Maret 2020 telah menghantam perekonomian global, tidak terkecuali Indonesia.

Sebagai informasi, kini reformasi perpajakan masuk dalam jilid III dan terdiri dari lima pilar, yakni penguatan organisasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), perbaikan proses bisnis, pembaruan sistem informasi dan basis data, dan penyempurnaan regulasi yang bermuara pada kemudahan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Machfud menyoroti, reformasi perpajakan yang diimplementasikan melalui pembangunan core tax. Menurutnya, pengganti Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) ini perlu menitikberatkan pada tujuan untuk mempermudah administrasi perpajakan sehingga berimplikasi pada perbaikan iklim investasi dan bisnis, pelayanan publik yang makin membaik, dan makin mudahnya Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan—bukan hanya sekadar meningkatkan penerimaan pajak.

Baca Juga  Syarat dan Proses Pengajuan Banding Kepabeanan

“Core tax ini diharapkan menjadi  stronger fiscal reform yang akan membuat sistem perpajakan Indonesia menjadi lebih modern, sehingga pemerintah lebih mampu dalam menghimpun penerimaan perpajakan sekitar Rp 2.400 triliun pada tahun 2024. Nah dalam kaitan ini reformasi administrasi perpajakan akan mampu   melakukan segmentasi sektor-sektor unggulan yang memberikan kontribusi signifikan pada penerimaan negara, dan sektor-sektor mana yang masih memerlukan dukungan stimulus fiskal melalui pengecualian, keringanan, bahkan pembebasan beban pajak pada periode tertentu, sektor mana yang sudah bisa dibebani pajak dengan meminimalkan distorsi pada perekonomian,” ujar Machfud.

Ia menilai, saat ini Indonesia dalam berbagai sektor ekonomi masih dalam tahap recovery. Ibarat orang sakit, saat ini Indonesia masuk dalam tahap belum sepenuhnya pulih kembali ke kondisi normal.

“Ibarat orang sakit, kemudian mulai pada proses sembuh, sudah mulai bisa duduk, orang tersebut butuh waktu menuju sehat kembali. Kalau dari sisi perpajakan, pemerintah sebaiknya tetap harus waspada. Pemerintah perlu berhitung dalam menggenjot penerimaan pajak. Sektor mana yang sudah pulih, sektor mana yang masih perlu didorong dengan stimulus fiskal. Ada yang masih sakit sekarang, ada yang berjalan, dan bisa lari cepat, seperti sektor pertambangan batu bara, komoditas sawit, dan beberapa sektor lainnya. Sektor-sektor tersebut juga masih menghadapi fluktuasi dan ketidakpastian perekonomian global. Kita harus tepat waktu, tepat sasaran sektor yang dipajaki secara normal, tepat kelembagaan, termasuk kesiapan otoritas pajak dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global yang ditandai dengan fluktuasi harga komoditas internasional, perkembangan digital economy, yang memerlukan penyesuaian kebijakan perpajakan yang adaptif. Sehingga memaksa otoritas pajak harus melakukan reform secara berkelanjutan. Nah, core tax—digitalisasi administrasi perpajakan, memberikan harapan positif pada optimalisasi penerimaan pajak yang mampu meminimalkan distorasi,” tegas Machfud.

Ketiga, kebijakan fiskal harus bersinergi untuk saling melengkapi dengan kebijakan makroekonomi dan kebijakan moneter. Maka otoritas fiskal dan otoritas moneter harus saling berkolaborasi secara baik. Ia pun mengapresiasi kinerja Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang telah menjaga perekonomian dan keuangan Indonesia di tengah badai pandemi COVID-19.

Baca Juga  Ketentuan dan Contoh Penghitungan Denda Sanksi Administrasi Kepabeanan  

“Bank Indonesia perlu melakukan suatu bauran kebijakan yang disebut dengan interest rate stability, exchange rate manageable and proper inflation targeting. Karena kita ketahui bagaimana dampak dari kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS), yang tentu memengaruhi dunia, termasuk Indonesia. Agar APBN sustainable, maka dengan dinamika gejolak ekonomi domestik bahkan internasional, suka tidak suka, Indonesia harus mengikuti dinamika itu semua,” kata Machfud.

Keempat, resource mobilization atau mobilisasi sumber daya. Machfud menjelaskan, pajak merupakan bagian dari sistem ekonomi, sehingga perlu cultural reform dari kementerian/lembaga atau aparat pemerintahan terkecil di perdesaan dan perkotaan. Artinya, diperlukan orkestrasi reformasi pelayanan yang menumbuhkan kepuasan masyarakat setelah memenuhi kewajiban perpajakannya.

Reform itu tidak hanya sektor fiskal dan perpajakan, tapi juga sektor riil, ketenagakerjaan, perdagangan, pertanian, pertambangan dan industri terutama industri pengolahan—semua harus menyeluruh. Fiskal dan pajak itu bagian dari cultural reform yang menjadi salah satu urat nadi negara. Kepatuhan masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sebenarnya tergantung bagaimana infrastruktur jalan bagus, akses pendidikan, dan kesehatan lebih baikmasyarakat mengurus administrasi lebih sederhana dan murah. Maka ini tugas bersama (K/L) dan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik sehingga akan berdampak pada meningkatnya rasio pajak,” ujarnya.

Menurut Machfud, Pemerintah Indonesia sangat perlu menjaga ekulibrium kepentingan buruh, pelaku bisnis, dan investor. Karena saat ini kebebasan berorganisasi di era demokrasi yang belum mature memungkinkan adanya konflik kepentingan antara sektor ekonomi, misalnya antara buruh dan industri. Tuntutan kenaikan upah buruh yang utamanya didorong inflasi dan kondisi perekonomian, tidak selalu dapat dipenuhi oleh pemilik modal.

“Dalam kaitan ini, jika penanganannya tidak optimal dan berkeadilan dari K/L terkait dan pemerintah daerah, secara politik, sosial, ekonomi, dan pelaku bisnis tidak menguntungkan. Maka, akan berdampak pada menurunnya investasi asing yang masuk ke Indonesia. Nah, jadi kembali lagi, dalam era pascapandemi ini bagaimana membuat normalisasi kebijakan fiskal dan moneter dengan prinsip kewaspadaan dalam merespons dinamika sosial, ekonomi, dan politik, dan ketidakpastian perekonomian global.” imbuhnya.

Baca Juga  15 Rencana Aksi BEPS Inclusive Framework Cegah Penghindaran Pajak

Lima, reformasi perpajakan juga merupakan respons Indonesia terhadap kesepakatan internasional. Salah satunya, konsensus global negara G20 mengenai climate change mitigation yang diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Reformasi perpajakan harus berkelanjutan untuk mengikuti setiap dinamika global sebagai suatu ekosistem kehidupan antar bangsa.

“Di UU HPP, antara lain Indonesia memperkenalkan cukai plastik dan pajak atas karbon. Climate change mitigation itu menjadi komitmen Indonesia, kalau enggak dilakukan, dunia ini akan rusak dan berdampak pada menurunnya produktivitas sumber daya manusia yang ujung-ujungnya memperlambat pertumbuhan seluruh negara di dunia. Di dalam APBN, kita juga masih perlu mengalokasikan belanja subsidi, salah satunya subsidi energi fosil dan batu bara. Di lain pihak, Indonesia harus melakukan passing out dari ketergantungan fosil dan batu bara ke green energy. Bauran kebijakan yang nampaknya kontradiktif ini, merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, kenapa misalnya listrik kita masih menggunakan sumber energi fosil dan batu bara untuk menopang industri, padahal keduanya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan lapisan ozon secara signifikan. Di lain pihak, secara finansial, energi fosil dan batu bara terbukti efisien, convenience, ready made, and  well establlished. It’s not easy, making mixed policies” tutup Machfud.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *